Tak Mampu Ikut UN, Siswa Slow Learner Hanya UAS

16-ujian-paket-CHari Kedua UN SMA, MA, SMK dan Kejar Paket C
Adit Hananta Utama, Kota Surabaya
Tidak semua anak dilahirkan beruntung memiliki kesempurnaan fisik dan mental. Ada yang lahir dengan ketunaan fisik, ada juga yang berkembang dengan keterbelakangan mental. Beberapa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ini bisa jadi tetap mampu menerima materi pembelajaran layaknya siswa normal. Namun ada juga dari mereka yang terlampau sulit belajar hingga tak dapat mengikuti Ujian Nasional (UN).
Salah satu ruang kelas SMA Inklusif Galuh Handayani Surabaya sedang berlangsung ujian untuk siswa kelas XII. Ujian yang dimaksud bukannya UN seperti yang kini digelar di sejumlah sekolah, melainkan hanya Ujian Akhir Sekolah (UAS). Beberapa di antara mereka ada yang merengek-rengek saat mengerjakan soal, ada pula yang sibuk melihat-lihat sekeliling ruang kelas, ada yang membaca soal dengan suara keras ada juga yang minta soalnya dibacakan oleh pendamping.
Suasana semacam ini memang tidak biasanya terjadi saat ujian. Namun semua dapat dimaklumi kerena mereka adalah anak-anak berkebutuhan khusus yang memang tidak dapat mengikuti UN lantaran dinyatakan belum memenuhi persyaratan sebagai peserta UN. Di antara mereka ada yang mengalami autis, slow learner berat dan cerebral palsy (lumpuh otak).
“Mereka telah dites secara psikologis dan intelejensianya. Tetapi hasilnya, IQ mereka di bawah rata-rata atau kurang dari 90. Sehingga mereka pun tidak dapat mengikuti UN, meskipun sejatinya sudah waktunya,” ungkap Ketua Yayasan Galuh Handayani  Surabaya Sri Sedyaningrum saat ditemui di kantornya, Selasa (15/4).
Sri menuturkan, ada tujuh siswanya yang dinyatakan tidak dapat mengikuti UN karena ketunaan terlalu berat dan IQ di bawah rata-rata. “Dari tujuh itu, 6 ikut UAS di sekolah, 1 lagi ikut UAS di rumah. Dilaksanakan di rumah karena siswa tersebut sedang sakit dan mudah mengalami kecemasan yang berlebihan saat mengerjakan soal,” kata dia.
Penyelenggaraan UAS ini sendiri, kata Sri, dasar-dasarnya tetap mengacu pada kisi-kisi UN. Namun demikian, materi soalnya dibuat lebih mudah dibandingkan soal UN yang kini diujikan. Soal-soal itu pun dibuat oleh dewan guru SMA Inklusi Galuh Handayani sendiri.
Karena bukan peserta UN dan hanya mengikuti UAS, mereka pun tidak berhak mendapat ijazah kelulusan dan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN). Sri mengatakan, para siswa ini akan diberikan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dari sekolah saja. Otomatis, siswa juga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Untuk itulah, di sekolah tersebut, disediakan program Post School Transition untuk melatih vokasi atau keterampilan anak agar dapat hidup lebih mandiri
Lebih lanjut Sri mengatakan, sebenarnya tidak semua siswa di sekolahnya tidak dapat mengikuti UN. Dari total 22 siswa kelas XII, 15 di antaranya kini tengah mengikuti UN menggabung di SMAN 16 Surabaya. Dari 15 siswa tersebut, 3 di antaranya juga merupakan ABK. “Kami tetap akan memenuhi hak-hak siswa, baik yang normal maupun ABK. 3 siswa ABK ini dapat mengikuti UN karena ketiganya lolos saat tes psikologis dan tes IQ,” kata Sri.
Dia menyadari, bahwa setiap ABK memiliki keunikan masing-masing. Dalam keunikan itulah tersimpan kemampuan ABK yang berbeda-beda. Sehingga bagi ABK yang dari sisi IQ-nya rendah lalu emosi juga masih memerlukan banyak pendampingan, untuk sementara tidak diikutkan UN. “Ini sudah atas sepengetahuan orangtua. Jadi sama sekali tidak ada maksud dari kita untuk menghalang-halangi mereka ikut UN,” katanya.
Secara terpisah, Kabid TK, SD dan Pendidikan Khusus (PK) Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Nuryanto menganggap langkah pengurus SMA Inklusif Galuh Handayani telah sesuai. Memang tidak semua ABK dapat mengikuti UN. Misalnya, ABK tuna grahita dan autis berat. “ABK seperti ini cukup mengikuti ujian sekolah saja tanpa perlu mengikuti UN. Nanti dapat surat tamat belajar dari sekolah,” ujarnya.
Nuryanto menjelaskan beberapa ABK yang bisa mengikuti UN, seperti anak tuna netra (A), tuna rungu (B), tuna daksa (D) dan tuna grahita ringan (E). Jenis ketunaan semacam ini masih dapat mengikuti UN dengan catatan mereka lulus tes IQ dan psikologis. “Tetapi jika belum bisa ikut UN, ABK dapat diberi dua pilihan. Ikut ujian sekolah atau ikut UN tahun depan. Bila ikut UN tahun depan, berarti mereka harus tinggal kelas dulu,” pungkasnya. [tam]

Tags: