Tak Ada Halangan untuk Menggali Ilmu

Maria Lidwina Endang Suwarni

Maria Lidwina Endang Suwarni
Seperti kata pepatah, tuntutlah ilmu sejak dalam buaian hingga liang lahat. Hal itulah yang mungkin menjadi prinsip Maria Lidwina Endang Suwarni dalam mengejar pendidikan. Nenek berusia 70 tahun ini dinobatkan sebagai wisudawan tertua Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Keinginan kuat Maria dalam menyelesaikan pendidikannya di usia yang lebih dari setengah abad, tidak lain karena ia ingin memberi contoh pada putra-putri dan cucunya bahwa tidak ada halangan untuk mencapai gelar sarjana dna mencari ilmu.
“Kalo dari usia memang tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Lah wong insentif dari Pemkot untuk guru-guru PAUD diperuntukkan bagi mereka yang usia muda, itu pun ada yang tidak dapat. Tapi saya ingin memberi contoh bahwa tidak ada halangan untuk bisa mencapai gelar sarjana,” kata Maria yang juga guruPAUD di Manukan Kulon, Tandes, Surabaya.
Bagi Maria, apa yang telah dicapainya ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Meskipun begitu, ia menekankan jika harus rendah hati dan tidak boleh sombong. Di berharap ap yang telah diraihnya ini menjadi contoh bagi cucu-cucunya.
“Usia dan fasilitas bukan halangn bagi saya. Apalagi anak-anak mendorong agar saya bisa menyelesaikan kuliah,” ungkap wajita yang juga anggota tim Penggerak PKK Kelurahan Manukan ini.
Hal itu dibuktikkan dari uang yang dikumpulkn ketiga anaknya untuk biaya perkuliahan. Beruntung SPP yang dibayarkannya mendapat subsidi dari Unusa terkait program Bunda PAUD. “Jadi kami tidak terlalu berat dalam membayar,” tambah dia.
Disinggung perihal bantuan dari paud, Maria menuturkan jika hal itu tidaklah mungkin. Sebab, kegiatan yang selama ini dikerjakan di PAUD menekankan pada kegiatan sosial membantu sesama.
“Saya tetap berkomitmen untuk memajukan dan tetap setia di PAUD sebagai ladang amalan di dunia,” kata Maria yang juga aktif pada kegiatan sosial di gereja.
Selama menyelesaikan masa kuliah, banyak suka duka yang dilalui nenek Maria. Salah satunya yakni perjuangannya untuk bisa sampai kampusnya. Maklum, diusianya yang lebih dari setengah abad, ia tidak mahir dalam berkendara. Alhasil, hampir setip hari dia dintarkan putra sulungnya. Jika sang putra ada kesibukan, tidk ada cara lain bagi Maria untuk menggunakan angkot dua kali.
“Kadang-kadang memang ada teman yang ngajak untuk berangkat bareng,” kata wanita kelahiran Semarang, 14 Maret 1950 ini.
Karena itu, ia bersyukur bisa menuntuskan masa studinya dengan tepat waktu. Sehingga sang putra pun bisa berkarir di luar kota.
“Saya tidak bisa membayangkan seandainya saya belum selesai kuliah, maka naik-turun angkutan umum akan lebih sering lagi dalam usia yang sudah tak muda lagi,” kata Maria.
Sebagai orang minoritas yang kuliah di kampus yang didominasi muslim, Maria paham betul bagaimana ja harus bisa menyesuaikan penampilannya di kebanyakan warga kampus. Hal itupun bukan menjadi masalah besar bgi dua. “Saya terbiasa berada dalam lingkungan yang berbeda-beda. Dan disinipun kami saling mendukung satu sama lain,” pungkas dia. [ina]

Rate this article!
Tags: