Tak Pernah Terima Diskon PBB, Dijual untuk Menutupi Tunggakan

 Ahli waris rumah radio Bung Tomo, Narindrani dan Tjintariani ditemui  di kawasan Gayung Sari Barat III Surabaya. Keduanya mengungkap alasan penjualan rumah bersejarah di Jl Mawar No 10 Surabaya yang sekarang menjadi polemik. [gegeh bagus]


Ahli waris rumah radio Bung Tomo, Narindrani dan Tjintariani ditemui di kawasan Gayung Sari Barat III Surabaya. Keduanya mengungkap alasan penjualan rumah bersejarah di Jl Mawar No 10 Surabaya yang sekarang menjadi polemik. [gegeh bagus]

Kesedihan Pemilik Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo
Kota Surabaya, Bhirawa
Bangunan cagar budaya  tempat studio pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) Bung Tomo di Jl Mawar No 10 Surabaya itu sudah rata dengan tanah. Robohnya bangunan yang  telah menjadi saksi bisu sejarah perjuangan arek Surabaya melawan penjajah ini  masih didalami kasusnya oleh pihak kepolisian.  Seiring pembongkaran rumah radio itu, terungkap alasan pemilik menjual dan kebijakan diskon 50% PBB (Pajak Bumi Bangunan) dari Pemkot Surabaya yang ternyata hanya abal-abal.
Pengakuan Pemkot Surabaya yakni memberikan diskon PBB sebesar 50 persen untuk bangunan cagar budaya ternyata hanya isapan jempol belaka. Sebab, ahli waris keluarga Aminhadi pemilik rumah Jalan Mawar 10 Surabaya mengaku tidak pernah mendapatkan diskon saat membayar PBB setiap tahunnya. Semakin bertambahnya tahun, nilai PBB tersebut terus bertambah.  Terakhir, keluarga ahli waris membayar PBB hingga Rp 20 juta per tahun.
Padahal, Pemkot Surabaya gembar-gembor memberikan diskon PBB sebesar 50 persen. Dengan harapan pengurangan pajak ini bisa dimanfaatkan pemilik bangunan untuk  merawat cagar budaya.  “Kami tak pernah menerima diskon PBB dari Pemkot Surabaya,” kata ahli waris keluarga Aminhadi, Narindrani (68) dan Tjintariani (66), pemilik lama rumah Jalan Mawar 10 saat ditemui Bhirawa di kawasan Gayung Sari Barat III kemarin.
Raut wajah dua ahli waris keluarga Aminhadi itu terlihat sedih setelah pembongkaran ini menyisakan masalah dan menggelinding ke Polrestabes Surabaya.  Dia menyayangkan, kenapa semuanya bisa terjadi.
Anak dari pemilik bangunan ini  menempati bangunan cagar budaya ini sejak 1973.  Pada 1996 silam, Pemkot Surabaya menetapkan rumah  di Jalan Mawar Nomor 10-12 sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) Bung Tomo.  Dua tahun kemudian, penetapan itu turun melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No.188.45/004/402.1.04/1998.
Selama proses penetapan itu, Nini Anilah Aminhadi, istri almarhum Aminhadi (Pak Amin) pemilik rumah harus mondar-mandir ke Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya karena mendapat panggilan. “Saya tanya, ada apa toh Bu? Katanya, rumah ini jadi cagar budaya. Tapi sampai sekarang, SK saja kami tidak pegang,” kisah Tjintariani, puteri kedua pasangan Aminhadi dan Nini Anilah.
Tjintariani mengatakan, saat itu Pemkot Surabaya memang memasang tetenger (prasasti) di rumah keluarga Aminhadi. Sebuah plakat, yang menurut Tjinta, terbuat dari kayu berisi penjelasan bangunan cagar budaya dan SK Wali Kota Surabaya.
Itu adalah terakhir kalinya keluarga Aminhadi bertemu petugas Pemkot Surabaya berkaitan penetapan cagar budaya rumah itu. Aminhadi dan istri tinggal di rumah itu bersama kedua puteri mereka, Narindrani (68) dan Tjintariani sejak sekitar 1973-1974.
Aminhadi bekerja sebagai pegawai Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP), salah satu perusahaan pergulaan peninggalan zaman Belanda. Kini PNP menjadi PT Perkebunan Nusantara/PTPN).  Amin bekerja di perusahaan itu hingga jabatan Direktur Utama. Karena ada kesempatan untuk membeli, dia membelinya setelah mendapat  izin dari Menteri Pertanian saat itu.
“Tahun-tahun itu juga, bapak kami mengurus surat-surat rumah sampai ke Belanda. Ini (Tjintariani) saksi hidupnya. Karena dia turut bapak ke sana,” kata Narindrani, puteri pertama Aminhadi.
Aminhadi meninggal pada 1985. Nini dan kedua puterinya tinggal di sana, hingga ibu dua anak itu meninggal 2006 lalu. Kedua puterinya pun mewarisi rumah keluarga di Jalan Mawar tersebut. Pembayaran PBB setiap tahun pun tetap dilakukan oleh Narindrani dan Tjintariani . Mereka mengaku tidak pernah mendapat potongan PBB atau apapun dari Pemkot Surabaya.  “Kami bayar full setiap tahunnya,” ujar keduanya kompak.
Hingga lambat laun, keduanya merasa tidak mampu lagi untuk membayarnya. Sebab, seiring bertambahnya waktu, PBB rumah itu pun terus membengkak.  Belum biaya lain-lain. Misalnya biaya air dan listrik Rp 4 juta hingga Rp 6 juta per bulan.
“Bayar PBB dari Rp 5 juta, sampai terakhir kami membayar hingga Rp 20 juta per tahun. Kami sudah tidak sanggup lagi untuk membayar PBB,” kata Andriani.
Selain kian mahalnya PBB, bangunan rumah juga banyak yang rusak dimakan usia. Untuk membangun, tidak ada biaya. Akhirnya keduanya sepakat menjual.  Pada 2012, rumah di Jl Mawar No 10 dijual. Pembelinya adalah tetangga mereka sendiri, yaitu Beng Jayanata, pemilik PT Jayanata Kosmetika Prima.
“Kami mengurus izin penjualan rumah itu ke Disbudpar Kota Surabaya. Prosesnya lama, kurang lebih satu tahun. Pokoknya semua dengan izin dari Pemkot Surabaya,” tambah Tjintariani.
Kedua ahli waris ini menilai Beng Jayanata sebagai tetangga yang baik. Beng sebelumnya juga membeli rumah tetangganya. “Giliran rumah orangtua kami, malah seperti ini. Dirobohkan, rumah bersejarah itu diratakan dengan tanah,” ucap Narindrani dengan nada kecewa.
Soal IMB Desember 2015, Narindrani mengaku yang mengurus bukan lagi mereka. Melainkan pihak pembeli. Begitu juga tentang pengajuan renovasi di Disbudpar pada Februari 2016 kemudian rekomendasinya keluar pada Maret 2016 juga dilakukan pemilik baru.
Sebelumnya Kepala Disbudpar Surabaya  Wiwiek Widayati mengatakan, Pemkot Surabaya sudah memberikan diskon PBB sebanyak 50 persen kepada ahli waris rumah Bung Tomo di Jl Mawar No 10-12. Tujuannya, kata Wiwiek, 50 persen sisa dana untuk bayar PBB dapat digunakan oleh pemilik untuk melakukan pemeliharaan bangunan. “Diskon 50 persen itu supaya masyarakat juga ikut memelihara bangunan cagar budaya,” katanya saat jumpa pers dengan wartawan. [Gegeh Bagus Setiadi]

Tags: