Syaifullah Tamlih: Digitalisasi TV, Perlu Revisi UU Penyiaran

Syaifullah Tamliha

Jakarta, Bhirawa.
RUU Penyiaran yang tengah direvisi dan dibahas di DPR RI, perlu diperbaiki dan disempurnakan materinya. Untuk memberi ruang digitalisasi Penyiaran yang dinilai lebih menguntungkan dari berbagai aspek. Dibanding penggunaan siaran TV saat ini yang masih menggunakan frekuensi analog. 

“RUU Penyiaran ini sudah 2 kali di revisi. Yang pertama UU No.24/1997 dan yang kedua UU No.32/2002, kemudian 2 periode, mau direvisi, tapi tidak juga selesai. Tarik menarik kepentingan dalam pembahasan revisi RUU Penyiaran, tak kunjung selesai. Di satu sisi perubahan teknologi yang begitu pesat, membuat materi RUU Penyiaran yang merevisi UU Penyiaran No.32/2002 itu, dianggap tak lagi up to date. Sehingga harus disesuaikan dengan kondisi kekinian. Seperti apa masa depannya ? Tergantung pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja,” papar anggota Komisi I DPR RI (PPP), Syaifullah Tamliha dalam diskusi forum legislasi bertajuk “RUU Penyiaran, Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran Indonesia”, Selasa sore (11/8).

Nara sumber lainnya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI (PKS) Abdul Kharis Almasyhari, Komisionaris KPI pusat Hardly Stefano, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum KemenKominfo, Prof Henri Subianto dan pengamat Penyiaran/ Wakil Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Iswandi Syahputro.

Tamliha mengingatkan, bila RUU Omnibus Law di sah kan dalam waktu dekat, maka ada puluhan isu krusial tentang RUU Penyiaran yang harus diperbaiki dan disempurnakan materinya. Untuk memberi ruang digitalisasi Penyiaran, yang dinilai lebih efisien, lebih menguntungkan. Dari berbagai aspek, dibanding penggunaan siaran TV saat ini yang masih menggunakan frekuensi analog.

Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari menyarankan, agar RUU Penyiaran ditarik dulu dari prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2020 ini. Selanjut nya, setelah diperbaiki, baru dimasukkan lagi pada Oktober 2020 mendatang. Dia membenar kan perkembangan pesat teknologi digitalisasi berbasis Internet, menjadi hal yang tak terelak kan. Dan telah memberi pengaruh kuat dalam kehidupan berbangsa dan ber negara. 

“Pengaruhnya sangat luas, baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan negara. Perlu sinkronisasi dari Penyiaran berbasis teknologi dari analog ke digitalisasi. Selain itu, materi RUU juga harus menekankan, bahwa penggunaan frekuensi harus diperuntuk kan bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bukan segelintir pengusaha besar di lembaga Penyiaran yng selama ini menguasai frekwensi Penyiaran,” tandas Abdul Kharis Almasyhari.

Disebutkan, materi lain yang perlu diperbaiki adalah regulator, yaitu pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai wasit yang menegur dan memberi sanksi, bila ada pelanggaran. Karena banyak kontek dan materi yang berbahaya bagi anak-anak.

Prof Dr Henri Subianto staf ahli MenKominfo mengakui, bahwa materi RUU Penyiaran sudah usang. Karena sudah tidak sesuai dengan per kembangkan siaran ber teknologi digital. Migrasi atau peralihan dari TV analog ke Penyiaran digital atau Analog Switch Off (ASO), sudah dilakukan beberapa negara. Karena TV analog dianggap boros frekwensi. 

“TV yang ditonton dirumah, merupakan frekwensi analog yang boros pita frekwensi. Sedangkan Penyiaran digital berbasis Internet, hemat pita frekwensi. Sehingga TV rumahan di Indonesia menghabiskan frekwensi, yang dampaknya bukan hanya merugikan pendapatan negara saja. Apalagi, masyarakat cenderung lebih senang menyaksikan siaran TV digital melalui telepon seluler nya,” ucap Prof Henri Subianto.

Oleh karenanya, lanjut Henri, migrasi teknologi digital menjadi keharusan. Dengan demikian, pemanfaatan spektrum frekwensi akan makin efisien. Daya saing industri Penyiaran akan meningkat, serta tingkat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), juga akan makin optimal. TV analog yang boros frekwensi, telah membuat frekwensi yng tersedia bagi masyarakat agar bisa akses Internet, menjadi makin sedikit. Padahal di era digital ini, internet sangat dibutuhkan masyarakat. (ira).
     

Tags: