Tangisan dari Gang Dolly

Oleh :

Dewi Fitrotun Amania,S.Pd.SD

Sejak Gang Dolly Surabaya resmi ditutup tahun 2014, aku kelimpungan mencari pekerjaan. Berbagai cara aku lakukan untuk menyambung hidupku. Namun hidup semakin keras saja, tidak semua orang bisa menerima mantan pekerja gang dolly seperti aku. Aku pernah bekerja di salon, niatku untuk mengubah haluan hidupku. Setelah seminggu aku bekerja disana, suami pemilik salon menggodaku, sehingga ibu pemilik salon mencaciku dan memberhentikan aku.

Setelah diberhentikan dari salon aku mencari kerja di warung-warung tenda, jadi tukang cuci piringpun tak apa. Tapi, tidak ada satu orangpun yang mau berurusan denganku, mereka takut aku menggoda suaminya atau bahkan anak laki-lakinya. Serendah itukah aku…. Aku ingin mengubah jalan hidupku, aku sudah lelah, namun sepertinya setiap pintu yang aku ketuk membanting pintunya dengan keras agar aku segera pergi.

Pulang ke kampung halamanku, itu tidak akan pernah terpikirkan olehku. Aku tidak ingin bertemu dengan ayah tiriku lagi, dialah yang membuatku jadi seperti ini. Kala itu seperti anak usia SMA lainnya, aku adalah gadis yang manis dan ceria, aku mempunyai seorang kekasih yang tampan, dia pemuda idola di sekolahku. Tetapi anehnya saat kekasihku mengunjungiku ke rumah, ayah tiriku marah tak karuan. Ibuku memakluminya saja, ibu menasehati agar aku patuh pada ayahku, karena dialah yang selama ini membiayai kami.

Sejak usiaku masih dua tahun ayah tiriku lah yang bertanggung jawab atas semua kehidupan ibuku. Ayahku sendiri meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan sepeda motor saat mengunjungi nenek di kampung, kata ibu saat itu aku masih berumur satu tahun dan aku hanya luka lebam saja di pipi, sedangkan ibu mengalami patah tulang kaki yang menyebabkan dia tidak bisa lagi bekerja di pabrik. Kaki Ibu sudah tidak boleh capek lagi, karena kalau capek pasti akan merasa sangat ngilu dan nyeri, itu yang dikatakan ibu.

Setahun setelah kematian ayahku, ibuku menikah lagi dengan seorang perjaka tua dari kampung sebelah. Saat itu aku sangat bahagia karena aku mempunyai seorang ayah lagi, apalagi ayah baruku ini sangat menyayangi aku. Satu tahun setelah pernikahan mereka, ibu mengabarkan bahwa aku akan mempunyai seorang adik laki-laki, tentu aku sangat bahagia. Dia akan menjadi adik kesayanganku.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, aku dan adikku tumbuh dengan bahagia, ayah tiriku tidak pernah membedakan aku dan anak kandungnya. Kami tumbuh layaknya seorang anak, dilimpahi kasih sayang dari ayah dan ibu.

Saat aku semakin beranjak menjadi seorang remaja, orang-orang memuji kecantikanku. Memang aku memiliki kulit yang kuning langsat, berlesung pipit dan hidungku mancung. Lesung pipit dan hidung yang mancung ini diturunkan dari ayah kandungku, sedangkan kulit yang kuning langsat aku peroleh dari ibuku. Benar-benar perpaduan yang sempurna. Banyak pemuda yang mendekati aku, dan aku sangat menikmati masa-masa remaja ini.

Pilihan hatiku aku jatuhkan pada kakak kelasku, dia idola di sekolahku. Dia tampan, berkulit putih, hidungnya juga mancung, gingsul yang ada di giginya semakin membuatnya terlihat manis.

Kemarahan ayah tiriku membuatku sedih, dia melarangku berhubungan lagi dengan kekasihku. Aku mencoba menjadi anak yang baik, aku putuskan hubungan dengan kekasihku dan berkonsentrasi belajar. Mungkin benar kata ayah tiriku aku tidak boleh berpacaran dulu, apalagi aku sekarang sudah kelas 2 SMA, sebentar lagi akan ujian kenaikan kelas. Aku bercita-cita setelah lulus SMA aku akan bekerja membantu ekonomi keluarga.

Malam itu tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, ayah tiriku menyelinap masuk ke kamarku dan melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan seorang ayah kepada anaknya. Sejak saat itu perlakuan ayah kepadaku semakin menjadi, malam-malam berikutnya disaat ibu dan adik tiriku terlelap dibuai mimpi. Ayah tiriku menyelinap ke bilikku dan melakukan hal yang berulang-ulang kepadaku. Dan itu membuatku sangat tertekan.

Tidak ingin ibuku mengetahuinya, aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Tak tahu kemana, kulangkahkan saja kakiku, menuju terminal dan menaiki bus sekenanya saja, tidak tahu arah, tidak tahu tujuan.

Takdir membawaku ke sebuah tempat prostitusi terbesar yang terletak di Surabaya, orang menyebutnya Gang Dolly. Disana aku bekerja sebagai penjajah seks komersial, menjajakan tubuhku pada lelaki hidung belang. Tak jarang mereka yang berlangganan denganku lebih pantas untuk menjadi ayahku atau bahkan kakekku. Pergi dari rumah tanpa kata-kata, tanpa bekal apapun, bahkan sekolahku pun belum sampai lulus. Aku bertahan dengan pekerjaan ini, ini satu-satunya sumber penghasilan bagiku. Apalagi yang bisa aku lakukan untuk menyambung hidupku.

Sebenarnya ada rasa yang tidak bisa aku mengerti saat aku melayani laki-laki hidung belang itu. Perasaan berkecamuk, antara merasa berdosa dan bertahan untuk hidup. Semuanya campur aduk menjadi satu. Tidak jarang aku tersenyum manis namun hatiku runtuh, koyak tak tersisa. Aku juga ingin menjadi wanita baik-baik memiliki suami dan anak-anak.

Pernah aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki pelangganku, dia biasa memakai jasaku. Dia mengaku sebagai duda beranak dua, itu tak masalah bagiku yang penting dia bisa menerimaku apa adanya dan bisa mengangkat harkatku menjadi seorang wanita terhormat, aku berjanji akan menyayangi anak-anaknya. Namun disaat harapanku membumbung tinggi untuk menjadi istri dan wanita terhormat, saat itu seorang wanita berkerudung anggun menghampiriku dan mengatakan bahwa dia adalah istri kekasihku dan aku diminta menjauhinya. Hancur lebur perasaanku. Tak bersisa… Sejak saat itu aku tak lagi bisa mempercayai laki-laki. Tidak satupun, mereka hanya menyukai tubuhku saja.

Sejak gang dolly resmi ditutup, aku juga kebingungan mencari arah hidupku. Aku yang semakin menua tidak memiliki bekal apa-apa. Pelangganku pun semakin berkurang karena mereka memilih wanita muda yang lebih gesit dan cantik.

Masyarakat juga tak mau menerimaku sebagai seorang wanita yang ingin berubah, mereka menganggapku sebagai wanita hina yang harus dijauhi seperti sebuah borok yang menjijikkan. Aku kelimpungan tidak tahu harus kulabuhkan kemana hidupku ini.

Saat segala risau menderaku, aku mendengarkan sebuah adzan yang sangat merdu dari masjid di seberang sana. Aku terdiam, termangu. Lama sekali aku melupakanNYA, entah kapan terakhir kali aku bersujud.

Dengan ragu ku langkahkan kakiku menuju masjid di seberang sana, adakah orang disana juga menolakku, membanting pintu dan menyuruhku segera pergi? berbagai tanya bergemuruh di dadaku. Namun tetap kuberanikan diri melangkahkan kakiku menuju masjid.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mereka semua khusyuk sebagian sedang rukuk dan sujud, sebagian lagi membaca kitab suci, sebagiannya menengahdahkan tangannya sambil berkomat-kamit, mungkin sedang meminta permohonan kepadaNYA, wajah mereka semuanya sejuk. Seorang wanita memandangku dengan wajah teduhnya dan tersenyum kepadaku. Aku mengira wanita itu akan juga mengusirku, ternyata dia mempersilahkan aku untuk duduk bersamanya.

Aku tertunduk lesu, aku merasa tidak berharga, benarlah aku diusir oleh mereka karena aku memang wanita hina, wanita penuh dosa dan berkubang nista. Ku tengadahkan tanganku, aku berdoa sebisaku, tak terasa air mataku bercucuran dan tangisku pecah di kesunyian masjid. Aku tersengguk sendiri, bersujud dan memohon ampunan dari NYA. Biarlah semua manusia menolakku, asalkan ENGKAU menerima taubatku. Peluk aku Tuhanku….

Dewi Fitrotun Amania,S.Pd.SD
Pemilik hobi membaca dan menulis ini Lahir di Pasuruan. Aktif mengajar di sebuah SD Negeri di Kabupaten Pasuruan sejak tahun 2004 hingga saat ini. Tulisannya beberapa kali dimuat di beberapa koran lokal maupun nasional. Artikelnya juga beberapa kali dimuat di Harian Bhirawa. Kegemarannya menulis terangkum dalam buku kumpulan cerpen karyanya “Gara-Gara Sandal” juga beberapa antologi puisi “Jarit Ibu Pengobat Rindu” dan “Terbang dalam Deen Assalaam (antologi puisi bersama Nissa Sabyan).

————— *** ——————

Rate this article!
Tangisan dari Gang Dolly,3.67 / 5 ( 3votes )
Tags: