Tak Ada Kejelasan, Persiapan UN Terus Dikebut

Suasana Ujian Nasional (UN) di salah satu sekolah di Surabaya.

Suasana Ujian Nasional (UN) di salah satu sekolah di Surabaya.

Dindik Jatim, Bhirawa
Kasak-kusuk mengenai evaluasi Ujian Nasional (UN) oleh Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemenbuddikdasmen) tak berpengaruh ke daerah. Pemerintah di daerah terus melakukan persiapan meski petunjuk teknis dari pemerintah pusat tak kunjung turun.
Di Jatim, persiapan UN bahkan telah memasuki tahap pendataan Daftar Nominasi Sementara (DNS). Padahal hingga kini belum ada kejelasan apakah UN akan tetap dipertahankan sebagai penentu kelulusan, hanya sebagai pemetaan saja atau dihapus secara keseluruhan.
Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Dr Harun MSi mengatakan, saat ini persiapan terus dikebut. Bahkan pendataan DNS yang dilakukan ke-38 kabupaten/kota sudah lebih dari 50 persen rampung.  “Proses persiapan UN akan tetap kita lakukan meskipun banyak kabar yang beredar mengenai ketidakjelasan UN tahun depan,” kata Harun saat ditemui di kantor Dindik Jatim, Selasa (25/11).
Harun menegaskan, bagi panitia pelaksana di provinsi, yang paling penting dalam pelaksanaan UN adalah persiapannya. Sedangkan kebijakan dari pusat yang mengatur pelaksanaan UN dapat menyusul di kemudian hari. “Yang penting disiapkan dulu sambil menunggu kebijakannya. Kalau menunggu kebijakan dulu, kita akan kewalahan nanti mempersiapkannya,” kata Harun.
Selain pendataan, persiapan lain yang lebih substansial adalah mempersiapkan siswa menghadapi UN. Dalam hal ini adalah pemahaman akademik siswa terhadap hasil pembelajaran selama di sekolah. Selain itu, yang tak kalah penting adalah koordinasi dengan Dindik kabupaten/kota.
Sebelumnya, Menbudikdasmen Anies Baswedan dikabarkan telah berkonsultasi dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Salah satu pembahasan yang paling mendesak adalah apakah UN masih dipakai sebagai penentu kelulusan siswa atau dihapus.
Hingga saat ini, Harun mengakui belum ada kejelasan apapun mengenai nasib UN di tahun mendatang. Salah satunya ialah peran Perguruan Tinggi (PT) yang selama ini terlibat dalam pengawasan UN. “Apakah PT yang sekarang ada di Kemenristek dan Dikti itu masih akan terlibat mengawasi. Kalau terlibat, koordinasinya seperti apa? Ini kita juga masih menunggu pusat,” tutur Harun.
Menurut Harun, selama ini fungsi UN sudah berjalan untuk pemetaan pendidikan. Namun pihaknya belum tahu evaluasi apa yang tengah dilakukan Kemenbudikdasmen mengenai fungsi pemetaan ini. “Pemetaan pendidikan seperti apa yang diharapkan, apakah hanya diuji kemudian ditunjukkan hasilnya antar provinsi atau sekaligus menjadi penentu kelulusan? Selama ini UN kan juga untuk pemetaan pendidikan.,” tutur Harun.
Menurut Wakil Ketua Dewan Pendidikan Jatim Bagong Suyanto, model UN yang memuat soal-soal pilihan ganda tidak cocok untuk mengevaluasi hasil belajar saat ini. Khususnya dalam Kurikulum 2013 ini. UN tidak memungkinkan soal-soal dalam bentuk portofolio yang mengkaver aspek keterampilan, dan UN hanya memuat soal-soal kognitif.
Meski demikian, Bagong tidak menolak jika UN tetap dijadikan parameter kelulusan. Hanya saja persentasenya diubah. UN seharusnya hanya memiliki persentase 20-25. Sementara ujian sekolah persentasenya 75-80 persen. “Karena pendidikan adalah proses, bukan hasil. Jadi yang harus diamati adalah proses bagaimana dia di sekolah. Itu yang lebih penting,” kata dosen sosiologi Unair.
Namun persoalannya, menurut Bagong, saat ini Kemendikbud seolah-olah tidak percaya dengan guru dan siswa, sehingga melakukan pengetatan-pengetatan di UN. Hal inilah yang membuat UN itu menjadi momok yang menakutkan hingga muncul perilaku-perilaku yang tidak jujur. “Makanya itu perlu desakralisasi UN,” tukasnya. [tam]

Tags: