Tak Lekas Pasrah Kala Anak Tersandera Vonis Pidana

Beri pendampingan khusus, WIS menemani puteranya MW setiap mengikuti proses belajar mengajar yang dilakukan di rumah di bawah bimbingan Home Schooling Melati Indonesia. [adit hananta utama]

Menempatkan Peran Keluarga di Level Tertinggi Mendidik Anak (1- Bersambung)
Kota Surabaya, Bhirawa
Sekolah hanya warung dekat rumah yang menyediakan makan siang seragam. Keluargalah yang menyiapkan sarapan dan makan malam beranekaragam. Pengibaratan ini agaknya sesuai untuk mengembalikan kesadaran orangtua kembali mengambil peran penting dalam proses tumbuh kembang anak melalui pendidikan.
25 November 2015 menjadi awal kelam hari-hari remaja berinisial MW berikutnya. Masanya untuk menikmati kegembiraan sebagai remaja 14 tahun dalam sekejap sirna. Pada hari itu pula, statusnya sebagai pelajar di sekolah formal harus rela ditanggalkan.
Situasi ini jelas tidak hanya menyisakan kemalangan bagi MW. Orangtua, saudara dan orang-orang dekat yang peduli juga merasakannya. Tapi, kemalangan tidak dapat melanjutkan sekolah sebenarnya hanyalah setitik dari masalah yang dihadapi MW. Karena MW saat ini harus memikul beban berat vonis penjara 4 tahun atas tuduhan membunuh teman sekelas.
“Hari itu anak saya diinterogasi di sekolah tanpa sepengetahuan saya. Sejak saat itu, anak saya disibukkan dengan proses hukum yang harus dia jalani,” cerita ibu berinisial WIS (37) berusaha mengingat-ingat kenangan pahitnya dua tahun lalu.
Saat itu, lanjut dia, MW baru empat bulan tercatat sebagai siswa kelas 7 SMP PGRI Candi-Sidarjo. MW sempat dua bulan mendekam di Polda Jatim untuk menjalani pemeriksaan sebelum akhirnya hakim mengeluarkan vonis pada Agustus 2016. Selama itu pula, tak ada buku maupun guru yang biasa menemaninya di waktu pagi hingga siang. Bahkan tak satu pun dari pihak sekolah yang datang sekadar menanyakan kabar. WIS pun mulai cemas, baik karena kasus yang sedang dihadapi buah hatinya maupun tentang  keberlanjutan pendidikannya.
“Bahkan sekadar untuk meminta surat pindah dari sekolah asal itu sulit sekali. Apalagi bisa diterima ke sekolah baru. Saya inginnya MW tetap mendapatkan pendidikan di sela kasus hukumnya berjalan,” kata dia.
Kendati WIS yakin anaknya tak bersalah, namun hukum tetaplah berkuasa sesuai ketukan palu pengadilan. Vonis itu, tidak hanya memberi sanksi pidana. Tetapi juga sanksi sosial yang mengurung MW dari kebebasan bersosialisasi. “Teman-temannya menghindar. Kepercayaan dirinya melemah. Bahkan untuk salat di masjid atau beli jajan di di depan rumah saja dia tidak berani,” tutur dia.

Tags: