Tabrakan Aturan Kewenangan Jadi Hambatan Mitigasi Kebencanaan

Rapid Asessment Mitigasi bencana Banjir dan Tanah Longsor Jawa Timur, Ombudsmen RI Perwakilan Jawa Timur. [gatot/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Aturan kewenangan antar lembaga masih membuat proses mitigasi dan penanganan bencana tidak optimal bahkan cenderung lambat dalam pelaksanaan lapangan.
Kesimpulan ini menjadi salah satu poin penting yang diperoleh Ombudsmen RI Perwakilan Jawa Timur dalam pantauan pelaksanaan kerja Badan Penanggulanagn Bencana daerah (BPBD).
“Memang ada kecenderungan pelaksanaan mitigasi bencana tidak optimal disebabkan batasan kewenangan antar lembaga yang seharusnya terkait mitigasi dan penanganan bencana.” terang ketua peneliti Mitigasi bencana Banjir dan Tanah Longsor Jawa Timur Ombudmen RI Perwakilan jatim, Vice Amayda F, Jumat(19/7).
Lebih lanjut Vice memaparkan satu contoh lembaga A tidak bisa melaksanakan tindakan mitigasi atau penanganan bencana diakibatkan tidak mempunyai kewenangan atas obyek bencana.
Umumnya, lanjut Vice, terjadi ketika BPBD mengajukan izin upaya tindakan mitigasi di wilayah kerja lembaga vertikal tidak bisa terlaksanan karena hak anggaran ada di lembaga vertikal yang tidak bisa diambil alih begitu saja oleh lembaga lain.
“Contoh kecil di Ponorogo ada sungai yang tangkisnya jebol, pihak Pemkab atau bahkan desa setempat punya dana untuk melakukan perbaikan, namun tidak bisa dilakukan karena sungai tersebut merupakan wilayah kerja DAS Bengawan Solo yang perbaikannya harus dilakukan oleh BBWS Bengawan Solo.
Padahal perbaikan tangkis harus segera dilakukan,” terangnya saat acara rappid assement terkait mitigasi bencana banjir dan tanah longsor Jatim tersebut.
Sementara terkait penanganan bencana di tingkat kabupaten kota, poin penting yang diambil Ombudsman RI adalah masih adanya keterlambatan penanganan bencana diakibatkan belum adanya prosedur baku dalam bentuk Perda di pemerintah daerah.
Salah satu akibatnya, lanjut Vice adalah panjangnya birokrasi penanganan kebencanaan di daerah hingga menyebabkan lambannya tanggap bencana yang dilaksanakan.
“Salah satu contohnya untuk mendapatkan bantuan paska bencana pihak desa harus mengajukan proposal ke bupati. Itupun tidak bisa langsung disetujui karena masih harus mendapatkan assessment terlebih dahulu dari OPD yang ditunjuk bupati. Ini kan sangan panjang,” terang Vice.
Dari sini, lanjutnya, faktor kepala daerah sangat urgen untuk mengubah prosedur tanggap bencana agar lebih pendek hingga penanganan kebencanaan dapat segera dilaksanakan.
“Butuh kesadaran kepala daerah agar penanganan kebencanaan menjadi salah satu prioritas penting mengingat ada banyak daerah sangat rentan kebencanaan,:” terangnya.
Belum jadi prioritasnya masalah kebencanaan di pemerintah daerah salah satunya dengan masih minimnya anggaran kebencanaan baik terkait tanggap bencana maupun mitigasi bencana di pemerintah daerah kabupaten/kota.
“Salah satu contohnya untuk kabupaten Ponorogo yang menduduki peringkat dua kejadian bencana di Jatim hanya mempunyai anggaran kurang Rp1 miliar di BPBD. Demikian pula di Bojonegoro yang setiap tahun pasti mengalami banjir di wilayah DAS Bengawan Solo,” terangnya.
Ombudsment RI sendiri akan membawa hasil penelitian terkait mitigasi bencana di Jawa Timur sebagai salah satu rujukan kepada pemerintah baik pusat dan daerah untuk menjadikan penangan bencana sebagai salah satu prioritas pemerintah. [gat]

Tags: