Tantangan Guru di Abad 21

Oleh :
Nurul Yaqin, SPd.I
Guru SMPIT Annur. Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA)

Krisis multidimensional yang dihadapi dunia ini semakin pelik manakala arus globalisasi kontemporer telah menjalar ke berbagai lini kehidupan. Dunia mengalami fenomena globalisasi yang cepat penetrasinya dan luas cakupannya. Anthony Giddens (1990) menyebutnya sebagai globalisasi dini, yaitu intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitu pun sebaliknya.
Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa distansiasi ruang waktu (time-space distanciation) sekaligus pemadatan ruang waktu (time-space compression) yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvesional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Fenomena ini telah merestrukturisasi pola dan cara pandang kehidupan manusia yang memunculkan efek mendua. Efek inilah yang dikenal dengan istilah global paradox: positif dan negatif, peluang dan hambatan.
Globalisasi menyebabkan negara-negara yang ada di dunia berevolusi menjadi desa global (global village), dan warga dunia menjelma menjadi warga global (citizen global). Indikasinya, bayi yang lahir pada abad XXI berubah menjadi “manusia-manusia digital”, yaitu manusia masa kini yang sangat akrab dengan dunia teknologi, informasi, dan komunikasi.
Dalam konteks pendidikan, kemajuan IPTEK membutuhkan perhatian serius. Karena dunia pendidikan adalah sarana paling efektif penyebaran IPTEK. Sistem pembelajaran konvesional perlahan mulai tertinggal jauh di belakang. Saat ini proses pembelajaran tidak hanya berkutat di dalam kelas, tapi juga menggunakan media digital, online, dan teleconference. Namun, pendidikan juga harus waspada agar mampu membendung efek negatif dari perkembangan IPTEK.
Menyikapi hal tersebut guru sebagai aktor utama pendidikan tidak boleh tutup mata. Guru hari ini harus lebih pintar dan cerdas dalam menyikapi perkembangan teknologi yang semakin melesat. Jangan sampai seorang guru memiliki penyakit TBC (tidak bisa computer) mengingat anak didik lebih akrab dengan dunia teknologi dan komunikasi. Keterbelakangan guru dalam dunia IPTEK akan menjadi bumerang yang akan mempengaruhi profesionalitas keguruannya.
Murid Millenial
Yang jadi permasalahan kolektif dunia pendidikan kita saat ini adalah guru abad XX (yang lahir di bawah tahun 2000) masih gagap teknologi. Sedangkan murid yang dihadapi adalah manusia abad XXI yang tentu beda dalam asupan gizi keilmuan teknologi. Sederhananya, banyak anak-anak didik kita saat ini lebih cerdas dalam dunia teknologi dari pada gurunya. Kesenjangan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja agar tidak berakibat fatal dalam proses pendidikan.
Guru sejak zaman Orde baru sampai sekarang bukan lagi seperti yang dilukiskan oleh Earl V Pullias dan James D Young dalam bukunya A Teacher is Many Things, yaitu sebagai sosok makhluk serba bisa sekaligus memiliki kewibawaan yang tinggi di hadapan murid maupun masyarakat. Tapi sosok guru yang sekarang ini lebih tepat sebagai sosok mimikri, yang harus pandai-pandai menyesuaikan diri di mana dan dalam dalam situasi apa mereka berada. Hal itu sebagai akibat dari situasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang ada sangat dominan. (Darmaningtyas : 2015 : 144)
Munculnhya media komunikasi yang tidak hanya berbasis pesan (audio) menjadikan anak muda kita candu. Terlebih lagi sebuah aplikasi komunikasi yang dilengkapi dengan media audio visual. Tak sedikit dari anak didik bangsa ini memperlihatkan gambar (amoral) yang menurut mereka adalah sebuah trendi. Ironisnya, guru tidak mengetahui apa yang dilakukan anak didiknya lantaran tidak memiliki aplikasi serupa. Ini adalah sebuah problema yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Lewat salah satu aplikasi yang paling digandrungi, anak remaja hari ini berlomba-lomba mempertontonkan foto paling bergengsi. Sebuah aplikasi komunikasi tanpa batas akan membawa anak pada dunia yang lebih bebas dan liar. Di sana mereka akan berteman dengan para tokoh idolanya semisal artis korea, artis Hollywood dan lain-lain. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai kiblat dalam tindak-tanduknya.
Ini semua akan menjadi tantangan terbesar bagi para guru. Canggihnya teknologi akan menyebabkan komunikasi antar peserta didik dapat terjalin dengan rahasia. Ketika obrolan dunia maya antar anak tanpa ada campur orangtua dan guru, maka akan sangat riskan akan bertindak sesuai dengan nafsu jiwa muda. Nafsu jiwa muda cenderung tanpa pertimbangan akal yang tentunya akan bisa mengakibatkan negatif bagi diri mereka. Ratih Ibrahim (2012) menuturkan “kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya, sehingga menganggap apa yang diperolehnya dari internet atau teknologi lain adalah pengetahun terlengkap dan final”.
Melek Teknologi
Kualitas guru yang hampa akan teknologi tidak akan mampu menanamkan “daya kritis” kepada murid untuk menjadi manusia revolusioner. Sehingga mereka terhambat untuk menggali potensi dirinya. Guru yang gaptek (gagap teknologi) akan menurunkan derajat kredibilitasnya di hadapan para murid sehingga murid cenderung underestimate, seolah-olah guru adalah orang dungu di tengah dunia metropolitan. Ini fenomena yang sering ada dan terjadi di sekeliling kita.
Guru boleh produk tahun 90-an tapi kapasitas keilmuan tidak boleh kalah dengan persaingan zaman. Di manapun dan kapanpun seorang guru harus lebih pintar dari pada muridnya, tidak hanya dalam konteks pedagogik akan tetapi juga harus update dalama segala bidang. Guru tempat berpijak murid, jika guru tidak ada ghirah untuk meningkatkan potensi dirinya, sudah pasti guru akan kalah dengan keilmuan muridnya mengingat sumber belajar saat ini sudah bertebaran di dunia maya setiap detiknya.
Menyikapi hal ini guru tidak boleh gagap teknologi (gaptek) dan harus selalu  berupaya memotivsi dirinya dalam dunia teknologi. Guru tidak boleh malas mengakses informasi dan teknologi jika tidak mau tertinggal. Mereka perlu belajar serius agar mampu mengoperasikan perangkat IT di hadapan para muridnya. Guru professional akan lebih mudah memahami kebutuhan siswa di tengah semakin komplitya ketersediaan sarana dan prasarana.
Ketika siswa memiliki akun di media sosial, tak ada salahnya guru juga memilikinya, bahkan disarankan untuk saling berteman. Selain sebagai wadah untuk belajar, media komunikasi, dan penyebaran informasi keberadaan guru juga sebagai pengawas aktivitas anak didik ketika berselancar di dunia maya.
Komunikasi siswa saat ini cenderung alay dan berupa simbol-simbol yang sulit dijangkau oleh orang dewasa. Dalam hal ini guru harus mengetahui bahasa yang sering digunakan oleh mereka. Terkadang dalam bahasa yang mereka gunakan terselip unsur-unsur yang menjerumus kepada tindakan tak beradab seperti, bullying, diskriminasi, narkoba, bahkan seksual. Ketika guru sudah masuk dalam dunia muridnya, maka akan lebih mudah mengantisipasi hal-hal negatif yang setiap saat selalu menghantuinya.

                                                                                                                  ———– *** ————

Rate this article!
Tantangan Guru di Abad 21,5 / 5 ( 1votes )
Tags: