Tanggungan Gagal Panen

Foto Ilustrasi

Bencana ke-pertani-an selalu terjadi tanpa diduga. Gagal panen karena diterjang bencana alam maupun serangan hama, masih menjadi faktor utama kerugian petani. Tak jarang, harus menanggung utang besar ongkos berladang (bibit, pupuk, dan perawatan). Semakin pedih manakala utang pertanian diperoleh dari bank thithil (rentenir). Maka pemerintah perlu me-masif-kan program pertanggungan gagal panen me-minimalisir kerugian petani.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki program Asuran Usaha Tani Padi (AUTP). Pertanggungan telah dijalin antara Kementerian Pertanian dengan PT Jasindo (BUMN). Juga telah diterbitkan Sistem Informasi Asuransi Pertanian (SIAP) berbasis onlie. Tetapi masih perlu sosialisasi kepada petani. Terutama aspek ke-asuransi-an, dan tatacara penggantian ganti rugi.
Realitanya, masih banyak kelompok petani kesulitan meminta ganti rugi. Disebabkan berbagai syarat (administrasi) pengajuan klaim kerugian. Juga persyaratan teknis, antara lain luas areal yang gagal panen. Sebab biasanya, gagal panen tidak meliputi seluruh areal. Melainkan terjadi pada beberapa titik. Banyak tanaman padi yang roboh terkena angin, tetapi tidak bisa mengajukan klaim. Karena yang rusak hanya sebagian kecil. Namun sangat merugikan petani.
Sebenarnya, usaha ke-pertani-an saat ini tidak feseable. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), nilai tukar petani (NTP) terus merosot sejak memasuki tahun 2017. Catatan per-bulan NTP menunjukkan kenaikan pada bulan Pebruari (saat panen). Namun merosot lagi pada bulan Mei (saat tanam). Ironisnya penyebab fluktuasi setiap tahun, selalu tetap. Selalu berulang, bagai tidak ditemukan jalan keluar.
Pada bulan Pebruari NTP naik tipis, karena indeks diterima (It) diperoleh dari penjualan hasil panen. Tetapi pada bulan Mei terjadi penurunan NTP sangat besar, karena indeks yang dibayar (Ib) sangat tinggi. Ib, dihitung berdasar pengeluaran petani untuk membeli benih, pupuk, serta obat-obatan, dan ongkos kerja tanam. Indeks NTP tahunan saat ini tercatat sebesar 113. Artinya, margin keuntungan yang dinikmati petani hanya sebesar 13%.
Margin NTP sebesar 13% sesungguhnya telah ketinggalan paradigma. Karena NTP ditetapkan pada tahun 2012, dengan standar harga pada tahun ditetapkan (2012). Jika dikurs dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi selama 7 tahun, seharusnya telah berkembang sekitar (minimal) 43%. Sehingga NTP yang feseable (layak usaha) adalah sebesar 143. Maka terdapat kehilangan keuntungan sebesar 30%. Andai tidak kehilangan keuntungan, petani dapat hidup lebih makmur.
Keuntungan yang hilang, menyebabkan profesi sebagai petani tidak menjanjikan kesejahteraan memadai. Wajar tidak ada remaja bercita-cita menjadi petani. Bahkan banyak areal ladang dijual. Petani beralih profesi menjadi pedagang, buruh pabrik, sampai kuli bangunan. Keterpaksaan petani tetap berladang, karena tidak ada keahlian lain.
Maka pertanggungan usaha ke-pertania-an bisa menjadi penglipur lara gagal panen. Pemerintah telah menjalankan asuransi usaha tani dengan pembayaran premi sebesar Rp 36 ribu per-hektar per-musim. Premi masih disubsidi pemerintah sebesar Rp 144 ribu per-hektar. Artinya, premi seharusnya sebesar Rp 180 ribu. Gagal panen akan diganti dengan nilai Rp 6 juta per-hektar. Jika dikalkulasi klaim penggantian sebesar 33 kali nilai total premi.
Asuransi usaha tani masih perlu sosialisasi. Antara lain tingkat kegagalan panen. Karena tak jarang, areal seluas 1 hektar yang dimiliki petani terdiri dari beberapa petak terpencar. Bahkan sangat jarang petani yang memiliki ladang seluas 1 hektar. Boleh jadi, petani akan berkelompok untuk bisa memenuhi persyaratan luas areal 1 hektar.
Petani masih memerlukan sokongan untuk meminimalisir kerugian akibat gagal panen. Juga kemudahan akses permodalan untuk keberlanjutan bercocok tanam menyangga ketersediaan pangan.

——— 000 ———

Rate this article!
Tanggungan Gagal Panen,5 / 5 ( 1votes )
Tags: