Tantangan Kartini Millenial

foto ilustrasi

Raden Ajeng Kartini (bersama perempuan pejuang lain) selalu memiliki cara mem-bahagia-kan kaumnya. Walau hanya dengan frasa kata sederhana, “ayo bangun.” Tetapi setiap kata perempuan yang kuat, selalu memiliki daya besar bagai pembangkit spiritual. Bahkan setiap lelaki yang kuat selalu membutuhkan ujaran sederhana kaum perempuan. Namun banyak pula perempuan, melupakan daya besarnya, memilih sebagai insan tak berdaya.
Sampai peringatan hari Kartini ke-54 tahun (2018) ini, masih banyak perempuan menjadi incaran berbagai tindakan diskriminasi. Di seluruh dunia, masih diperlukan peraturan anti-diskriminasi terhadap perempuan. Padahal pada tahun 1979 (40 tahun lalu) telah diterbitkan kesepakatan internasional berupa konvensi kesamaan perempuan. Wajib ditaati seluruh negara di dunia. Indonesia meratifikasi (bukti persetujuan) CEDAW, melalui UU Nomor 7 tahun 1984.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merumuskan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimantion Against Women) sebagai payung hukum perlindungan perempuan. Agar perempuan di seluruh dunia dapat berpartisipasi memajukan masyarakat. Terutama pembangunan martabat ke-manusia-an berbasis keluarga. Secara mayoritas, perempuan men-dominasiperan pengelolaan keluarga, sebagai ibu rumahtangga, maupun asisten rumah tangga.
Ironisnya, berdasar data WHO (World Health Organization, Badan Kesehatan Dunia PBB), hingga kini sekitar 140 juta perempuan menjadi korban tindak kekerasan. Di India, dan Indonesia, diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut-lanjut. Di negara-negara paling demokrasi (Amerika dan Eropa), perempuan masih diragukan untuk menerima jabatan publik (politik). Anehnya, di Palestina, dua perempuan (non-muslim pula) menjadi Walikota di dua kota mayoritas muslim. Juga memimpin demo anti-Israel (dan sekutu Amerika).
Aktifis perempuan, masih menjadi andalan rakyat. Memiliki martabat sosial sangat tinggi, bagai ibu yang selalu mengasuh anak. Di Indonesia (dan adat suku-suku) memiliki penghormatan terhadap perempuan. Ditambah pencerahan agama, perempuan menjadi garda terdepan aspek pendidikan (untuk kemajuan bangsa). Berbagai istilah (perempuan, wanita, dan wadon) memiliki makna strategis. Kata wadon (dari kata wadul), berarti tempat meng-hiba (curhat).
Perempuan biasanya selalu memiliki solusi berbagai permasalahan.Agama menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Banyak ayat-ayat dalam kitab suci, mewajibkan perilaku hormat dan santun kepada kaum ibu. Bahkan ratusan hadits Nabi SAW, memberi status “nomor satu” kepada perempuan. Misalnya, dinyatakan bahwa perempuan adalah al-madrasah al-ula (pendidik awal) seluruh manusia. Tetapi harus diakui pula, banyak perempuan melakukan “banting harga.”
Pada tataran agama banyak dikisahkan perempuan pejuang sangat gigih. Termasuk istri Fir’aun (bernama Asiyah). Bahkan dalam sejarah Islam, banyak pula perempuan menjadi pemimpin pasukan (tentara). Emansipasi, telah menjadi bagian dari kodrat perempuan. Emansipasi, bukan skenario yang dipaksakan. Emansipasi, juga bukan sekedar indeks untuk mengukur penghargaan kepada perempuan.
Kartini, memiliki trah bermartabat. Ayahnya, RM Sosroningrat, adalah keturunan Pangeran Dangirin, Bupati Surabaya abad ke-18. Dari Pangeran Dangirin, dapat ditelusuri trah keturunan kerajaan Majapahit. Juga tersambung dengan Sultan Hamengkubuwono ke-6. Sedangkan dari garis keturunan ibu, Kartini merupakan “santri-wati.” Ia adalah cucu dari mbah kyai Haji Madirono, seorang ulama kesohor di Telukawur, Jepara.
Sebagai keturunan mbah kyai Madirono, Kartini mewarisi intelektualitas (dan spiritualitas) memadai. Minat bacanya sangat tinggi, termasuk beberapa karya sastra bermutu. Misalnya karya van Eeden, serta roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, berjudul”Die Waffen Nieder”(Letakkan Senjata). Ia juga membaca “Max Havelaar” karya Multatuli (Douwes Dekker).
Maka “Kartini” zaman millenial, patut menteladani RA Kartini. Peduli lingkungan (sosial) sekitar, berani bersaing merebut peran strategis. Sekaligus mencegah eksploitasi perempuan dengan dalih emansipasi dan kesetaraan gender! ***

Rate this article!
Tags: