Tahta tanpa Mahkota

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.
Menjadi penguasa pemerintahan masih menjadi perburuan para era demokrasi. Walau sebenarnya, kekuasaan tidak pernah memberikan “mahkota,” melainkan menuntut kinerja. Bahkan pada situasi rumit (seperti di Indonesia dan Thailand), kekuasaan selalu beriringan dengan ancaman hukuman pidana. Sehingga mengakhiri kekuasaan bagai keluar dari surga menuju neraka. Masa pensiun sering harus dijalani meringkuk dalam penjara.
Toh banyak orang “gila” sangat suka berburu kekuasaan demokrasi. Padahal, meminjam istilah Jefferson (presiden dan penulis Deklarasi Kemerdakaan Amerika), bahwa kekuasaan pada demokrasi adalah pinjaman. Dalam paradigma agama, seluruh kekuasaan di muka bumi adalah ke-khalifah-an. Itu tak lain sebagai  penguasa pengganti, atau wakil. Maka menjalankan kekuasaan, mestilah sesuai dengan pesanan pemilik kekuasaan.
Syukur, UUD 1945 telah mengadopsi rambu-rambu kekuasaan demokrasi. Malah tak tanggung-tanggung, diletakkan pada pasal 1. Dalam ayat (2) dituliskan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Bahkan amanat UUD itu diulang lagi khusus untuk pejabat presiden. Pada pasal ayat (1) dinyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Maka pucuk pimpinan negara pun, tidak dapat semau-gue menjalankan kekuasaan pemerintahan. Tidak dapat membuat undang-undang secara sendirian (oleh pemerintah saja), juga tidak bisa membuat APBN sendirian. Bahkan berdasarkan UUD pasal 17 ayat (4) presiden juga tidak bisa membuat Kementerian (Departemen) atau membubarkannya secara sepihak. Dus sebenarnya, presiden merupakan pucuk pemerintahan yang diperintah (dan digaji sangat besar) untuk melaksanakan agenda rakyat.
Disadari atau tidak, model penguasa pemerintahan nasional saat ini berbeda dengan model zaman kerajaan dahulu (monarkhi). Namun karena perbedaan itu belum lama berselang (belum genap 70 tahun), maka seringkali masih mengecoh persepsi penguasa. Mengira berkuasa mutlak sepenuhnya, bahkan mengira kekayaan negara sebagai “hak milik” penguasa. Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan dengan kalkulasi jatah penguasa dan kroninya.
Penyakit Kronis KKN
Memang begitu kekuasaan pemerintahan pada situasi rumit. Menariknya, selalu dengan iming-iming “magnitude” tersembunyi. Yakni konon, diberi apa saja yang di-ingin-kan, serta memberi apa saja dan kepada siapa saja. Seluruhnya berujung kapitalisasi material, kekayaan. Ini disebabkan politik demokrasi memberi terlalu banyak kewenangan. Pada sisi lain mental kekuasaan dikepung oleh gelimang politik uang, money politics.
Ujung-ujungnya, penguasa yang lena tega meminta setoran atas keuntungan BUMN. Atau minta sebagian saham BUMN secara gratis. Yang malu-malu, bisa memperolehnya dengan berbagai cara. Misalnya melalui gurita usaha kapitalisasi kekuasaan yang diatasnamakan kerabat keluarga (anak, adik, keponakan, sepupu) serta sesama kader parpol rezim. Selanjutnya pada mata-rantai kekuasaan, hasil kapitalisasi rezim digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.
Seluruh dunia sudah lama dibuat jengkel terhadap kekuasaan yang mabuk KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Selama dua dekade terakhir, hampir seluruh filsof dan pemuka agama mencari solusi untuk mengurangi kekuasaan para penguasa. Di Indonesia, upaya mengurangi KKN penguasa telah dibuat berbagai institusi ke-negara-an. Antaralain dibentuk MK (Mahkamah Konstitusi), KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) serta beberapa Komisi publik.
Begitu pula dilakukan amandemen UUD sesuai kebutuhan dan situasional. Hasilnya, antaralain UUD Pasal 7 “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Sehingga setiap presiden RI harus menyadari benar, bahwa kontraknya hanya 5 tahun, atau maksimal 2×5 tahun. Jabatan presiden tidak boleh dilanggengkan. Pasal ini terbukti efektif. Namun tetap saja, tidak mengurangi celah penguasa untuk KKN.
Karena itu dua tahun kemudian (pada November 2001) dilakukan lagi  amandemen ketiga. Ditambahkan pasal 7A, 7B, yang mengatur kemungkinan pencopotan Presiden dan Wakil Presiden sebelum jabatannya berakhir. Terutama karena melakukan KKN yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara. Walau pencopotan Presiden atau Wapres harus melalui proses pengadilan yang panjang, serta dipenuhi ewuh-pekiwuh.
UUD Pasal 7A menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Diluar jalur pengadilan reguler, terdapat jalur politik yang lebih cepat untuk mencopot presiden. Pada pasal 7B UUD (dengan 7 ayat), mencopot Presiden atau Wakil Presiden hanya butuh waktu sekitar 4 bulan. Juga hanya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak 350 anggota MPR. Koalisi fraksi parpol di MPR bisa menjatuhkan Presiden dan atau Wakil Presiden.
Pencerahan Kekuasaan
Upaya mencopot penguasa atau kroninya (terutama kader se-parpol) terus diupayakan. Sebagian sudah berhasil menjebloskan kroni maupun koalisi parpol penguasa ke penjara. Tetapi penyakit KKN bukan hanya monopoli rezim, melainkan pada altar politik secara umum, termasuk yang oposisi. Pejabat publik yang lain (DPR dan Gubernur serta Bupati plus Walikota) sudah meng-antre masuk penjara. Bahkan jika dibiarkan, tren pejabat politik masuk bui karena KKN bisa mencapai 90%.
Karena itu terdapat pemikiran, mestilah diupayakan cara yang lebih santun menghindari KKN. Yakni pencerahan kekuasaan, melalui dakwah maupun tekanan politik dari kelompok pemuka agama. Media masa juga turut berupaya propaganda pemerintahan yang bersih melalui pemberitaan. Walau sebenarnya propaganda pers sering tidak netral dan absurd. Misalnya, pemberitaan tentang Presiden Uruguay,  Jose Marica. Padahal mantan pembentok berpaham komunis ini sebenarnya tidak bersih benar ketika masih menjadi prajurit pemberontak.
Pertengahan Mei 2014 lalu, Mujica di-propagandakan sebagai presiden paling sederhana di dunia. Ia bahkan tidak tinggal di istana negara, melainkan di rumah pribadi, di sebuah perkampungan kumuh. Ia berladang sendiri bersama instrinya (ibu negara Lucia Topolansky) menanam berbagai jenis bunga. Menurut wartawan CNN, Jonathan Watts, ia juga mencuci dan menjemur pakaiannya sendiri. Artikel tentang Mujica dimuat pertama kali di majalah The Guardian, akhir tahun lalu. Di Indonesia, Goenawan Mohamad juga turut menulis.
Seolah-olah tiada pemimpin dunia yang sebaik Presiden Mujica, walau dibanding Gandhi sekalipun (padahal Gandhi menolak dijadikan presiden India). Perbedaan utama dengan Gandhi, adalah, bahwa Mujica yang tidak percaya Tuhan, memilih jalan keras, pemberontakan bersenjata. Sedang Gandhi memilih cara damai, sesuai ajaran agama. Lagi pula, joroknya media masa di kawasan Amerika, tidak mau mem-propaganda-kan tokoh-tokoh muslim.
Seluruh pimpinan muslim masa khulafaur rasyidin, selalu bertambah miskin selama menjabat. Misalnya khalifah (kedua) Umar ibn Khatthab, melarang keras KKN. Bahkan anaknya (dan seluruh keluarga dilarangnya berbisnis). Begitu pula khalifah pertama, Abubakar as-shiddiq, tidak pernah menyalakan lampu di rumahnya (yang dibiayai oleh negara) selain untuk menerima tamu negara. Pada akhir jabatan, Abubakar ash-shiddiq, yang semula kaya raya malah berhutang beberapa ratus dirham.
Kepemimpinan model khulafaur rasyidin, memang nyaris sempurna. Semua perilaku kepemimpinan berpijakan pada keadilan sosial, ekonomi dan politik. Tiada minoritas yang teraniaya. Seluruh masyarakat Indonesia merindukan kepemimpinan yang di-mitos-kan sebagai “Ratu Adil,” yang berkarir sebagai “satriyo piningit.” Mitos itu bukanlah menunjuk pada personal tertentu, melainkan sistem kenegaraan yang tertata baik sebagaimana mukadimah UUD 1945.

Rate this article!
Tahta tanpa Mahkota,5 / 5 ( 1votes )
Tags: