SVLK Ancam Pelaku Industri Kayu Kecil dan Menengah

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Sesuai dengan Peraturan Mentri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 tahun 2016 terkait ketentuan ekspor produk industri kehutan dianggap memberat bagi pelaku industri kayu kecil dan menengah.
Disebutkan bahwa proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sangat panjang dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Hal sangat membebani para pelaku industri dan pengrajin kecil kayu kewalahan.
“Pengerajin kecil seperti di Jepara, Semarang, Yogyakarta maupun Bali bakal terbebani dengan hal tersebut. Jika aturan itu diterapkan, jelas produk mereka tak laku di pasar ekspor,” ungkap Nur Cahyadi, Ketua Umum Forum Komunikasi Asosiasi (FORKAS) Jatim, Kamis (21/7) kemarinn.
Ia menambahkan, jika aturan verifikasi legalitas kayu memang penting untuk mengurangi ilegal logging. “Seharusnya, aturan itu tak diberlakukan kepada semua pihak. Aturan SVLK tersebut lebih tepat jika diterapkan kepada pengusaha kayu yang besar bukan kepada para pelaku industri dan pengerajin yang ada di daerah,” urainya.
Pengusaha kayu yang ada saat ini telah mengetahui kayu yang telah layak sebagai bahan ekspor ke negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika. Hal tersebut dikarenakan pengecekan kayu dilakukan sebelum kayu itu ditebang. Dan sangat wajar jika penerapan SVLK ini hanya diterapkan di industri hulu atau pengusaha kayu sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH),” tegas dia.
Pemakaian kayu dengan SVLK memang tak masalah bagi industri besar. Namun, bagi industri kecil dan menengah jelas itu menjadi ancaman. Karena jenis kayu yang ditetapkan untuk SVLK sangat mahal bagi industri kayu kecil dan menengah.
“Jika pengrajin atau para pelaku industri kayu kecil dan menengah seperti meubel tak mampu memenuhi SVLK, maka akan dikenakan Verifikasi Legalitas Bahan Baku Sementara (VLBB Sementara). Biaya yang dikeluarkan oleh para pengrajin cukup mahal bagi industri kayu kecil dan menegah, yakni Rp 6 juta per dokumen,” katanya. [ma]

Tags: