Surabaya Tambah 10 Sekolah Inklusif Baru

Eko Prasetyaningsih

Eko Prasetyaningsih

Dindik Surabaya, Bhirawa
Keberadaan sekolah inklusif di Surabaya dinilai masih belum mencukupi kebutuhan. Terkait hal ini,  Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya memutuskan untuk membuka kelas baru sekolah inklusif. Penambahan ini dilakukan untuk jenjang SMP sebanyak 10 lembaga sekolah.
“Konsentrasi penambahan  tahun ini hanya untuk SMP. Dari 10 SMP inklusif yang saat ini ada pada tahun ajaran mendatang akan menjadi 20 SMP inklusif,” kata Humas Dindik Surabaya, Eko Prasetyaningsih, Kamis (24/4).
Menurut dia, penambahan kelas inklusif di Kota Pahlawan sudah tuntas per akhir triwulan tahun ini. Dengan demikian, pada tahun ajaran mendatang sekolah tersebut sudah dapat menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) baru.
”Kalau untuk jumlah kelas inklusif di SD sudah ada 52 lembaga  dari 395 SDN. Jadi pada jenjang ini sementara sudah cukup meski tidak ditambah baru,” imbuhnya.
Penambahan jumlah kelas inklusif di masing-masing jenjang sekolahan, kata Eko, mengikuti amanah Permendikbud. Tiap wilayah kecamatan harus terdapat sekolahan dengan kelas inklusif. “Yang wilayah kecamatannya luas, maka akan disediakan dua lembaga untuk SD dan SMP inklusif,” tandas perempuan berjilbab ini.
Permendikbud, kata Eko, mengamanatkan satu wilayah kabupaten/kota terdapat satu lembaga SMA/SMK dengan dukungan kelas inklusif. Namun untuk Surabaya sudah ada lebih dari dua lembaga SMA/SMK yang didukung kelas inklusif. Di SMAN 10, SMAN 8, dan SMKN 8 sudah didukung kelas inklusif. “Jadi secara aturan, kita sepenuhnya telah memenuhi itu,” katanya.
Secara terpisah, Ketua II Dewan Pendidikan Surabaya Isa Ansori, sependapat dengan penambahan jumlah sekolah yang didukung kelas inklusif. ?Sebab, sekolah inklusif merupakan salah satu langkah untuk menghapus sepenuhnya diskriminasi terhadap ABK. Namun demikian, yang harus diperhatikan pemerintah adalah ketersediaan Guru Pendamping Khusus (GPK). Setiap ABK memiliki kebutuhan yang tidak sama dengan siswa normal. Bahkan berbeda jenis ketunaannya, berbeda pula GPK yang harus disiapkan sekolah.
Misalnya saja siswa dengan ketunaan daksa, meski dari segi intelektual dia dapat mengikuti materi pembelajaran layaknya siswa normal, dia tetap membutuhkan GPK. Sebab, dalam hal olahraga, siswa dengan tuna daksa tidak bisa disamakan dengan umumnya siswa normal.
“Saya kira seharusnya memang seperti itu, karena pendidikan itu seharusnya untuk semua. Terlebih lagi Surabaya sebagai kota layak anak. Yang perlu ditegaskan, meski inklusif jangan sampai penanganannya hanya dititik beratkan pada anak yang normal sebagaimana yang selama ini dilakukan,” pesan Isa. [tam]

Tags: