Swasta Lebih Banyak Impelentasikan Sekolah Ramah Anak

Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Dr Martadi MSn, Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya, Eddy Susanto MPd, Wakil Kepala Sekolah, Budi dan mantan Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Achmad Zaini MPd dihadapan peserta seminar. [ trie diana/bhirawa]

Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Dr Martadi MSn, Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya, Eddy Susanto MPd, Wakil Kepala Sekolah, Budi dan mantan Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Achmad Zaini MPd dihadapan peserta seminar. [ trie diana/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) ternyata masih didomiasi sekolah-sekolah swasta bila dibandingkan dengan sekolah negeri.
Ketua Dewan Pendidikan Surabaya, Dr Martadi, hal itu terjadi karena di sekolah negeri hingga kini para gurunya masih menggunakan paradigma lama. Selain itu, pengajar di sekolah negeri rata-rata sudah berusia di atas 40 tahun. Berbeda dengan pengajar di sekolah swasta yang banyak diisi dengan guru berusia muda dan bisa mengikuti perkembangan.
”Di sekolah negeri masih belum sepenuhnya diisi orang-orang muda yang progresif untuk menerima informasi dan masukan- masukan baru. Hal itu berbeda dengan pengajar di sekolah swasta,”ketika ditemui usai menjadi nara sumber Workshop dan Seminar Pendidikan Sekolah Ramah Anak dan Pembuatan RPP K-13 di Aula The Millenium Building SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, Sabtu (810) lalu.
Martadi juga menjelaskan, guru di sekolah negeri lebih banyak menggunakan pendekatan-pendekatan teoritik, seperti yang didapat di bangku perkuliahan. Teori itu kemudian diterapkan ketika mengajar. Padahal di dalam kelas, guru berhadapan dengan anak yang berbeda karakternya.
”Karena guru belum mengubah diri, di situlah potensi hak anak dan keinginan anak itu belum terakomodasi,” sambungnya.
Untuk menjadikan sekolah ramah anak, seharusnya sekolah betul-betul mengubah paradigma yang selama ini ada. Selama ini sekolah hanya menjadikan anak didiknya sebagai objek, seharusnya anak didik diperlakukan subjek.
Maka ketika anak diperlakukan sebagai subjek didik, maka anak akan dianggap sebagai sebuah pribadi yang harus diakomodasi dan dipertimbangkan keinginan, harapan, dan potensinya sesuai dengan fitrah mereka.
Selanjutnya sekolah harus merancang program-program yang berorientasi kepada anak dan melibatkan anak. Misalkan, anak didik ditanya keinginannya dalam membahas mata pelajaran tertentu, apa yang dibahas lebih dahulu. Juga bisa melibatkan anak didik dalam memilih ekstrakurikuler tertentu yang paling diminati.
”Karena selama ini, mohon maaf, di SMA pun kalau dicermati berapa banyak sekolah yang meminta pendapat anak untuk menentukan visi-misi program sekolah. Selama ini program sekolah hanya berasal dari kepala sekolah. Sementara untuk menjadikan sekolah ramah anak, setidaknya harus mampu menegakkan beberapa pilar. Mulai dari orang tua, sekolah, masyarakat, hingga media,” tandasnya.
ProgramĀ  SRA , lanjut Martadi akan menjadi ‘surga’ buat anak, maka akan membuat anak menjadi betah di sekolah sehingga bisa mengeksplorasi akademisnya menjadi bagus sehingga akan berimbas dengan mutu pendidikan itu sendiri. Orang tua juga berperan penting dalam mengembangkan pendidikan anak. Begitu juga dengan lingkungan yang seharusnya mengerti kondisi anak.
Lingkungan juga bisa menjadi indikator, apakah sudah ramah anak atau belum. Diantaranya, apakah lingkungan sudah didesain dengan mengakomodasi kepentingan anak atau belum. Demikian juga di sekolah, setidaknya apakah sekolah juga sudah mengakomodasi kepentingan dan keinginan anak sehingga mereka merasa betah.
”Jadi indikatornya bila anak sudah betah di sekolah maka sokolah itu sudah menjadi sekolah ramah anak,” tegasnya.
Sementara itu, Andi Mariono MPd, dosen Tehnologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, yang menjadi nara sumber RPP K-13 menegaskan, pada Kurikulum 13 atau K-13 sudah melibatkan kemampuan siswa, baik secara kognitif maupun psikomotorik. Tetapi tentu saja harus diikuti dengan tata aturan Etika, Moral, Agama (EMA).
Menurutnya ,EMA harus dinomor satukan dan harus diberikan secara tegas dan keras kepada para siswa, agar bisa menjawab tantangan Indonesia ke depan. ”Anak-anak harus hormat kepada orang yang lebih tua. Kalau salat di masjid tetapi ramai, ya kita harus memberikan nasihat dengan tegas,”ujarnya.
Sedangkan Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, Eddy Susanto MPd menjelaskan, Workshop SRA dan Seminar Pendidikan ini diikuti sekitar 160 guru SD Muhammadiyah se Jatim.
Tujuannya, di Indonesia ini harus diciptakan SRA, menghindari adanya kekerasan. Baik kekerasan orang tua terhadap guru, kekerasan guru terhadap siswa. Sehingga diciptakan SRA yakni sekolah yang ramah dalam pelayanan, ramah dalam pembelajaran, tidak boleh ada kekerasan, tidak boleh ada pelecehan. Juga dikurangi beban-beban terhadap siswa, tidak boleh ada PR (Pekerjaan Rumah), tidak boleh ada rangking, kompetisi yang tidak sehat dihindari.
Juga diciptakan suasana yang tidak mengkawatirkan, jadi sekolah bisa menjadi rumah kedua bagi anak, dan orang tua mempercayakan kepada sekolah tentang keamanan, kenyamanannya, keselamatannya. ”Sekolah wajib menjaga amanah orang tua siswa. Sehingga orang tua tidak kawatir. Jangan anak saya jatuh, tidak perhatian dari sekolah dan sekolah wajib menjaga para siswa. Diharapkan bisa mencetak generasi yang ramah dan berkarakter. Sehingga siswa itu nantinya bisa menghormati orang tua, guru, saling meghargai, jujur, kerja sama, adil, bersikap terbuka, percaya diri. Nah inilah yang kita bangun dari SRA,” tandas Ustadz Eddy-sapaan akrabnya. [fen]

Tags: