Tak Bisa Jaga Netralitas, Parpol Setuju KDh Tak Jabat Ketua Parpol

ruu-pilkada1DPRD Jatim, Bhirawa
Meski RUU Pemerintah Daerah (Pemda) masih dibahas di tingkat DPR RI, namun hampir sebagian parpol sepakat jika gubernur/bupati/wali kota tidak boleh merangkap sebagai pimpinan parpol. Selain menjaga netralitas, lepas jabatan ini  sekaligus untuk mendorong agar para kepala daerah (KDh) lebih berkosentrasi mengurusi rakyatnya.
Ketua DPW PKS Jatim Hammy Wahjunianto mengaku sebelum ada UU Pemda, PKS sudah menerapkan  sistem tersebut. Dicontohkannya Hidayat Nurwahid yang mundur dari jabatannya sebagai Presiden PKS pada Oktober 2004 setelah terpilih menjadi wakil rakyat di DPR, dan tak beberapa lama kemudian terpilih pula menjadi Ketua MPR untuk periode 2004-2009 pada masa Presiden SBY. Bahkan tidak saja di ketua partai, Hidayat juga mundur sekaligus dari jabatan struktural.
“Jadi sejak awal PKS sudah memberlakukan sistem tersebut. Di mana ketua partai yang dipercaya sebagai kepala daerah atau menteri harus mengundurkan diri dari ketua maupun jabatan struktural. Karena mereka tidak lagi milik parpol, tapi yang bersangkutan sudah milik rakyat,”tegas Hammy yang diklarifikasi lewat telepon genggamnya, Selasa (23/9).
Meski diakuinya,mereka bisa duduk di kepala daerah dan menteri berasal dari parpol,  namun ketika dia dipercaya oleh rakyat tentunya parpol harus rela dan membebaskan mereka dari kesibukan partai. Dan itu sudah dilakukan kepada sejumlah kader PKS.
Di sisi lain, netralitas juga dipertanyakan ketika seorang kepala daerah merangkap ketua parpol. Sesuai kondisi yang ada, mereka sulit untuk melepaskan kepentingan partainya. Sehingga UU Pemda tersebut memang mendesak untuk disahkan agar rakyat tidak merasa dirugikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Fraksi Nasdem-Hanura Muzamil Safi’I yang juga mantan Wakil Bupati Pasuruan. Menurutnya sebagai wakil bupati, dirinya hampir 24 jam bekerja untuk rakyat lewat-lewat program kerakyatan. Karenanya, hampir dipastikan ada salah satu yang dikorbankan. ”Untuk itu saya sangat setuju dengan pelepasan jabatan parpol saat kader menjadi kepala daerah. Dengan begitu seorang kepala daerah lebih fokus untuk menjalankan tugas-tugasnya demi rakyatnya,”tambahnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, RUU Pemda yang  segera disahkan  mengatur sanksi cukup ketat bagi kepala daerah. Kepala daerah yang merangkap jabatan sebagai ketua partai politik terancam sanksi pemberhentian.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjelaskan selama ini pihaknya tidak bisa memberi sanksi kepada kepala daerah yang merangkap jabatan ketua parpol, nanti kalau RUU Pemda disahkan, kepala daerah menjabat ketua parpol bisa diberhentikan.
jabatan ketua parpol yang dimaksud tidak hanya sebagai ketua umum partai politik. Tetapi secara struktural sebagai ketua pimpinan partai di daerah tempat yang  bersangkutan menjabat. Misalnya ketua dewan pimpinan cabang atau ketua dewan pimpinan daerah.
Pengesahan RUU Pemda  menurut rencana dilakukan Selasa kemarin, batal dilaksanakan. Rencana pengesahan tersebut, ditunda hingga Kamis (25/9) bersamaan dengan hari paripurna RUU Pilkada.
Sementara itu pendapat berbeda dilontarkan Ketua DPW PPP Jatim Musyafak Noer. Menurutnya poin-poin penting dalam RUU Pemda  akan membonsai parpol. Karena gubernur/wali kota dan bupati merupakan jabatan politis. Kalau kepala daerah tidak boleh merangkap ketua parpol itu sama saja membonsai peran parpol. Kekhawatiran beberapa pihak jika kepala daerah merangkap parpol itu adalah kasusistik dan sangat tergantung pada masing-masing individu.
“Yang jelas kalau sudah menjadi kepala daerah maka yang diutamakan adalah kepentingan pemerintah atau kenegaraan daripada kepentingan partai. Maka sudah sewajarnya tidak ada larangan seorang kepala daerah menjabat ketua partai. Wong di orde baru saja tidak melarang, kenapa sekarang dijadikan seperti itu. Dan kita lihat selama ini tak ada masalah,”papar pria yang juga anggota DPRD Jatim ini.
Dalam RUU Pemda,  sanksi pemberhentian terhadap kepala daerah yang merangkap jabatan parpol tidak serta merta diberlakukan. Sebelumnya, kepala daerah tersebut akan diberikan teguran tertulis. Jika tidak ada perubahan, yang bersangkutan diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus atau orientasi. Jika tidak ada perubahan, sanksi pemberhentian baru dikeluarkan.  Selain larangan menjabat ketua parpol, ada beberapa larangan lain bagi kepala daerah dengan ancaman sanksi pemberhentian. Yakni larangan melakukan perjalanan keluar negeri tanpa izin dari menteri. Kemudian larangan meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari tujuh hari berturut- turut atau tidak berturut-turut dalam waktu satu bulan tanpa izin menteri untuk gubernur dan wakil gubernur. Serta tanpa izin gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota.
Pemerintah mengajukan revisi UU Pemda Nomor 32 Tahun 2004 sejak 2011. Undang-undang tersebut dipecah menjadi tiga rancangan. Yakni RUU Pemda, RUU Pilkada, dan UU Desa yang sudah disahkan bulan lalu. RUU Pemda sudah disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat pertama di Komisi II pada 3 September lalu dan saat ini menunggu pengesahan. [cty]

Tags: