Surabaya Sudah Layak Mengusulkan PSBB

Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa

Berdasarkan Kajian Epidemologis yang Dilakukan Pemprov
Pemprov, Bhirawa
Kenaikan jumlah pasien covid-19 di Surabaya menkadi perhatian serius Pemprov Jatim. Selain diminta melakukan langkah-langkah signifikan yang detail dan terukur. Pemprov juga melakukan kajian epidemologis terkait tren peningkatan kasus positif covid-19 dan ketersediaan layanan kesehatan.
Dari hasil kajian tersebut, peningkatan kasus covid-19 di Surabaya baik yang positif maupun PDP (Pasien Dalam Pengawasan), tidak sebanding dengan jumlah kapasitas layanan kesehatan di Surabaya. Bahkan secara epidemologis, hasil kajian tersebut menunjukkan Surabaya sudah saatnya mengusulkan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menuturkan, Pemprov telah melakukan kordinasi dengan Pemkot Surabaya melalui Sekdaprov Jatim dan Dinas Kesehatan Jatim. Sejak jumlah kasus di Surabaya terus bertambah, kordinasi diintensifkan terkait langkah tracing yang diikuti dengan upaya preventif yang signifikan. Termasuk kordinasi dengan Sidoarjo, Gresik dan Lamongan.
“Masing-masing daerah diminta memberikan laporan langkah-langkah yang signifikan dan terukur untuk penghentian covid-19. Laporan juga harus dipenuhi terkait aspek dampak sosial ekonomi. Karena keduanya merupakan bagian dari laporan kepada Kemendagri dan Ketua Gugus Tugas Covid-19 Nasional Kepala BNPB,” tutur Gubernur Khofifah saat konfrensi pers, Kamis (16/4).
Hingga kemarin, jumlah kasus positif di Jatim telah mencapai 514 kasus positif dan 1.717 PDP. Terjadi penambahan 15 kasus positif di Jatim. Sementara peningkatan di Surabaya hingga kemarin telah mencapai 246 kasus positif atau bertambah dua orang dan 634 jumlah PDP.
Hingga saat ini, lanjut Khofifah, baru Kota Malang di Jatim yang telah mengajukan PSBB. Namun, Kota Malang memiliki koneksitas langsung dengan Kota Batu dan Kabupaten Malang. “Saat ink di Kota Malang terdapat delapan orang yang terkonfirmas positif, tujuh sudah negatif sehingga tinggal satu yang dirawat di rumah sakit,” tutur Khofifah.
Sejauh ini, Khofifah mengakui sistem yang diterapkan Kota Malang dalam menangani covid-19 telah cukup bagus. Sementara Kabupaten Malang saat ini merasa sudah efektif dengan melakukan isolasi secara terbatas di tingkat desa begitupun dengan Kota Batu. Sehingga, harus dihitung kembali jika PSBB hanya dilakukan untuk Kota Malang. Sebab, koneksitas Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu tidak dapat dipisahkan.
Sementara itu, Ketua Gugus Kuratif Covid-19 Jatim dr Joni Wahyu Hadi menambahkan, salah satu pertimbangan PSBB adalah kajian epidemologis yang dilakukan oleh tim. Dalam kajian tersebut salah satunya untuk mengujur peningkatan yabg signifikan dengan grafik hari ke hari. “Untuk Kota Malang peningkatannya relatif flat, tidak signifikan,” tutur Joni.
Faktor berikutnya dilihat dari kesiapan layanan kesehatan yang komperehensif. “Jadi kalau di Malang rumah sakitnya masih mampu untuk menangani pasien yang sewaktu-waktu akan masuk ke rumah sakit,” tutur Joni. Jadi, lanjut Joni, Malang masih belum mengkhawatirkan kondisi layanan kesehatannya.
Kemudian dr Joni membuka hasil kajian epidemologis yang telah dikerjakan timnya di Surabaya. Secara epidemologis, Kota Malang dengan Kota Surabaya berbeda. Jika dilihat grafiknya terjadi peningkatan yang cukup tajam. Kemudian perbandingan antara pusat layanan dengan kenaikannya, seandainya semua harus masuk rumah sakit tidak cukup lagi. “Jadi grafiknya linier naik terus. Kemudian dibanding pusat layanan kesehatan seharusnya pasien yang seharusnya dirawat itu dirawat ke rumah sakit maka tidak cukup. Kondisi ini signifikan,” tutur dr Joni.
Berdasar hasil kajian tersebut, pertama yang harus dilakukan ialah harus menyediakan layanan kesehatan yang komperehensif untuk mengantisipasi lonjakan berikutnya. Ini menjadi bagian yang sudah dilakukan tim Gugus Tugas Clvid-19 Jatim baik di RS Unair maupun layanan di RSUD dr Soetomo dan RSJ Menur.
Kedua, harus dilakukan studi epidemologis secara terus menerus supaya bisa dikendalikan. Saat ini, sudah terlihat antara status PDP dan konfirm kalau rumah sakit tidak diekstensifikasi maka tidak akan cukup lagi. “Karena pasien covid harus dirawat di ruangan tekenan negativ. Tidak ada tawar menawar. Jadi kalau ada tenaga medis yang saat ini terpapar covid, hampir semuanya tidak secara langasung merawat pasien covid-19,” tutur dr Joni.
Artinya, lanjut Joni, keberadaan orang tanpa gejala saat ini banyak sekali. Karena itu, kehati-hatian dan jaga jarak fisik serta penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) tidak bisa ditawar lagi. “Jadi tenaga medis yang positif rata-rata dia merawat pasien yang semula belum merupakan pasien covid,” kata dia. Terlebih saat ini, lanjut Joni, mutasi ketiga covid-19 menunjukkan gejala klinis yang bermacam. Bahkan ada yang datang di UGD dengan gejala klinis sesak dan diare. “Penampakan klinis covid-19 ini sudah bermacam-macam bahkan di luar saluran pernafasan. Ada yang secara klinis terjadi diare,” kata dia.
Kesimpulan ketiga, dr Joni menjelaskan perlunya sudah saatnya minta persetujuan untuk mengusulkan ke Gubernur Khofifah terkait PSBB. “Tapi ini sekali lagi terkait kajian epidemologis. Masih banyak faktor lain yang menjadi faktor untuk penerapan PSBB,” pungkas dr Joni. [tam]

Rate this article!
Tags: