Tanpa Teken SBY, UU Pilkada Tetap Berlaku

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Jakarta, Bhirawa
Penolakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap UU Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) dinilai sia-sia. Pasalnya, mayoritas anggota dewan sudah menyetujui RUU tersebut.
“SBY bisa saja tidak tanda tangan UU itu, tapi walau pun dia tidak tanda tangan UU tersebut tetap berlaku. Tidak ada pengaruh sama sekali (penolakan SBY),” kata Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, Senin (29/9).
Margarito melanjutkan, apapun yang disampaikan SBY terkait UU Pilkada tidak bernilai hukum. “Karena itu, jangan ditanggapi serius. Dia tak tanda tanda tangan 1.000 kali pun tidak akan pengaruh,” tukasnya.
Dia menilai, pernyataan SBY menolak UU Pilkada lebih bernilai politis dibandingkan hukum. Dugaannya, SBY ingin partai pendukung pilkada langsung yakni PDIP, Hanura, dan PKB, senang.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Irman Putra Siddin sependapat dengan Margarito Kamis. Irman mengatakan, RUU Pilkada merupakan usulan pemerintah yang dikepalai oleh Presiden SBY. “Nggak bisa menolak karena sudah disetujui oleh SBY. Dimana UU ini merupakan usulan pemerintah yang notebene SBY sudah menyetujui, jadi tidak bisa presiden menolak (tanda tangan),” ungkapnya.
Pilihan yang sudah diambil DPR, yakni mengembalikan pilkada ke DPRD, adalah sama halalnya dan sama baiknya dengan pilkada dipilih secara langsung. Karena UU Pilkada ini pada dasarnya tidak menyangkut tentang jantung kehidupan berbangsa dan bernegara. “Maka otomatis SBY harus merampungkan proses pengesahan yang sudah diselesaikan bersama itu,” ujar lulusan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu.
Diberitakan sebelumnya, Paripurna RUU Pilkada harus diputuskan melalui mekanisme voting pada Jumat 26 September. Hasilnya, 135 anggota dewan menginginkan pilkada langsung dipilih rakyat. Sedangkan yang setuju pilkada lewat DPRD ada 226.
Sementara itu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional, Teguh Juwarno, mengimbau Presiden SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tidak menggunakan kekuasaannya dalam penyelesaian polemik UU Pilkada.  “Memang kita dihadapkan pada dilema, apalagi levelnya sudah presiden yang kita tahu sudah memiliki otoritas dalam berbangsa dan bernegara, tapi dia juga Ketum partai. Kita percaya Pak SBY akan memisahkan itu,” kata Teguh.
Anggota Komisi V DPR itu berharap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa bersikap independen, objektif, dan profesional. Jika memang ada elemen masyarakat yang menggugat UU Pilkada yang baru disahkan tiga hari lalu itu. “Sehingga rujukan mereka adalah UUD 1945,” jelas dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan versi Suryadharma Ali, Dimyati Natakusumah, menilai rencana Partai Demokrat mengajukan judicial review UU Pilkada merupakan hal yang menggelikan. Sebab, justru pemerintah yang pertama kali menginginkan Pilkada melalui DPRD. “Intinya kalau pemerintah melakukan judicial review itu lucu,” ujar dia.

Beri Putusan Terbaik
Sekretaris PWNU Jatim, Dr Muzakki mengatakan setiap warga negara diberi ruang untuk melakukan mekanisme legal formal, termasuk yang kurang sepakat dan akan mengajukan judicial review UU Pilkada ke MK.  Apa yang terjadi di parlemen adalah mekanisme politik sehingga ketentuannya didasarkan pada institusi politik.
“Ada ruang lain yaitu hukum melakui MK untuk melakukan judicial review terhadap keputusan proses politik. Nah kemudian apakah hasil proses politis itu disahkan oleh MK atau justru dibatalkan, kita tunggu saja,” kata Muzakki.
Problemnya adalah kalau mengacu pada UUD maka keduanya adalah konstitusional karena ada demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung, jadi dua-duanya sah. “Proses judicial review itulah yang nanti akan menjadi ketentuan akhir,” imbuhnya.
Lantas bagaimana jika Presiden selaku user menolak UU Pilkada tak langsung? Kembali Muzakki menyatakan bahwa semua pihak termasuk Presiden harus percaya kepada MK, karena kalau tidak percaya pada legal formal final, lalu kita harus percaya pada siapa lagi. “Kita juga tidak perlu berandai-andai karena presiden ke depan anti pilkada tak langsung sehingga dikhawatirkan MK akan membatalkan UU Pilkada tak langsung. Saya kira apa yang terjadi di MK kita berikan ruang otoritas kepada hakim MK untuk memutuskan,” pungkasnya.
Terpisah, pengacara senior asal Surabaya, Trimoelja D Soerdjadi menilai kontroversi pilkada langsung atau oleh DPRD tidak akan pernah selesai, karena masing-masing pihak punya argumentasi yurisdiksi sendiri-sendiri. “Saya berpendapat, sebaiknya pilkada dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD sebab itu lebih demokratis,” dalihnya.
Dia menyebut, dengan segala kekurangannya pilkada langsung jauh lebih baik daripada dipilih oleh DPRD. “Saya tidak bisa membayangkan muncul pemimpin seperti Tri Rismaharini, Jokowi dan Ahok, andaikata pilkada melalui DPRD. Selain itu sekali hak pilih telah diberikan kepada rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya, hak itu tidak boleh begitu saja dicabut,” lanjutnya.
Trimoelja mencontohkan, jika dirinya oleh negara telah diberikan hak milik atas sebidang tanah. Hak itu kemudian tidak bisa begitu saja dicabut kembali oleh negara. Ada prosedur yang harus ditempuh, dan harus ada ganti rugi. “Ini merupakan kemunduran bagi demokrasi dan pencerdasan kehidupan berpolitik. Karena rakyat tidak lagi dilibatkan secara langsung untuk menentukan pilihannya sendiri,” kata Trimoelja. [cty,okz,ins]

Tags: