Tantangan Kontekstualisasi Pancasila

Ani-Sri-RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa ini memperingatinya sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan itu mengacu kepada momen ketika bangsa Indonesia lolos dari pemberontakan G30S/PKI, yang intinya ingin mengganti ideologi dasar negara Pancasila dengan ideologi komunisme. Kita selamat dari pemberontakan G30 S/PKI itu. Pancasila tetap eksis dan menjadi ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Rupanya sampai saat ini perdebatan tentang falsafah dasar NKRI tidak pernah surut sepanjang zaman. Persoalan ideologi negara menjadi bagian penting dalam proses yang terus menerus untuk menjadi Indonesia. Inilah tahapan kala sengketa dan kompromi politik mencipta dinamika dalam sejarah negeri ini: sebagai nation state. Kisah-kisah perdebatan pada awal masa kemerdekaan, ketika petinggi bangsa merumuskan dasar negara, sejatinya sampai saat ini masih terus berdengung.
Diskusi yang terkait dengan dasar negara masih mempertontonkan perdebatan yang kadang disertai ketegangan. Panggung politik masih menyediakan ruang kosong bagi perdebatan untuk merumuskan jawaban atas ideologi negara. Bahkan, pada masa  kontestasi menjelang Pemilu 2014, perdebatan tentang ideologi dasar negara, masih terus diucapkan, bahkan perdebatan tentang diskursus rakyat Indonesia dalam menentukan cara berdemokrasinya melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD yang akhir-akhir ini santer menjadi pembahasan publik. Tentu, jika diteruskan perdebatan tersebut tidak akan pernah surut.
Relevansinya dalam konteks sekarang, memperingati Hari Kesaktian Pancasila lewat upacara khusus untuk mengenang bahwa Pancasila tetap sakti adalah sah-sah saja. Namun, yang terpenting untuk direnungkan adalah bahwa sebagai dasar negara, apakah kita sudah mengimplementasikan sila-sila Pancasila?
Selama 69 tahun kita merdeka, tidak satu pun pemerintahan merealisasikan sila-sila Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti termaktub dalam UUD 1945, tujuan berbangsa dan bernegara adalah “menciptakan masyarakat adil dan makmur” berdasarkan Pancasila.
Kesaktian Pancasila yang dulu diagungkan, bagi generasi kemudian dianggap sebagai rekayasa Orde Baru, diteruskan rezim reformasi. Upaya menghidupkan kembali kesaktian pancasila jadi Utopia. Belakangan bahkan ingin dikembangkan paradigma sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa selain UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menempatkannya sebagai salah satu pilar tidak langsung degradasi bobot pancasila.
Kesaktian Pancasila terletak posisi ideologis dasar negara. Ketika Pancasila tidak lagi menjadi batu sendi dan common platform bernegara indonesia, apalagi tidak jadi wacana publik, kesaktiannya punah. Pancasila tidak hanya berada diujung tanduk dan masuk kotak, tetapi juga terbuang percuma. Olah pikir di atas perlu diapresiasi sebagai upaya revitalisasi nilai – nilai pancasila. Sebagai ideologi terbuka, pancasila terbuka dikembangkan sesuai dengan kebutuhan aktual, terutama dalam dan untuk praksis bernegara dan bermasyarakat indonesia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila itu minim direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk sila kelima yang justru fundamental: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Faktanya, keadilan sosial belum dirasakan seluruh rakyat Indonesia. Yang merasakan keadilan dan kemakmuran masih terbatas kalangan anggota DPR, menteri, pejabat, elite-elite politik, dan orang-orang kaya yang beruntung atau diuntungkan secara struktural.
Momentum Hari Kesaktian Pancasila, bagi Indonesia, negeri dengan keragaman budaya dan agama, tentu menjadikan Pancasila sebagai referensi ideologi politik menjadi pilihan penting. Strategi berbangsa dan bernegara, dengan tetap meletakkan prinsip saling menghormati dan mengasihi merupakan akar sejarah dari kelahiran Pancasila.
Pada titik ini, usaha-usaha untuk merobohkan nilai-nilai keragaman budaya dan tradisi yang tercermin pada prinsip Pancasila, tidak dibenarkan hadir di bumi pertiwi. Sudah saatnya, kita menyegarkan kembali pandangan atas ideologi berbangsa, dengan meletakkan secara harmonis Pancasila sebagai prinsip berbangsa dan nilai agama sebagai bagian dari komunikasi budaya.
Pengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke depan, perlu adanya tatanan kehidupan negara kita perlu diperbaiki. Demikian pula sistem demokrasi perlu diterapkan dengan sebenar-benarnya. Harus dihindari penerapan “demokrasi uang”, seperti berlaku dalam pemilihan bupati atau gubernur sekarang ini.
Sejak zaman Presiden Soeharto, implementasi dasar negara Pancasila terus didengung-dengungkan. Namun, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tak pernah diterapkan dalam kehidupan nyata. Kondisi keadilan sosial pun kurang diperhatikan. Tak mengherankan kalau kesenjangan sosial tetap tinggi. Yang kaya makin kaya, dan yang miskin kian terpuruk.
Sesuai sistem yang diberlakukan, setiap anggota DPR dipilih oleh minimal 300.000 orang. Namun, setelah menjadi wakil rakyat di Senayan, apakah di antara mereka mau memikirkan rakyat pemilih? Anggota DPR biasanya lupa kepada rakyat yang telah memberi mandat. Ini semua terjadi akibat mereka tidak memahami dan enggan mengimplementasikan Pancasila. Di antara elite pejabat dan wakil rakyat, kalau mereka benar-benar mengimplementasikan Pancasila, maka mereka tidak akan korup dan bekerja dengan baik.
Relevansi kesaktian Pancasila saat ini tidak hanya berkutat pada makna kelima sila serta pengertian dan penjabarannya, tetapi pada implementasinya. Disitulah terletak  ketidaksaktian Pancasila. Hampir semua sila ditabrak. Perilaku berkebalikan dengan semua sila membabi – buta terjadi. Dikatakan sebagai perilaku anti – Pancasila, sudah pasti marah, tetapi itulah kenyataan kita sehari – hari. Disinilah tantangan kontekstualisasi Pancasila.
Akhirnya, besar harapan pada pemerintahan dan parlemen baru saat ini, mampu menghasilkan kinerja yang baik, sebab bagaimanapun juga mereka yang dipilih untuk mengelola negara ini harus mau mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Ini penting adanya, sebab kalau mengabaikan sila-sila Pancasila, maka yang akan menjadi korbannya adalah rakyat.

                                                    —————————- *** —————————–

Rate this article!
Tags: