Tak Ada Data Rumah Kos, Surabaya Rawan Masalah Sosial

Razia rumah kosPemkot Surabaya, Bhirawa
Upaya pemerintah kota untuk menangkal kerawanan sosial akibat masuknya pendatang agaknya masih jalan di tempat. Sampai saat ini tidak ada upaya intensif dari Pemkot untuk mendata rumah kos yang menjadi titik hunian masyarakat pendatang. Sejumlah lurah dan camat mengaku tidak memiliki data pasti jumlah rumah kos di wilayahnya, apa lagi data potensi pendatang.
Padahal tiap penduduk pendatang setidaknya harus mempunyai Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS) yang diterbitkan pihak kecamatan , sebagaimana diatur  Perda Nomor 14 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan administrasi kependudukan. Pada  Pasal 9 yang menyebutkan bahwa setiap penduduk WNI yang tinggal sementara di daerah selama tiga bulan, wajib memiliki SKTS.
Penduduk musiman yang tidak mengurus atau memiliki SKTS pun akan mendapatkan sanksi sesuai Pasal 97 Perda 14 Tahun 2014 yakni akan dipidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda. Hal ini semata-mata dilakukan untuk penekanan kepada kaum urban yang tidak memiliki pekerjaan jelas. Dimana, keberadaan penduduk tersebut juga akan menjadi beban kota.
Lurah Medokan Ayu Kecamatan Rungkut, Bambang Hariyanto mengaku selama ini belum mengetahui jumlah rumah kos yang ada di wilayahnya. Padahal, kawasan Rungkut terkenal dengan industri yang menjadi jujukan kaum urban untuk bekerja.
“Untuk jumlah kos-kosan sampai sekarang kami belum tahu. Ini karena para pemilik kos tidak pernah melaporkan ke kami,” kata Bambang saat ditemui Bhirawa di ruang kerjanya, Rabu (13/7) kemarin.
Bambang juga menyebut sampai sejauh ini belum ada instruksi dari pihak Pemkot agar tiap kecamatan dan kelurahan melakukan pendataan intensif atas rumah kos yang beroperasi di wilayahmasing-masing.
Namun ia memastikan telah  mengetahui kantong-kantong rumah kos yang selama ini semakin menjamur. Salah satunya di RW 1, RW 2, dan RW 3 Kelurahan Medokan Ayu. Hal itu diketahui saat pihaknya melakukan operasi yustisi di wilayah tersebut.
“Waktu Ramadan kemarin kami melakukan yustisi di RW 2. Nah, di situ kami baru mengetahui ada kos-kosan. Dari situ kami mengimbau kepada pemilik kos untuk memegang data penghuni kosnya dan menanyakan kerja dimana. Kalau tidak jelas kerjanya, jangan asal menerima,” jelasnya.
Bambang merinci di wilayah Kelurahan Medokan Ayu ada 94 RT. Di setiap RT ada sekitar lima rumah yang dijadikan kos-kosan. “Dari situ kami memastikan ada sekitar 400-an rumah yang dijadikan kos. Hanya itu yang kami tahu,” ujarnya.
Sementara, Lurah Mulyorejo, Didiet Budhi Putranto juga mengakui hal yang sama yakni tidak memiliki data jumlah kos-kosan yang ada diwilayahnya. Menurutnya, dari total 12 RW di Kelurahan Mulyorejo, ada dua RW yang diketahuinya banyak rumah dijadikan kos-kosan.
“Paling banyak ini (rumah kos, red) di RW 1,3, dan 4. Itupun paling banyak dihuni mahasiswa bukan pekerja,” rincinya.
Pihaknya pun mengaku sudah berkoordinasi kepada tokoh masyarakat untuk mengawasi di setiap wilayahnya. “Info terakhir, warga pendatang masih belum balik dari daerah asalnya,” pungkasnya.
Diberitakan Bhirawa sebelumnya, Lurah Mojo, Maria Agustin membenarkan bahwa pihaknya belum mengantongi jumlah indekos di wilayahnya. Menurutnya, dari perkiraan ada sekitar 400-600 rumah yang dijadikan indekos. Itupun diketahui jumlah indekos dari operasi yustisi.
“Ini kami lagi mulai mendata jumlah kos-kosan yang ada di wilayah Mojo. Padahal, seharunya pemilik kos wajib melaporkan ke kami bahwa rumahnya dijadikan kos-kosan. Kalau pemilik kos tidak melaporkan itu bisa menyebabkan kerawanan sosial, mulai agama yang menyimpang dan perbuatan asusila,” kata Maria disela operasi yustisi yang digelar oleh Dispendukcapil Kota Surabaya bersama jajaran kepolisian di Jojoran Baru, Selasa (12/7) lalu.
Perempuan berjilbab ini menerangkan, dari 400-600 jumlah indekos di wilayahnya ini semua pemilik indekos tidak pernah melaporkan ke Kelurahan kalau mendirikan indekos. “Seharusnya pemilik kos harus melaporkan ke kami agar bisa diketahui jumlahnya,” jelasnya.
Ketiadaan data rumah kos ini sebenarnya cukup aneh, mengingat beberapa Perda jelas mengikat dan terkiat dengan rumah kos yang menjadi hunian kaum pendatang. Selain masalah kewajiban SKTS yang ada di Perda administrasi kependudukan, rumah kos juga terkiat dengan Perda Pajak Daerah.
Rumah kos sendiri dikenakan wajib pajak hotel sesuai Perda 4/2011 tentang Pajak Daerah. Dimana pajak tersebut hanya berlaku bagi rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10, untuk kamar dengan harga sewa di atas Rp750 ribu per bulannya sebesar lima persen.
Sementara, Kepala Bidang Perencanaan dan Perkembangan Dispendukcapil Kota Surabaya, Arief Budiarto menjelaskan paling banyak penduduk musiman berada di pinggiran Kota Surabaya. Hal ini dilihat dari banyaknya jumlah yang mengurus SKTS.
“Paling banyak di daerah pinggiran karena dilihat dari banyaknya mengurus SKTS. Seperti di wilayah Rungkut, Kenjeran, Bulak. Ini karena mendekati tempat kerjanya sejak tahun 2010 lalu,” ulasnya. (geh)

Tags: