Tantangan dan Strategis Reformasi Birokrasi

Oleh :
Dyah Febri Rachmawati
Mahasiswi prodi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

PROGRAM Reformasi Birokrasi yang sudah dimulai sejak 2010 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB) 2010-2025.

Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 ini lalu dibuatkan Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014 fase ke-1 dan Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019 fase ke-2.

Pada 2020, Reformasi Birokrasi akan masuk fase ke-3, yaitu sejak 2020-2024. Fase ke-1 di bawah kepemimpinan Presiden SBY serta fase ke-2 dan ke-3 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Tujuan Reformasi Birokrasi sesuai GDRB 2010-2025, yakni untuk mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat, dan abdi negara.

Birokrasi seperti itu diharapkan akan memberikan kontribusi nyata pada pencapaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional serta daerah. Tujuan Reformasi Birokrasi di atas ialah dalam rangka mengejar visi Reformasi Birokrasi terwujudnya pemerintahan kelas dunia.

Dalam rangka menjalankan program Reformasi Birokasi pada kedua fase yang sudah berjalan, ditetapkanlah delapan area perubahan, yaitu mentalitas ASN, pengawasan, akuntabilitas, kelembagaan, tata laksana, peraturan perundangan, dan pelayanan publik.

Evaluasi terhadap capaian Reformasi Birokrasi fase pertama dan fase kedua pada kedelapan area perubahan menunjukkan hasil yang beragam. Namun, tetap menunjukkan kurang signifikannya perubahan yang terjadi. Reformasi Birokrasi pada area akuntabilitas pemerintah melalui pembangunan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) tampaknya merupakan area perubahan yang cukup signifikan.

Area pelayanan publik, walaupun memperlihatkan terjadinya sejumlah perubahan dengan dibangunnya mal pelayanan publik dan berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan, masih merupakan area perubahan yang memprihatinkan.

Data tentang kepatuhan pemerintah, terutama pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelayanan publik, terhadap peraturan perundangan di bidang pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) masih tidak baik. Demikian pula evaluasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2018 dan 2019 memperlihatkan masih sangat sedikit kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang menerapkan manajemen sumber daya manusia (SDM) dengan baik.

Area perubahan yang berkaitan dengan mentalitas aparatur sipil negara (ASN) malah tidak terlihat program dan gaungnya. Kapabilitas dan integritas ASN pun masih banyak dipertanyakan orang. Evaluasi terhadap area perubahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan tata laksana (dalam hal ini electronic government) juga memperlihatkan hasil yang memprihatinkan.

Salah satu temuan evaluasi terhadap implementasi e-govt di Indonesia ialah rendahnya tingkat keterhubungan (connectivity) antarsistem e-govt, baik dalam satu kementerian, lembaga, daerah maupun–apalagi–antarkementerian, lembaga, dan daerah. Area perubahan peraturan perundangan dan pengawasan masih menjadi area perubahan yang paling memprihatinkan.

Masalah lain di luar kedelapan area perubahan yang juga menjadi masalah besar di Indonesia ialah soal egoism sectoral antarkementerian, lembaga, dan daerah. Bahkan, egoism sectoral terjadi dalam satu kementerian, satu lembaga pemerintah, dan satu organisasi perangkat daerah tertentu.

Masalah ini sering dikenal dengan silo mentality. Bahkan, menurut data yang ada, masih lebih dari 100 daerah di Indonesia yang sama sekali belum melaksanakan program Reformasi Birokrasi.

Laporan dari berbagai lembaga internasional juga menunjukkan kondisi birokrasi Indonesia yang masih memprihatinkan. Nilai ease of doing business (EoDB) Indonesia masih di bawah Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam pada 2016-2019. Hal ini mengakibatkan daya saing investasi Indonesia di kawasan ASEAN cukup terpuruk.

Indikator lain yang juga masih memprihatinkan ialah indeks persepsi korupsi yang walaupun ada perubahan, tapi tidak signifikan. Indikator terakhir yang dapat digunakan untuk menilai kualitas birokrasi Indonesia ialah government effectiveness index (GEI) yang masih kurang baik walaupun secara terus-menerus terjadi perbaikan.

Reformasi Birokrasi fase pertama dan kedua tampaknya menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan cepat dan tuntas oleh pemerintahan Joko Widodo. Apa tantangan yang dihadapi Indonesia dan juga berbagai pemerintahan di dunia pada masa yang akan datang? Sebuah buku yang berjudul Government in 2071: Guidebook (2018), pemerintahan di dunia, termasuk Indonesia dihadapkan pada era perkembangan teknologi yang canggih (artificial intelligence).

Indonesia harus mengantisipasi era keterbukaan antarnegara yang semakin luas, yang berujung pada kemampuan untuk bersaing dalam rangka menarik calon investor yang kredibel. Indonesia menghadapi perubahan iklim (climate change) yang sangat signifikan, bahkan sudah berdampak pada sejumlah kota besarnya seperti Jakarta.

Indonesia menghadapi warga dunia yang semakin tinggi mobilitasnya, demikian pula pada pertambahan penduduknya yang signifikan. Indonesia menghadapi ketertinggalan dalam hal kesejahteraan masyarakatnya, terutama pada bidang pendidikan dan kesehatan. Sampai saat ini pemerintah belum mampu membuat regulasi yang berkaitan dengan penyelesaian masalah taksi daring.

Untuk itu, dibutuhkan birokrasi yang berkualitas tinggi, yang ditunjang profesionalisme, ketangguhan, produktivitas, dan integritas yang prima. Lalu, bagaimana strategi Reformasi Birokrasi yang harus dibangun untuk masa Reformasi Birokrasi fase ke-3? Pertama, sesuai dengan tujuan Reformasi Birokrasi yang dituang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015, yaitu mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance).

Maka itu, pemerintah harus melakukan berbagai hal untuk perubahan pola pikir melalui manajemen perubahan (change management). Birokrasi Indonesia selama ini bergerak dengan paradigma lama yang sering disebut sebagai paradigma lama administrasi publik (old public administration).

Walaupun sudah terjadi perubahan dalam administrasi publik Indonesia, tampaknya tanpa kesadaran tentang perlunya perubahan cara berpikir (perubahan paradigmatis) dalam mengelola negara dan pemerintahan.

———- *** ———-

Tags: