Tak Menyerah, Meski Sempat Jadi Bahan Cemoohan Warga

Mulyono menunjukkan salah satu degester yang digunakan warga desa Simomulyo untuk membuat biogas.

Mulyono menunjukkan salah satu degester yang digunakan warga desa Simomulyo untuk membuat biogas.

Geliat Inovasi Mewujudkan Desa Mandiri Energi
Tulungagung, Bhirawa
Hawa sejuk khas pegunungan begitu terasa ketika memasuki wilayah Desa Sidomulyo Kecamatan Pagerwojo Kabupaten Tulungagung. Hutan pinus yang pohonnya berjejer rapi sampai ke jurang akan mudah terlihat di pinggir jalan desa.
Desa Sidomulyo berketinggian mencapai 880 meter di atas permukaan laut (DPL). Untuk sampai ke desa yang berbatasan secara administratif dengan Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Ponorogo tersebut, dibutuhkan waktu sekitar satu jam dari Kota Tulungagung. Jarak antara Kota Tulungagung dan Desa Sidomulyo sekitar 30 km.
Dulu jalan beraspal satu-satunya menuju Desa Sidomulyo cukup baik untuk dilalui kendaraan bermotor kendati tidak bisa dikatakan mulus. Saat ini jalan aspal tersebut sudah berubah menjadi layaknya jalan makadam. Aspalnya banyak yang sudah terkelupas dan rusak di sana sini. Jalanan rusak ini menjadikan hambatan tersendiri bagi warga Desa Sidomulyo.
Pohon pinus yang tumbuh di Desa Sidomulyo dimanfaatkan warga setempat untuk disadap getahnya. Selain menyadap getah pinus, warga Desa Sidomulyo  juga beternak sapi. Kegiatan beternak sapi ini bahkan menjadi kegiatan yang hampir dilakukan seluruh warga Desa Sidomulyo. Hawa yang sejuk dan tersedianya rumput yang terus tumbuh di daerah tersebut membuat kegiatan beternak sapi menjadi primadona bagi warga setempat yang berjumlah 735 kepala keluarga (KK). Ternak sapi yang dikembangkan tidak hanya sapi potong untuk konsumsi tetapi juga sapi perah.
Populasi sapi yang per-KK bisa sampai lima ekor tersebut membuat produksi kotorannya juga berlimpah. Dulu warga Desa Sidomulyo memanfaatkan kotoran sapi hanya untuk sekadar pupuk kandang saja. Tetapi kini kotoran sapi tersebut, sudah dimanfaatkan untuk yang lebih produktif. Kotoran sapi dijadikan sumber energi untuk kegiatan memasak. Energi biogas yang menggantikan gas elpiji. Perubahan peruntukan dari awalnya hanya untuk pupuk kandang menjadi sumber energi sehari-hari bukanlah proses mudah dan terjadi begitu saja.

Tak Menyerah Dicemooh Warga
Pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas pertama kali dirintis oleh Kepala Desa Sidomulyo, Mulyono. Ia mulai merintis pada tahun 2008. Namun, usahanya ini tidak berjalan mulus. Mulyono belum berhasil membuat biogas dari kotoran sapi karena alat yang dibuatnya mengalami kebocoran. Usaha Mulyono yang gagal tersebut sempat membuat cemoohan warga. Mereka menilai usaha Mulyono tersebut hanya membuat septic tank kotoran sapi. Warga pun kemudian enggan mengikuti jejak Mulyono.
Keadaan mulai berubah ketika Pemkab Tulungagung menjadikan Desa Sidomulyo sebagai pilot project pengembangan desa mandiri energi pada tahun 2014. Sebelumnya, Bupati Tulungagung telah menetapkan lokasi Desa Sidomulyo sebagai tempat pilot project pengembangan desa mandiri energi pada tanggal 12 April 2013 melalui Surat Keputusan Nomor : 188.45/397/013/2013.
Ada beberapa pertimbangan mengapa Desa Sidomulyo kemudian terpilih sebagai lokasi pilot project pengembangan desa mandiri energi. Di antaranya, potensi sumber bahan baku (kotoran ternak) untuk pengembangan biogas cukup tinggi, tersedia lahan yang cukup untuk penempatan instalasi biogas, kebutuhan masyarakat akan biogas sangat tinggi dan ditambah lagi akses untuk mendapatkan energi sulit. Selain itu, pendapatan masyarakat Desa Sidomulyo  umumnya rendah. Kesadaran dan kepedulian masyarakat akan lingkungan cukup tinggi. Serta karena termasuk daerah terpencil, tertinggal dan jauh dari perkotaan sehingga benar-benar membutuhkan energi yang berupa biogas.
Mulyono pada Bhirawa, mengungkapkan saat desa yang dipimpinnya dijadikan pilot project desa mandiri energi, ia mendapat bantuan dana Rp 135 juta dari Kementerian Dalam Negeri melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Tulungagung.
“Kami waktu itu membangun delapan degester untuk membuat biogas. Delapan degester ini bisa menyuplai gas di 20 KK,” ujarnya.
Pembinaan dari BPMPD Kabupaten Tulungagung terkait pembuatan degester atau reaktor sederhana untuk membuat biogas tidak lagi membuat Mulyono mendapat cibiran warga. Apalagi, sebagian warga sudah dapat mengambil manfaat dari degester yang dibuat Mulyono.
Saat ini Mulyono terus mengembangkan pembangunan degester di Desa Sidomulyo. Sampai tahun ini sudah ada 26 degester yang dibuatnya bersama pemuda-pemuda setempat yang diikutkan dalam pengembangan pembuatan degester.
“Dengan 26 degester, sudah ada 90 KK yang dapat menikmati biogas. Rencananya, sampai akhir tahun ini kami akan buat lagi 13 degester yang akan kami buat lagi. Minimal dengan tambahan tersebut ada 26 KK lagi yang bisa mendapat biogas,” paparnya.
Mulyono menjelaskan untuk membangun degester-degester baru dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Satu degester ukuran 12 meter kubik biayanya bisa mencapai Rp 27,5 juta. “Bulan depan kami akan bangun degester dengan biaya swadaya masyarakat. Pembangunan degester baru ini murni dari desa biayanya. Karena dari desa dan dibiaya dengan swadaya juga diperkirakan untuk membangunnya hanya membutuhkan Rp 10 juta saja,” paparnya.
Ia berharap seluruh warga Desa Sidomulyo dapat menikmati biogas yang bisa dikatakan gratis. Warga hanya diwajibkan membayar Rp 5 ribu perbulan untuk pengembangan pembuatan degester itu. Sedang untuk bahan baku sudah tersedia dari kotoran sapi milik warga. “Kalau masalah lahan untuk buat degester tidak masalah. Setiap warga mau lahannya dijadikan tempat degester. Apalagi degester yang bentuknya mirip parabola itu ditanam dibawah tanah,” terang Mulyono.
Di Desa Sidomulyo, menurut Mulyono, sudah dibangun degester dengan ukuran yang bervariasi. Ada yang berukuran enam meter kubik, kemudian delapan meter kubik, 10 meter kubik dan 12 meter kubik. Ukuran 10 meter kubik maksimal dapat memenuhi kebutuhan empat KK. Sedang yang ukuran 12 meter kubik bisa sampai lima KK.
Kegigihan Mulyono dalam mengembangkan pembuatan degester membuat Desa Sidomulyo terpilih sebagai pelaksana terbaik tingkat nasional dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan Pilot Project Desa Mandiri Energi Tahun 2014. Desa Sidomulyo berhasil menyisihkan 108 kabupaten/kota lainnya se-Indonesia yang mendapat Program Desa Mandiri Energi dari Dirjen PMD Kementerian Dalam Negeri RI.
“Kami sempat diajak ke Jakarta sebagai narasumber terkait pengelolaan desa mandiri energi berbasis biogas,” ungkap Mulyono bangga.
Keberhasilan Mulyono ini membuat Desa Sidomulyo menjadi percontohan bagi desa-desa lainnya di Kabupaten Tulungagung. Bahkan beberapa pemuda Desa Sidomulyo yang saat ini mahir membuat degester diminta untuk membuat degester di desa-desa lain.
Lilis Triono, salah satu dari pemuda itu mengatakan sudah membangun enam degester di lain desa di Kabupaten Tulungagung. “Saya bersama teman membangun  (degester) di Desa Samir Kecamatan Kalidawir, kemudian di Desa Jengglungharjo di Kecamatan Tanggunggunung dan di salah satu desa di Kecamatan Gondang. Setiap desa dibangun dua degester,” ujar pemuda berusia 30 tahun ini ketika ditemui Bhirawa dirumahnya. Membuat degester, lanjut Lilis Triono, bisa dikata gampang-gampang sulit. Yang utamanya degester jangan sampai mengalami kebocoran. “Tapi karena kami sudah berpengalaman membuat di desa sendiri, jadi tidak sulit lagi,” katanya sembari tersenyum.
Kebahagian serupa juga terpancar dari raut wajah Farida Antasari (30). Warga Desa Sidomulyo ini mengungkapkan adanya biogas yang kini telah mengalir ke rumahnya membuat pengeluaran belanja hariannya berkurang. Dulu ia selalu memakai gas elpiji 3 kg sebanyak tiga tabung sebulan.

Peternakan sapi milik Lilis Triono yang limbahnya digunakan untuk pembuatan biogas.

Peternakan sapi milik Lilis Triono yang limbahnya digunakan untuk pembuatan biogas.

Sekarang tidak lagi. Ibu seorang putri tersebut sekarang cukup hanya mengandalkan korek api saja, lantas kompor pun menyala. Apinya pun biru. Sebiru langit Desa Sidomulyo yang akan semakin terkurangi polusi udaranya karena warga setempat sebagian sudah tidak mengandalkan kayu bakar sebagai energi untuk memasak.
“Sekarang saya tidak memakai kayu bakar lagi untuk memasak. Juga tidak pakai gas elpiji. Jadi bisa hemat Rp 50 ribu-an sebulan. Biasanya kalau elpiji (tabung 3 kg) bisa tiga tabung. Satu tabung harganya Rp 18 ribu,” tuturnya. Selain itu. Farida Antasari mengaku biogas dapat dijadikan penerangan jika tiba-tiba aliran listrik padam.
“Terang juga pakai penerangan dari biogas,” ucapnya. Sedang Mulyani, (45), warga Desa Sidomulyo lainnya masih berharap dapat menikmati aliran biogas gratis di rumahnya. Ia menyadari belum semua warga Desa Sidomulyo bisa dapat membangun degester sebagai alat membuat biogas. Salah satu faktor utamanya adalah biaya pembuatan degester.
“Kami menunggu saja. Bukannya tidak mau. Belum mendapat (bantuan) saja,” ujarnya. Ia berharap nantinya semua warga Desa Sidomulyo dapat menggunakan biogas. Terlebih semua warga memiliki sapi sebagai penghasil bahan baku biogas.
Sementara itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Tulungagung, Drs Tranggono Dibjoharsono, menyatakan sudah punya rencana untuk mengembangkan desa energi mandiri di Tulungagung. Tidak hanya di Desa Sidomulyo Kecamatan Pagerwojo. Tetapi juga di desa-desa lainnya.
“Kedepan tidak hanya Desa Sidomulyo. Desa yang punya potensi seperti Desa Sidomulyo bisa juga dijadikan desa mandiri energi,” ujarnya.
Selain Desa Sidomulyo, menurut Tranggono, ada beberapa desa lain di wilayah Kecamatan Sendang yang bisa dijadikan desa mandiri energi.
“Ada sebagian wilayah di Tulungagung yang warganya berternak sapi. Contohnya di Sendang itu. Nanti yang potensi-potensi seperti itu akan dikembangkan menjadi desa mandiri energi,” paparnya.
Dikatakan banyak daerah di Tulungagung yang bisa dikembangkan untuk menjadi desa mandiri energi berbasis biogas. Tak terkecuali desa-desa yang warganya banyak menerima sapi bantuan dari pemerintah.
“Ada banyak kelompok peternak yang menerima bantuan sapi. Mereka bisa juga membuat degester agar lebih bermanfaat,” tuturnya.
Tranggono mengakui masalah dana menjadi kendala dalam pengembangan desa mandiri energi. Jika mampu diharapkan memang ada swadaya dari warga untuk membangun degester-degester. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, BPMPD Kabupaten Tulungagung akan berusaha untuk mendapatkan dana tersebut.
“Bisa minta bantuan lagi dari Pemerintah Pusat atau dari APBD Tulungagung,” terang mantan Camat Kedungwaru yang baru sebulan menjabat sebagai Kepala BPMPD Kabupaten Tulungagung ini.
Tranggono mengungkapkan di Penampihan Desa Geger kini sudah dikembangkan pula pembuatan mikrohidro. Pemanfaatannya untuk pembangkit tenaga listrik.
“Di sana (Penampihan) mikrohidro digunakan sebatas untuk menunjang pariwisata di Desa Geger. Seperti untuk  penerangan Candi Penampihan. Kalau warga sendiri sudah teraliri listrik dari PLN,” ucapnya.

Salah seorang ibu rumah tangga Farida Antasari yang memasak dengan kompor yang menggunakan biogas. Tampak api kompor yang berwarna kebiru-biruan.

Salah seorang ibu rumah tangga Farida Antasari yang memasak dengan kompor yang menggunakan biogas. Tampak api kompor yang berwarna kebiru-biruan.

Pemanfaatan kotoran sapi ini, ternyata bukan hanya menginspirasi warga di beberapa desa di Kabupaten Tulungagung, empat mahasiswa Universitas Brawijaya Malang saat melakukan pengabdian masyarakat ternyata juga sudah menggagas desa mandiri energi di Desa Garung, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan dengan memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas. Keempat mahasiswa Universitas Brawijaya tersebut adalah Rahmat Hidayat, Syaifa Nuraini, Musyaroh  dan Agus Susanto saat melaksanakan program pengabdian masyarakat dengan dana hibah dari Direktorat Jendral Perguruan Tinggi melalui Program Kreativitas Mahasiswa 2015. Menurut Agus Susanto, Desa Garung dipilih karena desa yang masuk wilayah Kabupaten Lamongan ini sebagian besar warganya dari 500 KK memiliki ternak sapi.
“Banyaknya sapi tersebut menyebabkan banyak pula kotoran sapi yang dihasilkan. Sehingga potensi menyulap Desa Garung menjadi desa mandiri energi sangat dimungkinkan,” kata Agus.  Lebih lanjut menurut Agus, dalam pembuatan instalasi biogas tersebut terdiri berbagai komponen seperti lubang inlet, digester biogas, lubang outlet, penampung gas, dan kompor modifikasi. Digester biogas merupakan komponen yang sangat penting dalam kontruksi biogas karena digester merupakan tempat fermentasi bahan-bahan organik menjadi biogas.
Digester yang digunakan adalah digester fixed dome dengan kapasitas kotoran sapi sebesar 1.000 liter kotoran sapi. Biogas dapat menjadi pengganti kompor LPG/kayu bakar yang memanfaatkan energi panas dari biogas, pengganti premium dalam operasional menyalakan genset, pompa air, dan mesin lainnya serta dapat menjadi bahan bakar untuk penerangan.

Membangun Energi dari Sampah
Kalau di Kabupaten Tulungagung dan Lamongan Desa Mandiri Energi bisa dibangun dengan bermodal limbah peternakan sapi milik warga, maka Desa Mandiri Energi yang dikembangkan di Kabupaten Malang berbeda lagi. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang memiliki visi besar agar setiap kecamatan memiliki desa yang bisa menjadi Desa Mandiri Energi dengan berbasis pada potensi yang ada di sekitarnya.
Salah satu upaya yang saat ini terus dilakukan adalah mewujudkan masing masing kecamatan sebagai wilayah dengan konsep kelola sampah untuk dijadikan sumber energi yang berbasis lingkungan. Sehingga nantinya di setiap kecamatan akan ada desa akan menjadi Desa Mandiri Energi (DME) yang pro iklim.
Sampai saat ini, beberapa desa di Kabupaten Malang sudah menjadi desa mandiri energy baik yang berbasis dari pengolahan kotoran hewan maupun dari pengolahan sampah. Seperti yang sudah dilakukan Pemkab Malang melalui Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Kabupaten Malang, yakni membuat gas methane untuk mensuplai kebutuhan rumah tangga kepada warga di Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Desa Paras, Kecamatan Poncokusumo, dan Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, dengan memanfaatkan sampah dan kotoran sapi.
Sedangkan teknologi pengelolaan sampah menjadi gas methane itu seperti di area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talangagung, TPA Paras.
“Pemkab sudah memasang jaringan distribusi perpipaan gas methane langsung ke rumah warga di sekitar TPA untuk kebutuhan memasak sehari-hari,” terang Bupati Malang Dr H Rendra Kresna  kepada Bhirawa.

Lahan sedalam 12 meter yang dipergunakan untuk menampung sampah.

Lahan sedalam 12 meter yang dipergunakan untuk menampung sampah.

Menurut Rendra, dari awal dibangunnya jaringan distribusi gas methane di area TPA Talangagung yaitu pada tahun 2010 dengan 30 Sambungan Rumah (SR) kader lingkungan. Dan pada tahun 1014 sudah ada 195 SR dengan kontribusi Corporate Social Responsbility (CSR).
Selain Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen dan Desa Paras, Kecamatan Poncokusumo sebagai desa mandiri energi, kata dia, juga sedang dibangun Desa Mandiri Energi (DME) berbasis biogas di Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. Sementara, DME di Desa Bendosari dibiayai dari dana APBN melalui hibah dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Melalui  DME di Desa Bendosari tersebut, Rendra menjelaskan, yakni agar masyarakat bisa memanfaatkan limbah atau kotoran sapi menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro (PLTM).
“Baik digunakan masyarakat untuk keperluan memasak maupun untuk penerangan lampu. Sehingga masyarakat tidak lagi akan tergantung dengan gas elpiji ketika melakukan kegiatan memasak sehari-hari, serta tak tergantung penerangan dari sambungan PLN,” paparnya.
Menurutnya, perjalanan pembangunan di Desa Mandiri Energi ini terus dilakukan secara bertahap. Dan kalau bisa jangan mengharap bantuan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, melainkan dengan upaya swadaya masyarakat sendiri. Sebab, sudah banyak di Kabupaten Malang yang menggunakan teknologi berbasis biogas ini.
Tujuan Pemkab Malang terus mewujudkan DME di wilayah Kabupaten Malang ini, jelas Rendra, agar pemanfaatan energi mandiri tersebut bisa untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat yang berbasis lingkungan. Menumbuhkan usaha-usaha produktif baru dengan  melalui sumber energi yang pro iklim. “Dengan harapan desa yang menjadi DME bisa sebagai tujuan wisata dengan keunggulan industri niaga dan pengelolaan sumber energi yang tidak merusak lingkungan,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala DCKTR Kabupaten Malang Romdhoni menambahkan, salah satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talangagung yang berada di Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, ditetapkan sebagai Desa Mandiri Energi Pro iklim, karena desa tersebut mampu mengubah sampah menjadi biogas dan telah digunakan oleh warga desa setempat. TPA Talangagung sendiri, jelas dia, telah memiliki lahan seluas 2 hektar, yang menerima buangan sampah dari 87 Tempat Pembuangan Sementara (TPS) yang tersebar di sembilan kecamatan di Kabupaten Malang dan mencapai 141 meter kubik (m3) sampah setiap harinya.
“Tempat pembuangan sampah di TPA Talangagung memiliki kedalaman 12 meter, dan juga telah dipasang alat untuk gas metan, pipa pengalir air lindi dan kemudian ditutup menggunakan timbunan tanah uruk,” kata Romdhoni.
Menurut dia, sistem yang digunakan untuk menghasilkan gas methane yakni menggunakan system control land fill, yaitu sampah ditumpuk di TPA pada kedalaman 12 m agar tidak menimbulkan bau serta proses pembusukannya lebih cepat hingga menghasilkan gas methane yang bisa di tangkap untuk dimanfaatkan. Selain itu, TPA Talangagung juga memiliki Green Belt berupa deretan pohon-pohon keras.
Dan di dalam TPA Talangagung sendiri, lanjut Romdhoni,  juga terdapat alat pemisah sampah yang digerakkan oleh energi biogas, sehingga dapat langsung memisahkan sampah yang masuk antara sampah organik dengan sampah-sampah padat lainnya seperti plastik, kaca, kayu, besi dan sebagainya.
“Sampah organik diolah untuk menghasilkan gas metan dan apabila sampah organik tersebut sudah tidak dapat dimanfaatkan untuk menjadi gas methane, maka akan diolah menjadi pupuk kompos yang dimanfaatkan pada kebun-kebun organik yang ada di wilayah TPA Talangagung tersebut,” jelasnya.

Pipa transmisi yang menyalurkan gas methane ke rumah-rumah warga.

Pipa transmisi yang menyalurkan gas methane ke rumah-rumah warga.

Diterangkan, sampah non organik yang masuk kedalam bank sampah melibatkan sebanyak 12-15 orang tenaga pemulung sampah. Untuk saat ini CKTR Kabupaten Malang menerapkan metode pengolahan sampah berbasis masyarakat dengan tujuan untuk memanfaatkan langsung sampah dari sumbernya yakni masyarakat, mulai dari pemilahan sampah serta pemanfaatan gas methane dengan composter menggunakan multy drums.
Romdhoni menegaskan, TPA Talangagung tidak hanya menghasilkan gas methane untuk keperluan memasak saja, tapi juga menghasilkan listrik dengan daya 22,5 KVA. Sedangkan yang menjadi penggerak untuk menghasilkan listrik yaitu motor pompa air. “Saat ini gas methane yang didistribusikan ke warga desa setempat, pihaknya tidak menarik biaya melainkan gratis,”  ujarnya.
Selain TPA Talangagung mengolah sampah menjadi gas methane, kata Romdhoni, TPA ini juga sebagai tempat wisata edukasi yang berbasis lingkungan. Dan TPA Talangagung juga sering dijadikan tempat para wisatawan mancanegara untuk mempelajari secara langsung pengolahan sampah menjadi berbagai hal yang sangat bermanfaat. Serta TPA ini juga pernah berhasil meraih juara satu kategori produk ECO Creative di Pekan Lingkungan Hidup atau ECO Creative Festival, pada tahun 2011.
Ditambahkan, untuk menuju TPA Talangagung sangat mudah dijangkau, misalnya dari Jalan Lingkar Barat (Jalibar) yang masuk di wilayah Desa Talangagung, jaraknya hanya 500 meter. Dan jika dari Kota Kepanjen berjarak kurang lebih 5 kilometer menuju arah wisata ritual Gunung Kawi.

Keluhkan Distribusi Gas Methane
Secara terpisah, salah satu warga Desa Talangagung Lina mengatakan, sejak tiga tahun terakhir ini, sebagian warga Desa Talangagung menggunakan gas methane hasil pengolahan sampah di TPA. Penggunaan gas methane untuk keperluan warga memasak sehari-hari, sebelumnya Pemkab Malang memberikan kompor gas methane secara gratis, dan bahkan pendistribusian gas tersebut juga gratis.
“Dari pemasangan pipa distribusi hingga ke rumah penduduk dilakukan Pemkab Malang. dan warga hanya siap menggunakan gas methane. Namun sayangnya, suplai gas methane tidak  24 jam. Dan bahkan, pendistribusian gas menthane sendiri kadang-kadang kompor bisa dinyalakan, dan kadang tidak bisa menyala,” ujarnya.
Sebenarnya, Lina mengaku, penggunaan gas methane yang disuplai dari TPA Talangung ini untuk keperluan warga dalam memasak sehari-sehari sangat membantu ibu-ibu. Sebab selain gratis, apinya pun jika nyala cukup bagus dan berwarna biru, jika dibanding dengan menggunakan gas elpiji.
Ditegaskan, warga Desa Talangagung sebenarnya mau jika membayar setiap bulan ke TPA, asalkan pendistribusian gas methane tersebut bisa digunakan sewaktu-sewaktu atau 24 jam. Karena hingga saat ini warga lebih sering memasak menggunakan gas elpiji, itu disebabkan pendistribusian gas methane tidak lancar. Padahal, kata Lina, jika pendistribusian gas tersebut lancar, secara otomatis akan mengurangi beban ibu-ibu dalam mengeluarkan biaya hidup. Karena memasak dengan menggunakan gas elpiji, satu bulan bisa 2-3 tabung, tapi juga tergantung penggunaannnya.
“Seperti ini mas, saya akan memasak air untuk membuat kopi, kompor gas methane tidak bisa dinyalakan,” jelasnya.
Pengamat energi dari kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Dr Machsus Fawzy meyakini kalau sebenarnya potensi energi yang ada di masyarakat itu demikian besar. Sehingga kalau pemerintah mau memfasilitasi masyarakatnya untuk mengembangkan potensi itu, maka tidak sepatutnya bangsa Indonesia cemas dengan krisis energi.
“Kita punya banyak kampus yang memiliki budaya riset yang tinggi, sehingga kalau kampus juga didorong untuk ikut meneliti pengembangan energi terbarukan ini tentu akan sangat luar biasa hasilnya,” jelas Machsus lagi. Hanya sayangnya, tegas Machsus pemerintah lebih memandang program tentang desa mandiri energi hanya sekadar proyek, sehingga ujung-ujungnya hanya untuk mencari keuntungan semata.
“Akibatnya, program-program yang dirancang untuk mewujudkan bangsa ini bisa mandiri energi hanya terlihat indah di atas kertas saja. Meski sebenarnya kalau pemerintah serius menggarapnya akan mudah diwujudkan,” tambah Doktor kelahiran  Bangkalan Madura ini. Dan ironisnya lagi, lembaga-lembaga penelitian yang ada yang harusnya menjadi pilar dalam pengembangan teknologi di daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
“Kelembagaan Balitbang yang seharusnya menjadi laboratorium bagi birokrasi daerah dalam menghasilkan penelitian yang mendukung kebijakan pemerintah tak lebih hanya menghasilkan penelitian-penelitian sampah yang tidak nyambung dengan kebijakan pembangunan daerah, termasuk dalam hal penelitian soal energi,” ungkap Machsus lagi. [wahyu kuncoro sn]

Tags: