Tahun Duka

Nurudin

Oleh :
Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang/UMM)

Sampai saat, ini belum ada tanda-tanda bahwa jumlah korban akibat virus covid-19 bisa ditekan dengan baik. Bahkan jumlah yang terpapar semakin meningkat. Kita juga tidak tahu pasti sampai kapan semua bisa teratasi. Masalahnya tidak saja salah penanganan sejak awal, tetapi juga indikator jumlah yang terpapar masih simpang siur.

Akibat itu semua, pandemi ini tak hanya soal jumlah korban tetapi juga berkaitan dengan gejolak yang ada dalam masyarakat. Dari soal perdebatan terkait ekonomi, politik, pencitraan elite politik sampai kebingunan apa yang harus dilakukan.

Selanjutnya, ada kesan bahwa virus ini memang dibiarkan merajalela. Bukan berarti pemerintah tak berbuat. Tetapi tidak ada upaya lebih keras dan kongkrit terkait penangananya. Kampanye vaksinasi memang terus dilakukan dan itu memang sebuah upaya. Masalahnya, virus ini juga tak hanya menyangkut vaksinasi. Ia menyangkut banyak hal.

Sebagai negara yang “belum mapan” ancaman virus ini tentu sangat memukul. Tidak saja masalah ekomomi, politik, keamanan, kemandirian bangsa tetapi juga soal semakin tidak puasnya masyarakat pada pemerintahnya. Jika ketidakpuasan ini terus dipelihara, buntutnya adalah goncangan dan konflik horizontal yang tak diharapkan.

Tentu bukan salah pemerintah saja. Tetapi, pemerintah sebagai pengambil kebijakan berada di depan. Dalam kurun waktu lama masyarakat kita tidak bisa mendiri terkait dengan aktivitas dan pengambilan kebijakan. Kebijakan semua masih sangat tergantung pada pemerintah. Jika berdampak baik karena peran pemerintah, jika tidak tak jauh berbeda.

Lihat soal munculnya istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), New Normal, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat, PPKM diperpanjang. Masyarakat umum tentu mengatakan bahwa pemerintah memang sedang bingung atas kebijakan penanganan pandemi covid-19 ini. Apa yang dilakukan, kebijakan revolusioner apa yang perlu dikeluarkan dengan menekan dampak di masyarakat terkesan masih setengah-setengah. Yang jelas, negara ini berada dalama jurang kritis multidimensi yang membawa dampak buruk pada penanganan pandemi covid-19.

Duka Kita Semua

Kita layak berduka karena wabah ini telah menelan korban 100 ribu orang lebih. Namun demikian, duka tak hanya berkaitan dengan jumlah korban. Ini tak berarti jumlah korban itu tak penting. Juga bukan berarti kita tak sedih dari meninggalnya pada Tenaga Kesehatan (Nakes). Namun demikian ada duka-duka lain yang layak untuk diperhitungkan.

Apa duka-duka itu? Duka itu adalah bahwa kita tak bisa belajar banyak dari kasus pandemi ini. Kita bisa melihat kenyataan di lapangan. Himbauan untuk menerapkan 5 M banyak yang tidak digubris masyarakat. Padahal itu salah satu kunci penanganan pandemi.

Terkait vaksinasi juga tak banyak masyarakat yang antusias. Padahal itu juga salah satu ikhtiar. Akhirnya wabah ini nyaris tak terkendali, sementara pemerintah sudah kewalahan. Yang dilakukan adalah mengganti istilah demi istilah dengan tak ada kebijakan revolusioner. Seolah membiarkan saja apa yang terjadi. Yang jelas pemerintah sudah dikesankan “berbuat sesuatu” dengan memunculkan banyak istilah-istilah tersebut.

Bukanlah itu duka kita semua? Kenyataan bahwa masyarakat mulai tidak patuh pada Protokol Kesehatan (Prokes) juga sebuah duka yang mendalam. Apakah ini semata-mata kesalahan mereka? Tidak juga. Masyarakat itu berbuat sesuai dengan apa yang dicontohkan pemimpinnya. Masyarakat kita masih paternalistik. Selalu melihat bagaimana pemimpin itu berbuat. Artinya, jika pemimpin berbuat baik dan layak diteladani tak akan mungkin masyarakat kita tak patuh.

Bisa jadi ketidakpatuhan itu karena kejengkelan atau ketidakpuasan atas kenyataan yang dihadapi. Misalnya, bagaimana mungkin pemerintah seenaknya menghimbau masyarakat untuk patuh Prokes sementara tingkat korupsi terus merajalela dan itu semua dicontohkan para pejabatnya?

Anehnya, proses pengadilan mereka tidak dianggap tidak adil dan memuaskan masyarakat. Misalnya, ada sebagian pejabat yang dihukum ringan karena dekat dengan kekuasaan, sementara ada yang dihukum berat hanya karena tak dekat dengan kekuasaan. Bukankah ini membuat masyarakat jengkel?

Nah kejengkelan tersebut bisa jadi diwujudkan dengan keengganan masyarakat patuh pada kebijakan pemerintah. Itu salah satu bentuk protes pada kebijakan yang tidak adil dari pemerintahnya. Inilah kenyataan yang juga layak diperhitungkan oleh pemerintah.

Pelanggaran yang dilakukan masyarakat bukan berarti mereka tak mau patuh pada Prokes, tetapi ada “kejengkelan” lain akibat ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Bisa jadi jengkel karena pemerintah terkesan lambat menangani pandemi ini sementara kebutuhan hidup masyarakat semakin sulit.

Tak terkecuali bahwa pemerintah sejak awal pandemi ini terkesan bersikap defensif. Lihat bagaimana silang pendapat pejabat terkait pandemi di awal tahun 2020. Hal ini membuat masyarakat jengkel. Pemerintah terkesan tidak serius. Kalau mengurus negara tidak serius bagaimana masyarakat tetap harus patuh? Ini akar masalah yang membuat saat ini kita mengunduh hasilnya.

Pandemi Jadi Kunci

Apa pelajaran yang bisa kita petik? Seharusnya pandemi ini menjadi titik pangkal untuk merumuskan kebijakan dengan lebih baik dan revoilusioner. Seandainya negara sedang goncang karena utang semakin membengkak, ekonomi sedang oleng diakui saja tidak masalah. Penulis yakin bahwa masyarakat kita mayoritas sangat menyintai negara ini. Tak akan mungkin mereka tinggal diam. Masalahnya mereka dilibatkan atau tidak?

Misalnya pula, mengapa pemerintah lebih menekankan kepentingan ekonomi dan politik daripada urusan kemanusiaan? Soal pandemi, bagaimana pertimbangan sains dikalahkan dengan kepentingan lain pula? Bagaimana pula usulan para cerdik cendekia akhirnya berlalu dan kalah dengan kebijakan yang lebih ke arah pencitraan pemerintah?

Masalah yang muncul di atas membuat duka secara bertumpuk-tumpuk pada tahun ini. Sekali lagi pandemi harus menjadi pelajaran dan titik tolak untuk kebijakan ke depan. Semua elemen masyarakat tentu akan mendukungnya, jika memang kebijakan tak hanya berdasar pada kepentingan sepihak semata.

Duka ini adalah duka kita semua. Kita semua merasakan. Maka, penyelesaiannya harus melibatkan semua pihak. Tak bisa pemerintah jalan sendiri. Ini semua tugas kita bersama.

——— *** ———-

Rate this article!
Tahun Duka,5 / 5 ( 1votes )
Tags: