Tantangan Pilkada Serentak: Antara Chauvinisme Politik dan Intervensi Hak Politik

Oleh :
Dr Lia Istifhama, MEI
Ketua III STAI Taruna Surabaya

Jelang Pilkada serentak, euphoria politik sangat kuat terlihat dalam pergerakan pendukung suatu paslon. Kecintaan terhadap paslon bahkan menjadi aktivitas yang “disunnahkan” untuk selalu diikuti. Terlebur dalam nuansa kebersamaan sesama pendukung, tentu menjadi alasan kuat selain membangun branding kekuatan paslon yang didukung agar layak disebut sebagai calon kuat sebagai pemenang Pilkada. Adakah yang salah dari spirit dukungan terhadap suatu paslon? Tentu tidak. Namun, harus diingat bahwa spirit pun memiliki kebhinnekaan. Dalam hal ini, tidak semua orang tentu memiliki persepsi yang sama dalam politik, yaitu tidak sama dalam menentukan hak politik.

Haruskah Menjadi Fanatisme is Toxic?

Berbicara Chauvinisme, awalnya adalah berkaitan dengan patriotisme. Bahwa makna awal dari chauvinisme adalah paham mengenai cinta tanah air dan bangsa (patriotisme) yang berlebihan. Dalam sejarah, pencetus aliran ini adalah Nicolas Cauvin, seorang tentara setia Napoleon Bonaparte. Walaupun di saat Napoleon kalah, Chauvin tetap setia kepadanya. Istilah tersebut akhirnya muncul dengan sebutan yang dikonsepkan nama Chauvin.

Chauvinisme hampir sama dengan primordialisme, yaitu ikatan seseorang pada kelompok yang menilai kelompoknya superior (kelompok lain inferior). Penilaian tersebut diperolehnya melalui sosialisasi dan internalisasi (internalized value). Primordialisme sangat berperan dalam membentuk sikap primordial seseorang, yaitu sikap yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari kelompoknya merupakan satu-satunya yang ‘terbaik’ dan ‘terbenar’, yang lain nomor berikutnya. Sikap primordialisme dapat membentuk sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif.

Dalam perkembangannya, sikap-sikap tersebut jika tidak memiliki batas, maka memunculkan sikap fanatisme ekstrem atau fanatikme sempit yang selalu membenarkan kelompoknya sendiri. Saat dikaitkan dengan situasi politik, maka pembenaran, peng-nomorsatu-an, peng-superioritas-an, dan pencintaan yang berlebihan, adalah terhadap kelompok politiknya sendiri ataupun tokoh panutannya dalam politik.

Fanatikme sempit namun toxic (fanatisme is toxic). Ungkapan tersebut sebenarnya sering diperbincangkan terutama saat perhelatan kontestasi politik. Bahwa akan semakin terlihat nuansa toxicnya-sebuah fanatikme, tatkala efek domino pengkubu-kubuan pertarungan politik dimulai. Efek domino inilah yang kemudian memicu “Politik Panas”.

Politik Santun: Peredam “Politik Panas”

Fanatikme yang berlebihan, membentuk pentingnya kepentingan kelompoknya sendiri di atas kepentingan orang lain. Sikap seperti itu melahirkan beragam perilaku dan tindakan yang dapat menghalalkan segala cara, bahkan bersifat anti humanisme karena melanggar batas-batas (boundaries) sosial. Fanatikme yang berlebihan bahkan cenderung destruktif. Sisi destruktif bisa menyentuh banyak aspek sosial. Terlebih ketika hal ini dilatarbelakangi kepentingan politik. Anti humanisme dapat terjadi saat egalitarianisme (kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya), terabaikan. Efek berikutnya adalah superioritas pada tokoh politik panutannya tanpa menyadari bahwa politik seyogyanya bersifat temporal.

Proses politik berpotensi memberikan perubahan pada banyak aspek, termasuk dalam hubungan sosial. Sebagai contoh, loyalitas maupun fanatisme ekstrem menjadikan kepentingan tokoh politik yang dipanuti, lebih diutamakan dibandingkan orang dekatnya sendiri.

Jika ditarik dalam pilkada serentak saat ini, supporter dalam kontestasi pilkada, memiliki semangat kuat memenangkan jago atau panutannya. Yang terjadi adalah, jika spirit memenangkan pilihannya tidak dapat diredam, maka akan mengubah sisi emosional. Dimana jago yang didukung adalah dewa yang sempurna yang tidak bisa dicelah sedikitpun oleh siapapun. Bahkan, para suporter akan turut membrainstorming siapapun agar memiliki pilihan yang sama, dan akan menolak yang sifatnya kontradiktif, meskipun dengan orang dekatnya. Dampak lainnya adalah intervensi hak berpolitik. Itulah alasan mengapa politik santun, harus terjaga. Sikap-sikap politik seyogyanya tidak mengabaikan budaya ketimuran bangsa yang menghargai “toto kromo” dalam ber-unggah-ungguh.

Pertarungan Strategi, Bukan Psikologis

Politik dan demokrasi, seharusnya sebuah bagian kemerdekaan setiap individu untuk berbicara dan menentukan pilihan, namun tatkala sisi psikologis (unsur subyektifitas) tidak terbentung, maka nilai orisinil dari politik pun hilang. Politik sejatinya adalah sebuah adu strategi, bukan adu psikologis. Karena kekuasaan yang ingin diraih dalam sebuah proses politik, sejatinya bukanlah tujuan akhir sebuah proses tersebut.

Harry R. Yarger menjelaskan bahwa power is a means, not an end, kekuasaan adalah sebuah sarana, bukan akhir. Jika dikaitkan aspek agama, sebagai contoh Islam, bahwa sarana disini adalah bagaimana sebuah kemasalahan dapat diraih. Kemanfaatan, kebaikan, sifatnya dapat dirasakan orang banyak, bukan semata kelompok pribadi. Urgensi memandang kekuasaan adalah sarana untuk berbuat kemaslahatan, karena kekuasaan tak lain bagian dalam sebuah strategi. Oleh Yarger, strategi adalah tentang masa depan. “All strategy is about the future, The future is where strategy has its effect.”

Menyikapi politik sebagai bagian demokrasi yang harus menghormati kebhinnekaan, karena politik hari ini adalah investasi untuk situasi politik suatu bangsa di masa depan. Oleh Ibnu Khaldun, strategi dalam sebuah pemerintahan, harus melihat sejarah. “It should be known that history is a discipline that has a great number of (different) approaches”. Dikaitkan dengan Indonesia, merupakan hal patut disyukuri bahwa negri ini memiliki sejarah yang sangat istimewa, yaitu perjuangan yang bersatu melawan penjajah. Maka sejarah ini seharusnya menjadi pondasi penting ketahanan bangsa untuk tetap menjaga agar Indonesia tetap berdiri tegak dalam pondasi persatuan. Namun, saat demokrasi berpolitik tak lagi mengindahkan nilai persatuan, tak lagi memiliki tolerasi dalam kebhinnekaan hak politik, maka politik santun menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebuah pertanyaan besar terbentuk : “Politik ADEM 2020: Aman Damai tEntraM, Mungkinkah ?”

Tags: