Tantangan “Guru Zaman Now”

Oleh :
Nur Kholis Huda, M.Pd.
Guru SDN Jetis III Lamongan.

Peran guru di zaman kekinian sering mendapat sorotan. Bahkan, opini masyarakat akan mutu guru saat ini, serasa fluktuatif. Jika meminjam istilah yang sedang viral, yaitu kids zaman now, segala sesuatu diberi label “zaman now”, maka guru di era kekinian bisa kita sebut sebagai guru zaman now. Semakin hari, para guru ini dibenturkan dengan berbagai tantangan yang semakin berat. Tantangan-tantangan guru zaman now ini bervariasi, mulai dari kemajuan teknologi, menghadapi beragam generasi, tuntutan orang tua, tuntutan atasan, atau tuntutan besarnya gaji apalagi ditambah tunjangan profesi pendidik (bagi yang sudah bersertifikasi). Memang hal yang manusiawi, jika muncul berbagai tuntutan dari dampak meningkatnya kesejahteraan guru tersebut.
Sebuah perumpamaan pernah muncul dalam ajaran Ki Hajar Dewantara. Seorang pendidik yakni guru, adalah seorang petani yang merawat bibit hingga berbuah. Petani merawat bibit mulai dari menyiram, memberi pupuk, hingga menyiangi hama dengan harapan kelak akan berbuah baik dan layak. Namun, kita semua perlu sadari bahwa petani tidak mampu mengubah bibit mangga berbuah anggur. Sehingga dapat disimpulkan, sebagai pengajar sekaligus pendidik, guru mentransfer ilmu agar ilmu tersebut dapat bermanfaat dalam masyarakat. Bukan menyulap peserta didik sesuai yang diharapkan orang tua masing-masing.
Yang perlu digarisbawahi, guru zaman now harus cerdas menghadapi dan menjawab tantangan-tantangan yang muncul, sehingga menumbuhkan kesadaran bersama tentang peran guru. Jika salah langkah, bisa jadi guru akan mendapatkan label “negatif”, atau bahkan berakhir di balik jeruji besi.
Kemajuan Teknologi
Perubahan sarana komunikasi dengan munculnya beragam teknologi canggih, mewajibkan para guru turut mengikuti arus kemajuan. Salah satu diantaranya, gawai berbasis android yang memungkinkan untuk mengakses internet dan menerapkan komunikasi melalui media sosial.
Seorang guru yang gaptek, niscaya akan tergerus oleh kecanggihan teknologi, apalagi kecanggihan tersebut sudah lebih dahulu dikuasai oleh murid. Tidak jarang, seorang murid menganggap gurunya tidak lebih pandai dari dirinya. Ilmu pengetahuan yang diajarkan, kini dengan bebas bisa diakses melalui peranti-peranti berteknologi canggih. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang harus dipercaya oleh murid. Bukan tidak mungkin, seorang murid mengoreksi yang diajarkan gurunya dengan berdalih menurut “Mbah Google” (yang belum tentu kebenarannya). Hal yang akhirnya terjadi, tidak terwujud rasa hormat, atau bahkan merendahkan para pahlawan tanpa tanda jasa ini. Sungguh, menyedihkan, jika anggapan seperti ini akan terus tumbuh dan bersemi dalam pemikiran masyarakat.
Belum lagi, segala urusan administrasi kini diterapkan dalam berbagai bentuk aplikasi, baik melalui jaringan online atau offline. Mulai dari perlengkapan mengajar hingga kelengkapan berkas individu guru. Satu contoh SIM PKB (Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian dan Berkelanjutan), setiap guru diwajibkan mahir membuka akun SIM PKB masing-masing secara online. Sedangkan tingkat penguasaan masing-masing guru pada sistem ini masih berbeda, ada yang mahir, sekadar tahu, dan masih ada yang belum memahami sama sekali. Atau contoh lain yang berupa aplikasi offline, yakni rapor kurikulum 2013. Meski hanya berbasis aplikasi excel, namun dengan perpaduan beberapa pengaturan lanjutan (macro), sedikit banyak membuat para guru kebingungan untuk mengoperasikannya.
Generasi Zaman Now
Generasi millenial, yang menurut para ahli dikelompokkan dari generasi yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000-an, sudah cukup menjadi tantangan bagi guru. Sekarang, ditambah lagi dengan generasi yang dikenal sebagai suksesornya, generasi ini biasa disebut generasi zaman now.
Generasi ini menggambarkan kondisi anak-anak zaman sekarang, yang berkisar pada anak usia sekolah dasar. Kalau tidak kekinian maka tidak nge-hits, kata mereka dengan segala tingkahnya, yang mungkin menurut kita konyol. Generasi di bawah umur ini terkesan terlalu cepat dewasa, terlalu cepat berdandan, dan terlalu cepat mengenal kata asmara. Bagaimana tidak, anak-anak pada usia sekolah dasar sudah mengenal istilah pacaran, bahkan ada juga yang sudah saling panggil “papa-mama”. Bagaimana, miris bukan?.
Dibalik kekonyolan itu semua (menurut kita), anak-anak ini mempunyai segi kreatifitas yang tinggi. Dengan didukung kemajuan teknologi, kita bisa membandingkan kecepatan belajar mereka dalam hal teknologi aplikasi dibandingkan dengan usia 40-an ke atas. Jika hal ini dilihat dalam kacamata pendidikan, antara guru dan murid, bisa jadi para guru lebih tertinggal dibandingkan dengan para peserta didiknya, meski tidak semua.
Generasi ini memiliki ciri khas sendiri, mereka cenderung tidak suka diatur, dan tidak suka dengan gaya mengajar jadul yang ketika menasehati menggunakan “nada tinggi”. Guru zaman now harus bisa menyadari perbedaan dan perubahan yang terjadi. Para guru harus bisa “ngemong”, daripada harus mengekang kreatifitas mereka. Jadi, guru jangan heran bila menjalin pertemanan dengan generasi ini dalam media sosial. Seringkali, update status dan mengunggah foto-foto pribadi yang terkesan “menggelikan”.
Guru zaman now selayaknya menjadi guru yang efektif, yakni dengan memiliki beberapa keunggulan, baik dalam mengajar (sebagai fasilitator), dalam hubungan dengan peserta didik dan komunitas sekolah (sebagai komunikator), dan profesional dalam segi administrasi dan sikap sebagai guru. Munculnya keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman akan menjadi salah satu solusi.
Yang tidak kalah penting, semua akan berjalan selaras jika mendapat dukungan dari orang tua atau wali murid. Jangan sampai, sedikit-sedikit menyalahkan guru, melaporkan guru, hanya bermodal sumber “katanya”. Semua jenis permasalahan harus digali duduk perkaranya, sehingga terbentuk komunikasi berbagai arah yang pastinya akan mendukung kinerja guru. Harapan kita semua, semua guru akan melewati proses meningkatkan mutu kinerja yang profesional, produktif, dan kolaboratif, demi memanusiakan peserta didik secara utuh.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: