TANAHKU DI ATAS CAWAN

Oleh :
Naisya Go

“Nggak mas, aku akan tetap take this case!”
“Ini nggak mudah, loh, cah ayu.”
“Tapi, Mas … aku merasa sangat terpanggil untuk mengangkat kasus ini. Tolong dong, Mas.Izinkan aku meliput fenomena ini!”
“Kok ngebet banget kenapa, to?Memang ada pengalaman pribadi?”
Yang ditanya malah terdiam. Bingung harus menyodorkan jawaban seperti apa. Wajahnya yang semula kokoh menantang langsung tertunduk.Seperti ada yang disembunyikan.Mas Ndono lantas meraih buku dalam genggaman Siti.Pemiliknya tampak pasrah saja. Lembar demi lembar habis terbaca, tetapi tak sebaris kalimat pun memaparkan masalah apa yang sedang dialami Siti. Mas Ndono pun menyerah. Ia beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan sepanjang koridor kantor. Tak berselang lama Siti mengikuti dari belakang.
“Boleh, ya Mas?”Siti masih merajuk, “Pokoknya, ada alasannya! Pribadi sih, tapi .…”
“Tapi kamu nggak bisa seenaknya begitu, Sit.Kita harus profesional.Harus ada alasanyang masuk akal,” tegur Mas Ndono tegas memotong rayuan Siti.
“Karena seks bebas sudah sangat menjadi hal yang biasa bagi remaja Jogja, Mas. Coba bayangkan! Mas Ndono pernah tahu?Remaja desa yang dulu terkenal lugu, ramah dan ngabekti marang ramalan biyung, sekarang telah berevolusi menjadi gadis dan pemuda bebas bahkan cenderung liar,” ungkap Siti cepat dan panas.
Mas Ndono berhentidanberbalikmemandang anakdidiknya.Gadis di hadapannya itu pun seorang gadis ndeso yang tergolong berusia labil.Sama seperti tokoh yang diceritakannya. Namun mendengar kata-katanya, seakan lain. Mas Ndono kembali menatap dalamnya pandangan mata Siti.Aura ketegangan masih meliputi keduanya.
Satu bulan yang lalu Siti tergabung dalam anggota jurnalis remaja di salah satu mass media di Jogja. Merona bak bunga mawar yang baru saja mekar hati Siti saat ia tahu bahwa ia telah diberi kesempatan bergabung. Ia memang bukan ujung tombak timya, tetapi kehadirannya lebih dari itu. Ide segar dan guyonan renyahnya bak sejuk tetes embun di padang Sahara. Membuat penat pikiran kembali terpacu kencang.
Siti meremasi ujung-ujung jemarinya.Ia tak yakin sanggup mengungkapkan serpihan-serpihan alasan yang tersebar dalam otaknya. Raut kebimbangan jelas terpancar dari gestur tubuh mungilnya.Perlahan Mas Ndono meyakinkan Siti agar memanah satu persatu keraguan di dadanya. Agar ia selalu berjalan di atas kekuatan keteguhan hati dan kemurnian nurani.Inilah yang akan menuntun alam bawah sadarnya kearah kesuksesan seperti apa yang ia bayangkan.
Degupjantung Siti mulai beraksi tak terkendali.Semburat garis-garis muka orang-orang menanti dalam hangat peluk kelopak mata.Tatap penuh energi di sekitar Siti memaksa bibirnya melantunkan syair hatinya. Seperti apa yang ia katakan pada Mas Ndono.
Siti ingin membuka mata masyarakat luas bahwa kenyataanya perilaku bebas remaja yang serba permisif dan hedonis telah dengan sengaja atau tidak membawa mereka jauh dari cerdas dan berbudi pekerti luhur.Sekali lagi, jauh dari berbudi pekerti luhur.Siti memaparkan argumennya dengan beberapa contoh kasus di daerahnya, Bantul.Mulai dari teman-temannya di sekolah swasta sampai di sekolah negeri.
“Walaupun memang nggak semua remaja melakukan seks bebas,tapi aku itu mau orang-orang sadar bahwa pergaulan remaja sekarang sudah kelewat batas toleransi. Bayangkan aja bagaimana mereka megekspresikan hubungan pacaran. Temen Siti, kalau pacaran di bilik warnet. Bayangin aja bilik sekecil itu buat dua orang.Apa aja bisa terjadi kan? Apalagi dengan situs internet ngawe-awe, mereka leluasa membuka ini-itu tanpa ada pihak yang mengawasi,” terang Siti.
“Hihihi…kayak Siti nggak pacaran aja,” celetuk Rudi.
“Ha? Nggak … yeee! Kalau menurut Siti, pacaran itu nggak apa-apa kok, tapi harus pacaran yang sehat.Itu menurut Siti aja.Dan semua dapat tercipta jika kita sudah benar-benar dapat membedakan yang baik dan buruk secara akal dan logika, bukan emosi atau perasaan sesaat saja.Jadi kalau udah gede, udah siap menikah hehe … peace,” canda Siti.
Pada akhirnya keteguhan hati Siti untuk mempertahankan kasus itu diterima dan secara resmi dialah yang mendapat kehormatan melakukan liputan.
***
Semalaman Siti mengutak-atik otaknya menyusun draft pertanyaan sekaligus susunan liputannya. Semua masih berserakan di atas meja belajar.Entah sadar atau tidak Siti belum mengerjakan satu pun pekerjaan rumahnya. Tampaknya tidak, karena ia masih tertidur lelap seakan dunia hanya miliknya seorang.
“Heh, Siti! Cepetan bangun, Nduk! Kamu itu, loh, cah perawan kok kalah sama ayamnya Mbah Sastro?” ibunya mulai terganggu dengan sikap Siti.
“Jam pinten, to Buk?”
“Loh, sakit kamu, Siti?Matanya kok merah begitu?Ayo cepet bangun?”
“Eh..iya. Eh Ibuk itu lho, masih saja panggil Siti. Sejak masuk SMA kan kita sudah sepakat.” protesnya dengan wajah cemberut.
Tanpa menggubris anak gadisnya yang masih kesal dipanggil Siti, Ibunya lantas keluar dari kamar Siti. Hal ini membuat ia semakin kacau. Ia memandang anggota perhimpunan kamarnya dan menyaksikan pemandangan ajaib. Sudah pukul lima lewat, hampir setengah enam, bahkan sholat subuh pun belum ia kerjakan.
Gedebug! Derap kaki Siti berlari mengambil air wudhu disaksikan tatapan bingung penghuni rumah. Usai melaksanakan kewajibannya, Siti memburu Ibunya di dapur untuk kembali mengingatkan kesepakatan di antara mereka.
Sekali lagi Ibunya tidak mengalihkan perhatiannya dari masakan di hadapannya.Dan sekali lagi, Siti merasa kacau.
“Apa nama Siti itu nggak pantas untukmu, Nduk? Siti itu lemah, tanah.Lemah iku tansah gawe tunggahing titah ing alam donya.Yang namanya tanah, pernah kah marah saat diinjak-injak manungsa?Siti kuwi sabar, jadi manusia harus sabar menerima kehidupan apapun, kritik apapun.”
Siti sudah terlanjur berlalu dari hadapan pemilik gua garba yang telah melahirkannya. Berpacu dengan air matanya ia mempersiapkan diri menuju sekolah. Basah kelopak matanya tadi malam belum sempat kering, sepagi ini sudah kembali disiram.Jadilah bengkakmatanya melebihiremaja labil yangbaru sajadicampakan.
Pohon munggur di sepanjang jalanan sempit berayun mesra membuat iri padi menguning berkilauan disapu sang Fajar. Siti menghembus nafas berat.Dikayuhnya sepeda tua milik ayahnya menuju bukit pengetahuan.Belaian bunga munggur membasuh nurani Siti.Hatinya berkaca menyaksikan rekaman kecintaan ibu dan bapaknya pada dirinya.Laju semakin kencang membawa cinta itu menghujam lurus dalam batin.
Aroma gelagat muram Siti menepi sejenak memberi jalan untuk sebuah tekat akan hadirnya perubahan. Gadis cantik berjilbab rapi itu berjalan menelusuri koridor sekolah dan berhenti tepat di halaman belakang. Siti memanggil seoranglaki-laki darirombongan Siswa yang tengah menikmati hidup menurut cara mereka lantas berbicara serius. Mas Nanang, begitu Siti memanggilnya, mengutarakan maksud kedatangan Siti pada teman-temannya.Wajah Siti pucat mendapati tak satupun dari mereka menanggapi pertanyaannya.Bahkan Mas Nanang hanya tersenyum kecil melihat reaksi teman-temannya.
Setelah Siti terus mendesak, hingga salah satu dari mereka menimpali.
“Pergaulan bebas itu sudah tidak menganut kaidah moral dan agama.Ra duwe isin. Misal, cium sana peluk sini, bercampur baur nggak tau etika. Jadilah, seks bebas itu tadi.”
“Iya, bener banget.Dan kita nggak sampai sejauh itu, kami juga sadar dosa.Organisasi kami cuma main gaple, aplikasi dari logika matematika yaitu teori peluangdan operasi hitung.Percaya atau nggak terserah!” salah satu menambahi.
“Tapi, Mas, kan ada mbak-mbaknya yang sering gabung di sini dikeluarin karena MBA,” Siti masih merajuk, merasa yakin mereka pernah melakukannya.
“Sit, gimana, ya? Percaya atau nggak terserah. Kami nggak pernah melakukan itu! Kalau dia, sih, memang lingkungannya yang nggak bener dan di perkumpulan kami nggak ada cewek.Coba cari aja di sekolah pinggiran!”Mas Nanang meradang.
Nyali Siti menciut.Ia bak gadis di sarang penyamun. Semua Siswa garang itu kini tengah menatapnya. Sebenarnya ia punya satu nama yang pasti akan mendukung hipotesanya. Namun ia terlalu takut menghadapi sebuah kenyataan. Otak Siti berputar menggali ide lain. Ia meminta Mas Nanang membodyguardinya melakukan reportase ke sekolah pinggiran yang dimaksud. Dua hari kemudian dengan mengorbankan jam sekolah, Siti dan Mas Nanang memulai aksinya.
“Wong Jawa ki saiki wis pada kelangan jawane.Nggak peduli mana yang baik, mana yang buruk, disruduk aja.Nggak mikir resikonya.Sekolah kita, sih, mending.Tiap hari tadarus Al-Qur’an.Jadi Siswa sadar atau nggak ruhnya terisi. Nah, misal sekolah lain yang hanya membentuk Siswa ajaran, bukan didikan, mau jadi apa?” Mas Nanang terus saja bersyair di sepanjang jalan.
Cekatan tangan Siti mempersiapkan peralatan. Yang ditunggu sudah di depan mata. Gentar dada Siti menyaksikan wajah-wajah bringas seakan siap menerkam.Seksama Siti mengatur bahasa paling tepat untuk meluluhkan mereka.Tidak juga.Enam mutiara hitam di hadapannya hanya menyeringai tajam.Siti menengok Mas Nanang seakan dia dapat menyelesaikan ini dengan sempurna. Sekali lagi, tidak! Mas Nanang sibuk dengan smartphone-nya.Sulit sekali menembus pertahanan enam Siswi tersebut.Tidak satupun memberi titik terang.Padahal sudah terlihat jelas secara fisik dan penampilan bahwa mereka adalah sasaran yang tepat.
Siti memutuskan menyudahi pertempuran tak berpangkal di sekolah ini. Saat melewati ruang guru sekolah lain, otak Siti memutar suatu rencana. Dia memasuki ruang kepala sekolah dan bernegosiasi.Gadis mungil itu lantas pucat pasi meninggalkan kepala sekolah salah satu SMA Negeri di Bantul itu.Mas Nanang hanya memandanginya heran.Sudah jelas, berita yang dicari Siti bukanlah suatu prestasi, malah kebalikannya.Jadi, mana mungkin sekolah membeberkan aib sendiri.Semangat Siti luntur.
Hari hampir senja saat Siti terbaring di kasurnya merasakan kecewa dan marah menggumpal di hati.Bagaimana bisa mereka merasa sombong, tidak mau memberikan informasi sekecil apapun kepadanya. Padahal Siti merasa ia sudah cukup hebat dengan mengatas namakan dirinya sebagai wartawan. Bahkan ia sudah memakai id-card. Namun, lima sekolah yang ia datangi memberikan respon sama. Hatinya kacau, gelisah tak dapat berbuat lebih.
Siti berpikir seandainya saja ia lebih tegas dengan sifat manja dan angkuh para nar sumbernya. Andai saja ia lebih sabar menunggu hati narasumbernya luluh. Andai saja ia tak buru-buru kabur saat narasumbernya mengeluarkan kata-kata pedas, melotot, membentak bahkan mengancam Siti pasti sudah pulang dengan hasil gemilang. Namun, itukah permasalahannya?
Siti keluar kamar hendak menelepon Mas Ndono. Menyatakan bahwa ia sudah tidak sanggup mengemban tugasnya. Ia akan Terik membayang dalam meranggasnya pohon-pohon cemara di pinggirjalan. Siti masih menunggu sembari menghitung uang yang ia bawa, takut tidak cukup. Kekhawatiran menginjeksi otak Siti berfikir buruk.Seorang gadis duduk di sampingnya dengan tiba-tiba.Setelah meminta maaf karena terlambat Wulan langsung memesan minum.
Otak Siti merangsang syaraf pikirannya untuk mengeluarkan kata tepat agar tidak terkesan men-justice Wulan serta meyakinkan bahwa kerahasiaan narasumber terjaga.Perlahan tapi pasti Siti masuk ke hati Wulan.Ia sudah mulai gamblang menceritakan kehidupannya. Mulai dari keikutsertaannya dalam sebuah geng yang berkiblat pada kebebasan dan hedonisme sampai keluarganya.
“Sejak masuk SMA, aku termasuk gadis populer.Jadi mudah saja aku menjadi bagian dari mereka.Sebenarnya aku sadar kok telah salah jalan.Kalau kamu dengar apa aja yang sudah aku lakuin, mungkin kamu nggak akan percaya,” Wulan menunduk.
Siti sudah tahu arah yangpembicaraan Wulan.Ia tidak ingin mendesak lebih jauh, apalagi Wulan mulai berlinang air mata. Ia hanya mengusap bahu gadis di sampingnya. Seakan empati Siti memberikan kehangatan, Wulan melanjutkan ceritanya.
“Dulu kami berenam nggakpernah bersentuhan dengan halberbau seks.Mungkin ini yang disebut evolusi.Bermula dari sering keluar malam sampai ke tempat hiburan, jatuhlah kami ke jurang dosa ini.Lambat laun kami mulai bobrok.Amarah keluarga membuat kami semakin brutal dan pergaulan semakin tidak terkendali.”
“Wulan nggak berusaha menyudahinya?”
“Pernah.Tapi dasarnya setan ada di mana-mana dan iman nggak kuat.Aku nggak tahu kenapa setiap kali dia menyentuhku seakan akal dan imanku menguap begitu saja.Aku tahu ini sudah kelewat batas. Tapi inilah yang terjadi padaku dan yang lain. Pengaruh teknologi dan kurangnya pengawasan memang salah satu faktor penyubur pergaulan bebas remaja.Tapi self control kita yang sebenarnya menjadi kunci utama,” terangnya sambil mengusap air matanya.
Siti mendengarkan dengan penuh perhatian cerita Wulan.Ia terharu mendengar orang tua Wulan sudah mulai tidak peduli dengan keberadaannya. Bahkan saat Wulan menuturkan rokok, seks dan gemerlap malam adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, Siti sangat kaget.
“Tapi ada juga temenku yang juga pernah melakukannya karena pengaruh bluefilm.Saat nafsu udah diubun-ubun, jadilah setan menggerogoti keimanan.Terjadilah hal yang tidak diinginkan.Padahal dia termasuk anak yang taat.Ada juga yang memang sudah berkiblat pada budaya Barat.Kalau mau observasi ikut aja nanti malam,” ajak Wulan.
Siti menatap gadis yang sudah mulai ceria dengan tatapan tak percaya. Baru saja ia mengutarakan penyesalannya tetapi tak sampai satu jam ia sudah kehilangan akalnya. Emosi gadis ini memang mudah terombang-ambing.
Siti menatap Wulan tajam.Ia ungkap ketidak-pahamannya terhadap jalan pikiran Wulan. Sudah jelas Wulan tahu bahwa yang ia perbuat salah tetapi mengapa ia masih saja akan mengulanginya. Setelah apa yang terjadi pada dia dan keluarganya, mengapa gadis itu tak juga berniat untuk berubah. Memulai dari awal dengan semangat baru. Masa depan lebih gemilang bisa diraih jika ia mau berusaha.
“Ingat pidato Bung Karno, ‘Berikan aku seribu orang tua, niscahya aku cabut semeru dari akarnya.Tapi berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncangkan dunia’.Betapa besar energi pemuda.Siapa yang memaksa Sukarno Hatta segera mengumumkan proklamasi?Siapa pendukung da’wah Nabi Musa?Dan siapa yang memaksa Rasulullah untuk berangkat ke perang Uhud? Golongan muda! Bahkan Hasan Al Bana sering mendatangi anak muda untuk mendapatka energi baru!” terang Siti.
Wulan menatap dingin.Ia bergegas pamit dengan mata berkaca-kaca.
Usai pusing menggeluti pelajaran sekolah Siti menghempaskan tubuhnya di kursi bus kota. Hari ini ia harus melaporkan kinerjanya. Sedang asyik menyusun rencana, Siti mendapat pesan dari Wulan.
“Thanks, ya Sit. Mulai sekarang aku dan yang lain akan berusaha menjadi lebih baik. Memang benar, tenaga kita masih banyak dibutuhkan untuk hal-hal positif yang bermafaat.Jika ada perlu, silahkan kontak kita lagi.”
Mas Ndono takjub anak didiknya dapat mempertanggung-jawabkan kalimatnya.Ia tertegun membaca jawaban narasumber.
Bagi pemula seperti Siti, mendapatkan lebih dari lima narasumber dalam reportase hal berbau privasi adalah hal istimewa. Mata Mas Ndono menyoroti lebih spesifik narasumber pasangan suami istri yang harus menikah akibat salah pergaulan.
Setelah dibujuk, akhirnya Siti mengaku bahwa narasumber itu adalah mantan pacarnya. Saat itu hati Siti sakit mendapati pacarnya memutuskan hubungan yang telah dirajut hampir empat tahun karena gadis lain. Memang tampak konyol melihat mereka terlibat adu mulut.Hubungan mereka baru sebatas pacar. Tak ada hak mengekang satu sama lain menyadari janur kuning belum melengkung.
Siti tersenyum, “Dia melakukannya dengan sahabatku.Bisa membayangkan kehilangan dua teman baik sekaligus?Kami tinggal di desa dalam balutan ajaran agama, etika dan moral yang tebal. Kami besar bersama dalam pengawasan yang sama. Tapi memang, self control kami berbeda. Dan inilah alasannya, aku ingin membuktikan bahwa orang yang terbelenggu oleh hawa nafsunya tidak akan pernah bahagia. Iya kan? Pecandu narkoba akan kehilangan akal sehat dan ingatannya. Perokok kehilangan paru-parunya, dan pelaku seks bebas akan kehilangan masa depan dan self defend. Jadi untuk apa berkiblat pada budaya hedonisme padahal kita punya dasar agama dan moral ketimuran yang sedikit banyak akan menjaga dan membimbing kita?”
————– *** ————–

Rate this article!
TANAHKU DI ATAS CAWAN,5 / 5 ( 1votes )
Tags: