“Tabok” Pidana Hoax

Berita bohong, hoax, telah menimbulkan kegaduhan sosial, tawuran antar-kelompok, sampai pembunuhan. Hoax ditebar berkeliaran bebas di media sosial (medsos). Niscaya terdapat sindikat ahli teknologi informasi sengaja menyebar kebohongan, dengan kreasi narasi seolah-olah benar. Berjuta-juta pernyataan penistaan dan pembohongan publik, konon, melibatkan sindikat internasional untuk kepentingan politik.
Penistaan dan berita bohong di medsos, bagai “perang” terbuka tanpa batas. Serasa mengiris dan menguras emosional masyarakat. Telah menyebabkan pembunuhan di Sampang (Madura). bagai “perang” terbuka tanpa batas. Sebagian dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai penghalang. Bisa mengancam persatuan dan ketahanan nasional. Namun harus diakui, tidak mudah memberantas hoax.
Hoax (dan fitnah melalui medsos) makin marak bersamaan dengan perhelatan demokrasi. Bahkan terdapat “pabrik” hoax, yang menjual produk secara sistemik, terstruktur, dan masif. Ke-marak-an berita palsu, pertama kali, beriringan dengan Pilkada Jakarta, 2017. Dijadikan ajang pencitraan (narsis) kelompok. Sekaligus menghantam paslon (pasangan calon) lain yang tidak disukai. Telah terjadi perang hoax sangat masif.
Hoax, biasa ditebar melalui media sosial (facebook, twitter, instagram dan WhatsApp). Jutaan kalimat penistaan, sarkasme (kasar), serta besifat memecah belah, di-posting secara brutal. Media sosial bagai “panen” hoax, seolah-olah boleh mem-fitnah setiap orang, seolah-olah tidak melanggar hukum. Padahal telah terdapat UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
UU ITE pada pasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Setiap korban (Tim Kampanye capres, maupun calon legislatif) bisa melapor ke Kepolisian, dan BSSN. Pelanggaran terhadap pasal 28 ayat (2), bisa dihukum penjara selama 6 tahun.
Juga terdapat fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Ber-muamalah melalui Media Sosial. Isi fatwa, bahwa Muamalah (bertingkah-laku) melalui medsos, wajib meng-indahkan syariat. Segala bentuk kebohongan, dan (terutama) fitnah, niscaya menyimpangi ajaran agama. Fatwa MUI selaras dengan amanat konstitusi.
Dalam jagad media sosial, dakwah keagamaan juga disusupi dengan kaidah politik aliran (fanatisme sektarian). Banyak olok-olok yang dapat memancing suasana kegaduhan sosial. Banyak diantaranya mencatut nama ulama kharismatik. Seolah-olah di-fatwa-kan oleh ulama panutan. Bahkan ulama yang telah wafat (antaralain Gus Dur) juga dicatut namanya. Serta sebaliknya menistakan ulama yang tidak satu madz-hab (aliran). Hoax berlabel, patut diwaspadai.
Konstitusi juga memberi batasan hak asasi manusia. UUD pada pasal 28J ayat (2), dinyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain … sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Walau terkesan tergopoh-gopoh, pemerintah telah merespons maraknya hoax. Sudah dibentuk tim cyber (Badan Siber Nasional), awal tahun (2017) lalu. Itu setelah presiden Jokowi menjadi “korban,” tayangan penistaan. Yakni, melalui isi buku yang di-posting (dan ditawarkan) melalui media sosial. Saat ini pembuat hoax yang menyasar simbol negara (presiden), telah ditangkap. Polisi akan “me-nabok (tampar)” pelaku dengan UU ITE.
Konsekuensi hukum posting berita hoax, akan berkelanjutan. Kinerja Polisi (dan BSSN) akan bertumpu pada kemungkinan konspirasi (bukan inspirasi individual). Maka deklarasi anti hoax, patut di-masif-kan di seluruh daerah. Terutama melalui sekolah.

——— 000 ———

Rate this article!
“Tabok” Pidana Hoax,5 / 5 ( 1votes )
Tags: