Tak Tahu Ada Jalur Mitra Warga Apalagi Jalur Wali Kota

Anak-anak dari keluarga tidak mampu di Rusunawa Jambangan Baru Selatan yang belum mendapat sekolah hingga hari pertama tahun ajaran baru 2016/2017, Senin (18/7) kemarin. [adit hananta utama]

Anak-anak dari keluarga tidak mampu di Rusunawa Jambangan Baru Selatan yang belum mendapat sekolah hingga hari pertama tahun ajaran baru 2016/2017, Senin (18/7) kemarin. [adit hananta utama]

Anak-anak yang Tertutup Akses Pendidikan
Kota Surabaya, Bhirawa
Persoalan akses pendidikan tidak hanya terjadi di daerah-daerah terpencil. Karena di kota sebesar Surabaya, akses untuk mendapatkan pendidikan layak nyatanya juga tak semudah yang dibayangkan. Alhasil, layanan pendidikan tak mampu menyentuh seluruh masyarakat hingga ke lapisan paling bawah.
Ribuan senyum terkembang dari anak-anak Surabaya saat memasuki hari pertama ke sekolah barunya, Senin (18/7) kemarin. Para orangtua, berduyun-duyun mengantarkan putera-puteri mereka sebagaimana instruksi Menteri Pendidikan di Jakarta sana. Sayang, indahnya hari pertama masuk sekolah tak dapat dinikmati oleh semua.
Siti Nur Laila dan  Cinthya Putri Agustin, menjadi potret anak-anak kurang beruntung yang tertutup aksesnya mendapat layanan pendidikan. Laila, sapaan akrab Siti Nur Laila tidak mampu membayar biaya pendaftaran di sekolah swasta. Sementara untuk masuk ke sekolah negeri, dia telah gagal saat mengikuti jalur umum PPDB Surabaya.
“Tidak ada yang memberi tahu ada jalur mitra warga. Ada guru yang ngasih tahu, tapi setelah jalur mitra warga itu sudah ditutup,” tutur alumnus SDN Karah 3 ini saat ditemui di tempat tinggalnya di Rusunawa Jambangan Baru Selatan Surabaya.
Melalui jalur umum, Laila mendaftar di SMPN 32 dan 21. Dia gagal karena nilai Ujian Sekolah (US)-nya tak mampu bersaing dengan pendaftar lainnya. Nilainya hanya 180,5. Selain tidak mengatahui jalur mitra warga, Laila juga tak tahu soal pendaftaran jalur wali kota. “Pas tidak diterima jalur umum sekolah juga nggak bisa bantu katanya,” tutur Laila saat ditemui bersama bapaknya yang sudah tidak bekerja karena lumpuh sejak 2011 lalu.
Ketidakmampuan serta informasi yang minim membuat orangtua Laila tak bisa banyak membantu. Bahkan Laila dibantu orangtua temannya untuk mencari sekolah swasta yang bisa memberikan keringanan biaya. “Ada tante ibunya teman saya yang ngajak nyari sekolah ke SMP Widya Dharma dan SMP Muhammadiyah Gadung, ” terang gadis penjual koran ini.
Dikatakannya, ia baru bisa bebas dari biaya pendidikan di SMP Widya Dharma jika memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP). Sedangkan harapan untuk mendapat keringanan biaya dari SMP Muhammadiyah juga belum bisa didapatkan karena belum menemui kepala sekolah. “Kalau sekolah pinginnya di SMP Muhammadiyah. Kalau di Muhammadiyah pendidikan agamanya bagus, jadi saya bisa belajar baca Alquran juga,” harapnya.
Hingga saat ini, Laila baru mengantongi formulir dari SMP Muhammadiyah Gadung dan belum bisa mengembalikannya. “Beli formulirnya Rp 250 ribu. Itu dibayari sama tante,” kata dia.
Taman, orangtua Laila menjelaskan, karena ia dan istri tidak bekerja, kehidupan mereka mengandalkan pemberian dari anak mereka yang lulusan SMP. Sehingga ia cukup kesulitan jika harus menanggung biaya pendidikan Laila juga. “Tinggal di Rusunawa dari 2013 sewanya Rp 87.000,belum listrik dan air Rp 65.000.  Itu semua dari anak kami,” terang mantan pedagang asongan ini.
Dari hasil jualan koran, Laila sendiri mampu mengumpulkan hingga Rp 150 ribu sehari. Itu dilakukannya saat hari libur dari pagi hingga petang tiba. Itu merupakan hasil dari untung jualan koran sekaligus dikasih orang-orang di jalan.
Hal berbeda dirasakan Fuji Nurini (44), pengasuh bayi ini sudah mencoba semua jalur Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) untuk anak bungsunya, Cinthya Putri Agustin. Alumnus SDN Ketintang IV ini sudah mendaftar ke SMPN 55 untuk jalur mitra warga, namun masih tidak diterima dengan nilai 182,5.
Fuji mencari keringanan biaya karena ia harus membiayai anak ketiganya yang juga berada di SMP swasta. Selain itu ia juga harus membiayai kehidupan 4 anaknya seorang diri di rusunawa.”Melihat peluang nilai, makanya didaftarkan yang jauh di SMPN 55. Kalau jalur umum daftar ke SMPN 36 dan 21 tetap tidak masuk,” jelasnya.
Iapun berniat mendaftarkan anaknya ke SMP Baitussalam dekat rusunawa, hanya saja biaya pendidikan yang tinggi membuatnya masih mempertimbangkan ulang. “Uang gedung harus lunas Rp 1.950.000, kalau SPP anak yatim katanya Rp 200.000,” lanjutnya.
Fuji mengaku sempat meminta tolong pegawai Pemkot Surabaya untuk mendapat bantuan. Hanya saja, hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya. Sementara itu Ketua RT 02 RW 04 Jambangan Baru Selatan Hendro Wiyanto menjelaskan baru mengetahui ada warganya yang belum mendapat sekolah. Hal ini karena Laila baru saja meminta surat pengantar untuk mengurus KIP. “Kami hanya bisa mengurus surat keterangan domisili untuk pengajuan KIP,” jelasnya.
Anggota DPRD Komisi D Kota Surabaya Reni Astuti berharap adanya kebijakan yang sistemik dari Pemkot Surabaya terkait penanganan siswa mitra warga.  Karena jika hanya menyelesaikan masalah satu-dua anak saja, bisa jadi ada banyak masalah yang tidak tertangani di tempat lain. “Pemkot perlu membuat kebijakan untuk menginstruksikan ke kecamatan sampai ke kelurahan untuk memastikan anak-anak usia sekolah sudah mendapat sekolah,” terangnya.
Dikatakannya, jika sekolah negeri penuh, maka siswa bisa ke sekolah swasta. Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya bisa memetakan kondisi anak di usia sekolah di wilayah mana dan sekolah mana yang masih bisa menampung. “Kalau masalah satu atau dua anak diberitakan lewat media jelasnya Dindik bisa tahu kemudian ditangani. Tetapi  kami berharap  adanya solusi yang sistemik. Tidak menutup kemungkinan jika kondisi seperti ini ada di tempat lain, tetapi mereka tidak tahu lapor kemana,” ungkapnya. [Adit Hananta Utama]