Sustainable Energy dan SDA yang Terlupa

Oleh :
Satria Unggul Wicaksana Prakasa
Direktur Eksekutif Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya dan Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum UM Surabaya

Global warming menjadi ancaman serius di depan mata, di tengah krisis global, ketidakpastian iklim, serta bermunculan bencana alam yang merebak, seharusnya menjadikan isu sumber daya alam (SDA) sebagai isu imperatif yang perlu diarusutamakan dalam mengelola Indonesia ini. Kredo yang sering diungkap bahwa negara tropis yang dilalui garis khatulistiwa ini disebut sebagai “paru-paru” dunia. Disaat yang sama, Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres RI) pada tahun 2019 ini, kontestasi Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga Uno sebagai pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) semakin sengit terkait isu sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Tentang SDA dan lingkungan ini cukup menarik perhatian, Pemilu yang dilaksanakan pada 17 April 2019 tidak hanya mempertaruhkan kehormatan dari masing-masing Capres untuk memenangkan kontestasi, namun juga terkait dengan bagaimana masyarakat dapat mengingat janji dan komitmen dari masing-masing Capres-Cawapres untuk mengarusutamakan isu energi, infrastruktur, SDA dan lingkungan hidup tersebut sebagai jalan utama dalam pembangunan dan kemajuan Indonesia. Terkait dengan tantangan, hambatan, dan peluangnya, perlu Capres-Cawapres yang kemudian memimpin Pemerintahan ini memiliki rencana strategis dalam menyikapinya.
Paradoks Investasi dan Perlindungan Hutan
Masyarakat internasional sebenarnya telah memiliki guideline untuk mewujudkan investasi yang ramah lingkungan, serta bagaimana mekanisme pertanggungjawaban hukum bagi perusahaan, baik perusahaan dalam negeri maupun perusahaan multinasional/transnasional yang mendirikan perusahaan di negara tempat basis produksi berada (host country). Mekanisme hukum internasional dituangkan dalam (Trade Related Investment Measures (TRIMs)) (WTO, 2015: 51), Indonesia sedikit banyak mengadopsi perjanjian internasional tersebut dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal.
Serta, prinsip UN Norms on Busines and Human Rights, pemberlakukan yurisdiksi untuk menindak pelaku pelanggaran investasi yang mengakibatkan kerusakan lingkungan bersifat ekstra-teritorial. Sehingga, negara yang terdampak atas operasi bisnis dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan, akan meminta pertanggungjawaban pemulihan dan penjatuhan hukuman bagi korporasi transnasional yang melanggar (UN Office of the High Commision for Human Right, 2014: 8-65).
Disisi lain, kebakaran hutan dan lahan 2015 yang terjadi di Sumatera, Kalimantan dan Papua, menyebabkan kabut asap yang mengganggu jutaan orang di Asia Tenggara. Bank Dunia memperkirakan Indonesia merugi sekitar 221 triliun rupiah terhadap sektor kehutanan, agrikultur, pariwisata dan industri lainnya. Kabut asap membuat ratusan ribu orang jatuh sakit di seluruh wilayah terdampak. Menurut angka-angka yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, sekitar 24 juta hektar (ha) hutan hujan negara ini dihancurkan antara tahun 1990 dan 2015 (Greenpeace, 2019: 2).
Kebakaran hutan tersebut disinyalir adanya latar belakang untuk melakukan pengalih-fungsian lahan dari hutan hujan menjadi hutan produksi, khususnya untuk produksi kelapa sawit. Proses perizinan yang diobral tanpa melihat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) menjadi celah yang cukup mengangah untuk diselesaikan oleh siapapun Capres-Cawapres yang naik di kursi Pemerintahan kedepan. Apalagi, tidak semua upaya deforestasi tersebut menimbulkan keuntungan secara ekonomis, seperti yang terjadi di Boven Digoel, “Perkebunan” kelapa sawit milik Menara Group tersebut, sejak menerima izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) pada 2011-2013, Menara tak kunjung menanam sawit dan ingkar membangun infrastruktur di kabupaten tersebut. Bahkan, Menara menjual izin-izin tersebut kepada perusahaan lain. Ada tujuh anak usaha Menara yang memiliki IPKH seluas 280 ribu hektare di hutan produksi Boven Digoel. Dua perusahaan dijual ke Tadmax Resources Bhd senilai US$ 80 juta dan empat perusahaan ke perusahaan asal Timur Tengah (Tempo.co, 25/11/2018).
Kasus Boven Digoel, kebakaran hutan di Riau, dan beberapa wilayah hutan lain di Indonesia jelas sebuah kelalaian yang tidak boleh dilakukan oleh Pemerintah. Sebagai pemberi izin, seharusnya Pemerintah punya pertimbangan ekologis, sosiologis, bahkan nir-korupsi, sehingga good and clean government tidak hanya menjadi jargon yang mengemuka saat masa kampanye, namun menjadi tanggung jawab dan keharusan yang wajib dipenuhi oleh siapapun Capres-Cawapres yang jadi, termasuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pada Kementerian terkait, membuat unifikasi peta topografi hutan di Indonesia, serta memperketat regulasi bagi korporasi baik nasional maupun multinasional untuk mentaati dan mematuhi regulasi, serta menerapkan prinsip green investation, sehingga amanah internasional tentang pembangunan yang berkelanjutan dapat betul-betul terwujud di Indonesia.
Ancaman Terhadap Environment Survivor
Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah terkait dengan pejuang lingkungan hidup, bagaimana Pembakar hutan dan terdakwa korupsi menggugat ahli Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan total Rp 3,51 triliun. Gugatan ini dinilai mengancam kebebasan akademik. Dua pakar IPB itu adalah Prof Bambang Hero Saharjo dan Dr Basuki Wasis. Bambang digugat oleh pembakar hutan PT JJP, sedangkan Basuki oleh terdakwa korupsi Nur Alam, yang telah divonis 15 tahun penjara.(Detik.com, 2018). Padahal, antara Basuki Wasis dan Prof. Bambang Hero telah berjasa karena dalam kesaksian ahlinya pada pihak KPK pada kasus Nur Alam, mampu mengakumulasi kerugian Negara akibat tragedi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Kasus Basuki Wasis dan Prof. Bambang Hero adalah preseden dan ancaman serius terhadap upaya melindungi dan menjaga lingkungan hidup. Padahal, sesuai ketentuan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tentang Lingkungan Hidup menyatakan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Pejuang lingkungan hidup (environment survivor) perlu mendapatkan perhatian khusus. Tidak hanya akademisi, namun termasuk masyarakat adat yang mempertahankan hak hutan adatnya, serta masyarakat terdampak dari konsesi pengelolaan hutan perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan agar tidak terancam hak-hak konstitusionalnya, sebagai bagian dampak dari menjalankan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 tersebut. Sehingga, Capres-Cawapres yang berkontestasi pada Pemilu 2019 tidak hanya ribut dengan kriminalisasi ulama’ semata, namun juga perlu menaruh perhatian terhadap kriminalisasi environment survivor !
Sustainability Energy: Sebuah Keharusan !
Terakhir, perlu menjadi perhatian bagi Capres-Cawapres adalah tentang upaya untuk mengurangi sedikit-demi sedikit bahkan menghilangkan ketergantungan pada sumber daya energi fosil dan tidak terbarukan. Pernyataan untuk mendukung eksplorasi batu bara dan menggunakan biofuel untuk energi alternatif nyatanya bukan langkah solutif dalam mewujudkan sustainability energy. Bahwasanya, energi batu bara dan kelapa sawit adalah sama-sama berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis, dan berdampak pada sosiologis masyarakat sekitar area tambang.
Sudah menjadi rahasia umum, berdasarkan hasil penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Baik antara kubu Capres-Cawapres 01 maupun kubu Capres-Cawapres 02 sama-sama terlibat dalam konsesi tambang batu bara, kebutuhan terhadap modal yang besar, keterkaitan erat dengan peraturan pemerintah, adanya royalti dan pajak serta ketergantungan terhadap infrastuktur pemerintah untuk mengirimkan batu bara ke pasar menjadikan sektor ini terpapar korupsi politik, dalam bentuk perdagangan pengaruh, political capture dan regulatory capture. Perusahaan pertambangan batu bara harus berurusan dengan pejabat publik,yang kemudian mendorong “perselingkuhan” antara perusahaan, birokrat, dan politisi. (Jatam.org, 17/12/2018). Ini menjadi biang keladi dari keengganan membentuk komitmen untuk bebas dari energi kotor dan tidak terbarukan, seperti batu bara tersebut.
Seharusnya, diantara Capres-Cawapres yang berkontestasi perlu membuat komitmen untuk menjadikan energi berkelanjutan sebagai modal utama untuk pembangunan nasional, kekayaan alam khususnya energi tata surya Indonesia sangat melimpah, belum lagi inovasi energi-energi terbarukan yang terus dikembangkan didunia kampus dan lembaga penelitian pemerintah melallui skema pembiayaan penelitian dan pembuatan rencana strategis pengembangan energi berkelanjutan.
Hal-hal tersebut yang perlu dikemukakan dan diarusutamakan oleh masing-masing Capres-Cawapres, agar kemudian potensi korupsi SDA tereliminir, dan kita menjadi bangsa yang besar dan kompetitif. Karena selama masa kampanye, kedua Capres-Cawapres tersebut tidak isu sustainability energy sangat minor disampaikan di permukaan, kalah berisik daripada isu menjatuhkan masing-masing karakter Capres-Cawapres yang berkontestasi. Bisa jadi, apatisme tersebut tumbuh berkembang bahkan setelah kekuasaan berhasil direbut.

———- *** ————-

Tags: