Tantangan Kesehatan di Era Digitalisasi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair
Semakin modern suatu jaman tentu semakin canggih upaya penanganan kesehatan terutama pelayanan kesehatan medis. Namun ironisnya justru problem kesehatan juga kian kompleks dan variatif berbagai penyakit. Di era 60-70 hingga 80-an penyakit berkutat pada masalah kesehatan masyarakat seperti penyakit kulit, cacingan, batuk pilek, cacar, diare, muntaber, difteri dan lain-lain. Namun sejak 90-an fenomena penyakit bergeser kearah penyakit degeneratif dan akibat pola perilaku yang salah. AIDS, SARS, Flu Babi, Flu Burung, Flu Arab (MERS CoV), Monkeyfox, Ebola berbagai jenis kanker, diabetes, stroke, hingga penyakit berbasisi genetik merupakan gambaran bahwa pola penyebaran dan kompleksitas penyakit seakan mengikuti perkembangan jaman. Dulu kita akrab dengan penyakit masyarakat “tradisional” seperti batuk, pilek, kudis, kurang gizi namun kini bertransformasi ke penyakit berkonotasi “masa kini” (kanker, diabetes, gagal ginjal, stroke dan lain-lain).
Kondisi menunjukan bahwa selain penyakit yang bersumber dari lingkungan akibat pengaruh mutasi genetik juga dikonstribusi oleh pola perilaku yang tidak sehat yang sebenarnya dapat dihindari. Secara karakteristik munculnya berbagai penyakit amat terkait langsung dengan kesehatan masyarakat yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan kematian. Tibanya kematian seakan tak kenal waktu, terkadang seketika tanpa sempat ditangani oleh layanan kesehatan (medis). Apalagi yang bersifat kemassalan yang berujung pada krisis atau tragedi kemanusiaan. Selain itu pengaruh perubahan dampak lingkungan juga menimbulkan memperberat problem kesehatan secara mendasar.
Fenomena merebaknya serangan ular kobra, serbuan tawon vespa (tawon ndas), serangan gajah liar, ulat bulu hingga turunnya beberapa hewan dari habitatnya (hutan dan gunung) beberapa waktu lalu kian menunjukan bahwa dampak perubahan alam telah signifikan terutama pada kelangsungan dan siklus hidup. Hal tersebut diperparah dengan gangguan faktor alam seperti banjir, tanah longsor, angin puting beliung hingga gempa bumi kian mempertegas bahwa manusia perlu kembali “bergaul” dengan alam sekaligus menghentikan segala aktivitas yang mencederai siklus hidup alam termasuk makhluk hidup di dalamnya. Kondisi tersebut tentu harus diawali dengan produk kebijakan yang mendukung upaya pelestarian dan menjaga kelangsungan hidup ekosistem dan habitat didalamnya. Adanya penebangan dan penambangan liar, pengerukan potensi dan kekayaan alam secara masif atas dasar pembangunan, tentu bencana tinggal menunggu waktu yang pada gilirannya yang menjadi korban adalah masyarakat tanpa pandang bulu.
Era globalisasi dan digitalisasi juga memberikan warna atas pola epidemiologis terhadap tingkat suatu penyakit, angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) di tengah-tengah masyarakat. Struktur sosial dan mobiltas masyarakat yang tinggi tentu juga mempengaruhi resiko penyebaran penyakit terutama antar negara bahkan benua. Kasus flu burung, flu babi maupun flu MERS atau penyakit yang berbasis penularan melalui saluran pernafasan (air borne diasease) adalah beberapa contoh sumber penyakit yang bila tidak diantisipasi tentu berresiko sangat mudah menyebar akibat kontak langsung antar individu, apalagi kondisi kepadatan penduduk kian menambah resiko perluasan penularan. Di sisi lain, pengaruh digitalisasi seperti media sosial juga berpengaruh pada perilaku masyarakat terutama kelompok anak-anak dibawah umur, selain berakibat pada timbulnya gangguan kesehatan kejiwaan sedangkan dikalangan dewasa cenderung berpengaruh pada aspek disorientasi perilaku seksual yang pada gilirannya berakibat pada penyakit seksual (AIDS, gonorohe, sifilis dan lain-lain).
Pada saat yang sama, implikasi kemudahan digiltalisasi berupa akses yang sangat cepat, mudah dan singkat untuk memperoleh setiap kebutuhan dan keinginan begitu mudah direalisasikan seperti delivere food online atau makanan instan (junk food) yang secara tidak langsung mengubah menjadi penurunan mobiltas atau pola gerak dan akivitas fisik sehingga berdampak pada resiko munculnya obesitas dimana obesitas merupakan resiko atau cikal bakal timbulnya berbagai penyakit khususnya penyakit degeneratif (stroke, diabetes, asam urat, tekanan darah tinggi dan sebagainya). Hal ini harus disadari bersama bahwa dibalik kemudahan bila tidak disikapi secara arif dan bijak maka perlahan tapi pasti kondisi tersebut akan dialami dan ketika dalam jangka panjang dan akumulatif tentu sangat mungkin didera dengan munculnya seabrek penyakit.
Hal terakhir yang perlu diantisipasi dan diwaspadai adalah penyadaran atas munculnya resiko bencana, mengapa karena sifat bencana bersifat kemassalan dan terjadi sewaktu-waktu serta spesifikasi wilayah tertentu, walaupun sebagian dapat diprediksi melalui early warning dan mitigasi bencana sehingga kita seyogyanya dapat memetakan seberapa resiko terutama di wilayah tempat tinggal dan lingkungan pemukiman termasuk jenis bencana yang mungkin timbul. Pendidikan bencana menjadi suatu yang mutlak dilakukan dan diterapkan sejak dini. Peran sekolah didorong menjadi titik awal pendidikan kebencanaan (disaster education) dalam upaya memberikan pengetahuan dan pemahaman sejak dini termasuk simulasi bencana, praktik evakuasi, penanganan psikis dan persiapan apa saja yang dibutuhkan bila bencana benar-benar terjadi. Pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat dilaksanakan melalui pendekatan kurikulum pendidikan bencana dengan mengidentifikasi kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan mengintegrasikan dalam pembelajaran. Sejak usia dini anak didekatkan dengan bencana dan menjaga serta memperlakukan lingkungan dengan baik, maka akan membentuk anak yang tangguh dalam menghadapi bencana dan mencintai lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan.
———– *** ————

Tags: