Tanpa Perda, Pemkot Tak Pedulikan Seni Budaya

Dewan Kesenian Surabaya (1)Surabaya, Bhirawa
Tak adanya Peraturan Daerah (Perda) mengenai  kesenian dan kebudayaan membuat Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tidak bisa melaksanakan secara optimal tugas pokoknya menggerakkan kesenian di Surabaya. DKS akan mengusulkan Perda kebudayan agar kesenian di Kota Pahlawan tetap hidup.
Ketua DKS, Chrisman Hadi saat ditemui Bhirawa di kantor DKS komplek Balai Pemuda, Selasa (17/3). Mengutarakan secepatnya akan mengusulkan Perda inisiatif secara hukum. Kalau Perda sudah ada, menurutnya , konsekuensinya tugas pokok untuk menggerakkan kesenian tetap berjalan.
” Secepatnya akan kita ajukan Perda kebudayaan. Karena selama ini Perda yang mengatur perkara kesenian dan kebudayaan belum ada. Padahal identitas dan martabat bangsa ada pada kesenian. Selama ini Disbudpar Kota Surabaya melihatnya perkara komoditi,” terang Chrisman pada Bhirawa.
Chirsman juga menambahkan, selama ini Pemkot Surabaya belum serius menangani kesenian dan kebudayaan di Kota Pahlawan. Terbukti, anggaran yang digelontor dalam setahun hanya Rp 100 juta. Hal ini dinilai sangat rendah dibandingkan dengan Sulaewesi Selatan (Sulsel). Di Makassar sendiri mencapai Rp 10 miliar.
” Dari Aggaran Rp 100 juta dalam setahun itu pun juga dipotong pajak yang hanya menerima Rp 84 juta. Di Kota Angin Mamiri saja anggaran untuk seni dan budaya mencapai Rp 10 miliar dalam setahunnya, meskipun jumlah penduduk Makassar separuhnya dari Surabaya,” kata Chirsman Hadi pada Bhirawa, Selasa (17/3).
Chrisman menambahkan, pihaknya telah mengajukan daftar kepengurusan DKS yang baru kepada Pemkot Surabaya. namun selama ini belum ada tanggapan dan responnya. ” Kalau anggaran sudah kecil dan kurang ada perhatian dari Pemkot seperti ini maka akan sangat sulit untuk memajukan seni dan budaya di Surabaya,” imbuhnya.
Padahal, pihaknya menuturkan, identitas dan martabat sebuah bangsa ada pada kesenian dan kebudayaan. Selama ini para seniman beraktivitas tanpa ada anggaran sepeser pun dari Pemkot Surabaya.
” Contoh kecilnya adalah galeri baru DKS itu saja anggarannya dari teman-teman sendiri dari jual lukisan seharga Rp 200 juta,” tuturnya.
Chrisman menandaskan, hingga saat ini pihaknya belum mencairkan sepeserpun anggaran yang dialokasikan Pemkot untuk DKS. Kalaupun ada kegiatan, sumber pendanaannya mengandalkan bantuan dari sponsorship maupun sejumlah pihak yang peduli akan seni dan budaya Surabaya.
Tak salah jika dalam komposisi kepengurusan DKS yang baru, tercantum sejumlah nama-nama yang bukan seniman, tapi memiliki kepedulian soal seni.
Misalnya, ada nama pengacara Trimoelja. Kemudian ada juga nama seorang penulis Dukut Imam Widodo. Sejumlah nama-nama pengusaha Surabaya juga masuk dalam kepengurusan DKS.
“Kenapa kami mencantumkan nama-nama pengusaha dalam kepengurusan, karena mereka tidak akan mencari uang dari DKS. Sebab, secara ekonomi mereka sudah mapan,” terangnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwasata (Disbudpar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati mengaku tahun lalu ada kevakuman dari DKS. Festival Seni Surabaya tak diselenggarakan sehingga anggaran yang disediakan hanya terpakai Rp19 juta sehingga Rp74 juta sisanya dikembalikan kepada kas daerah.
” Uang Rp3,1 juta itu dianggarkan termasuk untuk para seniman yang tampil di luar kota. Saya tak mau berpolemik soal besaran anggaran untuk DKS ini,” ujarnya. (geh)

Tags: