Tantangan Literasi : Satu Guru, Satu Buku

Oleh :
Nurul Fariyah, MPd
SMPN 41 Surabaya

“Guru mengajar, itu biasa, tetapi guru menulis, itu baru luar biasa”.
Jarang sekali guru mau menulis. Banyak sekali faktor penyebabnya antara lain: banyak tugas tambahan di sekolah, tidak memiliki kemauan, kurang respon memanfaatkan waktu luang, dan sebagainya. Padahal banyak sekali manfaat guru menulis di sana antara lain untuk menambah poinpengajuan kenaikan pangkat, pengajuan guru berprestasi, pengajuan seleksi calon kepala sekolah (sicakep), untuk dijadikan sebagai contoh kepada peserta didiknya, dan sebagainya.
Jika seorang guru ingin memulai menulis,  banyak sekali tulisan singkat yang dilakukan seperti menulis karangan bebas, puisi, catatan  harian, dan sebagainya. Jika kita sudah terbiasa menulis hal-hal singkat maka lama-kelamaan kita akan ketagihan bahkan ingin menulis opini atau buku sekalipun. Bisa dihitung jari guru yang mampu membuat buku.  Asal guru memiliki kemauan dan tekad kuat, pasti guru bisa membuat  sebuah buku. Selain itu pula juga harus bekerjasama dengan penerbit. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas tentang cara seorang guru mampu membuat sebuah buku.
Pertama, memiliki kemauan. Modal pertama  yang harus dimiliki seseorang jika akan membuat sebuah buku adalah kemauan. Sering rasa malas menghantui diri kita. Namun jika kita bisa menghilangkan rasa malas itu dengan kemauan dan tekad kuat, maka kita bisa memulai menyusun sebuah buku meski perlu waktu yang cukup lama.
Johan Wolfgang von Goethe dalam Boom Literasi berkata , “Rebutlah saat ini apa pun yang bisa Anda lakukan atau mimpikan…. Mulailah!
Keberanian mengandung kegeniusan, kekuatan, dan kejaiban. Lakukan saja dan otak Anda akan mulai  berputar, mulailah dan pekerjaan itu akan selesai.” Dari pernyataan tersebut dalam kegiatan menulis buku, kita harus memiliki obsesi, berani menuangkan ide dan mengembangkan ide tersebut dalam barisan kalimat utuh, dan berani menyelesaikan tulisan itu sampai tuntas.
Kedua, memiliki minat baca yang tinggi. FafiInayatillah dalam Boom Literasi mengatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi dari otak manusia. Proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Seseorang yang ingin membuat sebuah karya sebuah buku harus sering membaca berbagai referensi buku. Selain menuangkan gagasan atau ide kita ke dalam proses mencipta buku, di dalamnya pula jugaterdapat sumber pustaka untuk mengembangkan ide-ide kita.
Terkesan konyol apabila kita menuangkan ide tetapi tidak memiliki sumber pendukung yang kuat dan relevan. Dengan adanya sumber pustaka, kita akan merasa terlindungi dan siap menjawab jika ada berbagai pertanyaan yang ditujukan pada buku yang telah disusun.
Ketiga, memahami penulisan ejaan dan tanda baca  yang benar. Ketika kita sedang menyusun buku, kita harus memahami penulisan ejaan dan tanda baca yang sesuai dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Bisa dikatakan, selain menjadi penulis buku, kita juga harus mampu mengedit tulisan sendiri tanpa harus mencari seorang editor.  Jika penggunaan tata kalimat yang sistematis, penggunaan ejaan dan tanda baca yang baik dan benar, maka buku yang disusunnya akan enak untuk dibaca.
Keempat, mengikuti seminar atau workshop tentang kiat – kiat menulis buku. Dengan cara mengikuti kegiatan tersebut, kita bisa mendapatkan banyak ilmu tentang kiat-kiat menulis buku dari para narasumber. Selain itu, para narasumber juga akan membakar semangat para calon penulis buku. Mereka akan selalu mendampingi memantau tulisan kita melalui media sosial tanpa harus sering bersemuka. Mulai dari konsultasi pengajuan judul tulisan, proses hingga penyelesaian. Mereka pun membantu untuk merevisi tulisan kita menjadi lebih komunikatif, luwes, mudah dipahami oleh pembaca. Hingga pada akhirnya bisa dimungkinkan buku akan selesai pada waktunya meski perlu waktu cukup lama.
Kelima, disiplin waktu. Khususnya bagi seorang guru, tuntutan pekerjaan guru saat ini tensinya sangat tinggi. Pekerjaan guru selain mengajar juga ada pekerjaan tambahan seperti : ketua laboratorium, wali kelas, sekretaris tim adiwiyata, dan sebagainya. Jika seorang guru ingin membuat sebuah buku maka harus pandai membagi waktu antara pekerjaan sekolah dengan pekerjaan menjadi seorang penulis. Ada yang mengatakan bahwa  “pagi jadi  karyawan, malam jadi penulis”. Ternyata memang betul, jika kita mampu dan bisa mengaplikasikan pernyataan itu maka kita akan berhasil menciptakan sebuah mahakarya buku. Yang jelas tidak mengorbankan pekerjaan bah kanmeninggalkan peserta didiknya di kelas. Sangat diharamkan jika sampai meninggalkan peserta didik di kelas hanya alasan gurunya  menyusun sebuahbuku.
Keenam, memiliki  jaringan komunitas para penulis dan penerbit. Meski seorang guru mampu menyusun buku tapi kalau tidak memiliki jaringan komunitas penulis dan penerbit maka karya bapakibu guru hanya tersimpan di dalam file saja. Oleh karena itu, bapak ibu guru harus mengem bangkan saya pun tuk membuat sebuah komunitas. Bukan berarti menyuap pada penerbit tersebut tapi sekedar untuk merevisi karya kita tentang layak tidaknya penyusunan buku itu diterbitkan.
Ketujuh, jangan ragu untuk mencoba. Seseorang yang memilikirasa ingin tahu berarti ia ingin mendapatkan hal atau tantangan dalam hidup. Hal itusifat yang luar biasa jika diimplementasikan ke hal -hal yang positif khususnya menulis.  Jangan ragu untuk mencoba,  jangan takut dengan kegagalan, jangan patah semangat jika mendapat saran atau ktirikan. Jika seseorang memiliki prinsip itu, penulis yakin akan berhasil dalam menulis. Mulailah dari tulisan yang sederhana seperti rubrik pembaca, menyusun paragraph bebas, bercerita tentang diri kita meski penggunaan bahasanya tak beraturan. Tidak jadi soal karena itulah langkah awal menjadi penulis tenar. Contoh para penulis yang berangkat dari nol sampai berhasil hingga sekarang antara lain: Eko Prasetyoseorang jurnalis belia dan energik yang juga penulis buku tentang pendidikan, Sirikit Syah seorang penulis buku atau esai berbagai genre  yang lulusan Amerika dan Inggris mengambil jurusan jurnalis. Selain itu, Ninuk Budiarini, seorang  guru di salah SMA swasta Mojokerto yang aktif menulis salah satu judul bukunya Writing Therapy for Galauers. Pasti inginkan, kita jadi seperti mereka?
Jangan takut dengan kegagalan. Sesungguhnya kegagalan adalah langkah awal dari sebuah kesuksesan. Kegagalan pula, guru yang paling berharga. Dari kegagalan itulah, asal kita optimis, berusaha mencoba dan mencoba lagi, di kemudian hari pasti akan meraih keberhasilan. Jika tulisan buku kita direvisi oleh editor maka janganlah berkecil hati. Justru dari hasil revisi itulah akan membuahkan hasil buku yang sempurna dan menarik untuk dibaca. Jika ingin benar maka harus melalui hal yang salah terlebih dahulu.
Khususnya bapak dan ibu guru yang tersebar di seluruhwilayah Indonesia berusaha mulai sekarang berkompetisi untuk menyusun sebuah buku tunggal meski pekerjaan di sekolah menanti. Awalnya memang agak tertatih-tatih tapi kalau sudah ada di depan laptop, enggan untuk menghentikan tulisan itu.
Dalam menulis, kita terapkan peribahasa “berakit- rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit – sakit dahulu, bersenang – senang kemudian” (Bersusah payah dahulu, hingga pada akhirnya menemui sebuah keberhasilan). Meski kesibukan padat merayap, marilah para guru Indonesia khususnya, mulailah dengan menulis hal-hal sederhana meski hingga pada akhirnya sebuah buku pun tercipta.

                                                                      –——— *** ———

Tags: