Tantangan Pendidik di Era Disrupsi

Oleh :
Rahmad Hakim
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Pengampu Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Setiap peristiwa besar selalu di iringi dengan dua sisi mata uang. terdapat sisi positif, namun juga selalu di iringi dengan sisi negatif. Hal ini juga berlaku di era Disrupsi atau revolusi industri 4.0 yang kita hadapi dewasa ini.
Sisi positif dari keberadaan revolusi industri 4.0, disertai dengan eksistensi kecerdasan buatan (artificial intellegence) dan juga mewabahnya teknologi internet di setiap sendi kehidupan manusia, dapat mempermudah dan meningkatkan efektifas serta efisiensi kinerja, tak terkecuali pagi para pendidik (guru dan dosen).
Selanjutnya, sisi negatif dari keberadaan teknologi ini adalah berkurangnya pekerjaan para pengajar, khususnya dalam sharing ilmu pengetahuan. Berdasarkan riset yang di rilis oleh Future of Humanity Institute, Universitas Oxford (2019), dinyatakan bahwa salah satu dampak negatif dari perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (atificial intellegence) adalah tergantikannya peran manusia dalam berbagai lini kehidupan, baik dalam bidang administrasi, manufaktur hingga customer service.
Bahkan menurut 352 ahli bidang artificial intellegence yang bertindak sebagai informan dalam penelitian tersebut menyatakan, bahwa dampak dari teknologi dan kecerdasan buatan tidak hanya pada pekerjaan sebagaimana tersebut di atas, tapi lebih dari itu bahwa dampak negatifnya menjalar hingga ke bidang pekerjaan profesional yang di huni oleh lulusan sarjana yang bekerja di bidang formal perkantoran. Tidak menutup kemungkinan, akan berdampak juga pada profesi pendidik dimasa mendatang.
Tugas Pendidik (Guru dan Dosen)
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah mereka yang mendidik secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta melakukan evaluasi peserta didik sejak dari usia dini hingga tingkat pendidikan menengah (SMP-SMA).
Sementara dosen merupakan seorang pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama melakukan transformasi, pengembangan serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui jalur pendidikan, penelitian & pengabdian kepada masyarakat.
Dengan tugas dan fungsi di atas, profesi pendidik (guru dan dosen), memiliki beban yang tidak mudah, apalagi di era disrupsi yang sedang dan akan kita jalani dewasa ini.
Eksisnya teknologi informasi dalam segala lini kehidupan manusia –baik ekonomi dan bisnis, traveling, pemerintahan, administrasi, pendidikan hingga layanan kesehatan, mengakibatkan tugas-tugas teknis dan fisik semakin berkurang. Tak terkecuali di dunia pendidikan.
Kini, ilmu pengengetahuan telah tersedia (jika tidak dikatakan membanjiri) ruang publik melalui berbagai situs diantaranya adalah google, youtube, instagram.
Bahkan telah ada sistem kuliah online yang tidak mengharuskan adanya tatap muka dengan para pendidik atau instruktur. Selain itu, dengan media penyimpanan video seperti youtube, siapa saja (termasuk peserta didik) dapat melihat tayangan kuliah maupun tutorial tentang bidang ilmu spesifik tertentu, sesuai yang diinginkan. Boleh jadi, inilah era dimana semua orang dapat belajar sesuka hatinya, kapan saja dan dimana saja, dan berama siapa saja.
Namun dengan melimpahnya ruang untuk mendapatkan media dan ilmu pengetahuan yang mudah di akses, apakah hal tersebut berbanding lurus dengan tingkat literasi masyarakat?.
Jawabannya ternyata tidak. Tingkat literasi kita masih rendah, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Berdasarkan rilis data World Bank (2018), masyarakat Indonesia secara fungsional sebesar 55,4% masih memiliki kemampuan literasi rendah. Sungguhpun mereka mampu membaca, sejatinya mereka belum mampu memahami content dari sebuah bacaan. Angka ini bahkan lebih rendah dari Negara Vietnam sebesar 13,9%.
Hal inilah yang menjadi perhatian kita. Sebagaimana dinyatakan oleh Ananda (2018), bahwa sebagian dari generasi muda sesungguhnya bisa menulis, tapi tidak bisa menulis. Artinya, kemampuan menulis mereka bisa sangat panjang sekali, hanya saja bisa dilakukan di media sosial dan dalam kasus pribadi untuk sekedar mengungkapkan kegalauan. Namun jika ditugaskan untuk manulis tulisan yang lebih serius, ilmiah dan akademik justru kemampuan tersebut seolah hilang ditelan bumi.
Seiring bertambahnya waktu, kemampuan literasi ini tidak kunjung membaik. Berdasarkan rilis data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), score dari Programme for International Student Assesement (PISA) tahun 2019, menunjukka bahwa kemampuan literasi siswa kita berada di ranking 72 dari total 78 negara yang berpartisipasi dalam program tersebut. Beberapa aspek dari penilaian program ini adalah assesement pada mata pelajaran reading, sains dan matematik. Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara Asia lainnya seperti Tiongkok, Singapura dan Malaysia.
Tugas Pendidik di Era Disrupsi
Berdasarkan hal di atas, beberapa hal yang perlu untuk dilakukan oleh para pendidik adalah:
Pertama, dengan berubahnya kondisi peserta didik yang mayoritas adalah generasi milenial, diperlukan metode pembelajaran yang variatif dan inovatif dengan penggunaan metode e-learning. Selain memudahkan pendidik, hal ini akan memberikan efek positif terhadap peserta didik dengan peningkatan partisipasi mereka dalam pembelajaran.
Kedua, dengan penggunaan metode e-learning, maka ‘separuh jiwa’ dari pendidik akan hilang, yaitu fungsi sharing infomrasi dan pengetahuan kepada peserta didik. Oleh karena itu, pendidik harus mampu menambalnya dengan mengembangkan kepribadian peserta didik agar menumbuhkan sikap kritis, solutif dan kemampuan untuk bekerja sama secara tim (team-work). Jika hal ini mampu untuk dilakukan, maka pendidik akan tetap eksis dan keberadaannya masih tetap bermakna bagi peserta didik. Sebab pendidik mampu untuk menghadirkan sesuatu yang baru dengan hilangnya peran pendidik sebagai pemberi informasi atau ilmu pengetahuan.
Ketiga, diatas semua tujuan pendidikan yang ada, terdapat tujuan inti dari pendidikan itu sendiri, yaitu menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah swt dan memiliki akhlak yang baik. Maka dari itu, pendidik harus mampu menanamkan sikap taqwa kepada peserta didik, dan juga menanamkan akhlak yang baik. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, sehingga akhlakku menjadi baik). Lantas, dari sisi manakah ketaqwaan dan kebaikan akhlak seseorang dapat di evaluasi?. Jika kita merujuk kepada definisi iman dalam Islam, maka indikator kongkritnya adalah keberadaan keyakinan dalam hati, dan persaksian dengan lisan, selanjutnya di ikuti dengan tindakan-tindakan kebajikan dalam keseharian.
Dengan demikian, untuk melihat sejauhmana penanaman taqwa dan akhlak itu telah sukses adalah dengan melihat, apakah ucapan baik secara verbal maupun scriptual (pesan singkat, status dan komentar di dunia maya atau medsos) yang diucapkan oleh peserta didik sudah dalam ketegori baik?, selanjutnya apakah sikap dan tindakan peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas sudah dalam kategori baik?. Jika ucapan dan tindakan sudah baik, maka itulah sebenarnya cerminan dari kebaikan hatinya. Sebab yang nampak adalah gambaran dari yang tak nampak.
Tugas ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi jika kita sadar dan insaf bahwa salah satu misi kerasulan adalah menyempurnakan akhak, maka sejatinya kita berada di jalan yang benar, meskipun jalan yang kita lalui begitu terjal. Wallahu a’lam bisshowab!.
———– *** ————

Rate this article!
Tags: