Tantangan Undang-Undang Desa

gumoyo mumpuni ningsihOleh :
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Pengucuran dana desa dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berdasarkan pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, akan diberikan bertahap mulai 2015. Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Marwan Jafar, akan ada potensi konflik di desa-desa yang menerima kucuran dana tersebut.
Betapa tidak. Alokasi dana desa (ADD) memiliki kepastian dengan nominal (skenarionya) berkisar rata-rata di atas Rp 1 miliar.  ADD itu diambil dari dana perimbangan di luar dana alokasi khusus (DAK), yakni dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH), yang bersifat memaksa bagi pemerintah daerah direalisasikan. Jika tidak, pemerintah pusat akan langsung memotong sebagian dana yang ditransfer ke daerah itu sejumlah hak (pemerintah) desa sesuai dengan kuota alokasi.
Jumlah ini, utamanya bagi desa-desa di luar Pulau Jawa, tentu sangat berarti sehingga desa berpeluang sebagai pusat pertumbuhan dan kreativitas sosial ekonomi masyarakat. Pemda pun akan sangat terbantu dalam memberikan sentuhan nyata nan merata bagi masyarakat di seluruh wilayahnya karena sudah ada  kepastian anggaran negara yang dialokasikan langsung ke setiap desa.
Pemda dengan demikian hanya perlu mengefektifkan koordinasi imperatif sehingga tata kelola pemerintah dan pembangunan bisa mangkus dan tak disorientasi. Singkatnya, UU Desa yang baru ini merupakan pintu masuk terjadinya modernisasi desa.
Memunculkan Konflik
Kendati demikian, UU tentang Desa ini diperkirakan juga berpotensi memunculkan konflik atau permasalahan politik dan sosial terbatas di desa. Peluang terjadinya konflik tersebut sangat besar apabila pengucuran dana tersebut tidak dilakukan secara transparan.
Pertama, terkait dengan proses-proses politik, perebutan kepala desa akan sangat panas seperti halnya dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) langsung selama ini. Praktik politik uang pun bukan mustahil akan kian marak dalam pilkada itu.  Soalnya, yang diperebutkan pada dasarnya bukan sekadar jabatan kepala desa, melainkan nilai nominal dan sudah adanya  kepastian ADD, yang dibayangkan akan begitu strategis peran pemimpin tertinggi di komunitas berbasis ruang itu. Apalagi,  dengan peluang masa jabatan sampai tiga periode (18 tahun, setiap periode 6 tahun), diperkirakan jabatan kepala desa berikut perangkatnya akan diperebutkan para figur potensial di desa. Singkatnya, pada tingkat tertentu, kecenderungan seperti itu akan mengancam harmoni sosial di pedesaan.
Kedua, pengelolaan dana desa yang mana kepala desa diposisikan semacam “kuasa pengguna anggaran” akan berpotensi untuk selalu “dicurigai” masyarakat desa, terutama para pesaing politiknya, termasuk bagian dari buntut dalam pilkada. Peluang penyalahgunaan kewenangan atau penyalahgunaan dana berpotensi terjadi dilakukan oknum kepala desa dan atau perangkat terkait lainnya. Soalnya, adanya ADD yang cukup banyak itu (selama ini belum pernah terjadi untuk sebagian besar desa-desa di luar Jawa) boleh jadi akan menimbulkan semacam geger budaya bagi para kepala desa. Apalagi,  jika tak dilakukan berbagai persiapan sosial yang matang, termasuk di dalamnya beberapa bentuk pelatihan keterampilan dalam manajemen keuangan desa.
Berdasarkan konteks tersebut, moralitas dan kapasitas para kepala desa dan perangkatnya akan sangat menentukan tata kelola pemerintahan desa berikut anggarannya. Jika orientasinya pada upaya mengakumulasi harta dengan memanfaatkan jabatan kepala desa, apalagi meniru ada pengalaman konspiratif yang kerap terjadi di elite  atas, dana yang dialokasikan di desa itu hanya akan menjadikan sebagian oknum kepala desa dan perangkatnya akan menjadi klien aparat penegak hukum, dan selanjutnya terbuka untuk mengisi hotel prodeo. Atau, sebagaimana dalam kebiasaan yang dilakukan selama ini, para kepala desa yang tersangkut masalah dalam pengelolaan dana desa itu akan menjadi “ATM” bagi para oknum penegak hukum.
Ketiga, pada tahap awal, perencanaan pembangunan desa belum tentu bisa dilakukan dengan baik mengingat kapasitas sumber daya manusia yang belum tentu tersedia dan atau sama di setiap desa. Sementara itu, anggaran harus dialokasikan secara efektif dan digunakan secara efisien untuk mencapai target terfokus untuk menjadikan desa sebagai basis sekaligus ujung tombak penciptaan kesejahteraan rakyat.
Kualitas Perencanaan
Ini artinya, tercapai tidaknya misi mulai dari UU Desa ini sangat bergantung pula pada kualitas perencanaan dan pengawasan atas implementasi agenda pembangunan desa dengan memastikan alokasi dana memberi sentuhan langsung atau menjawab kebutuhan  masyarakat desa.
Upaya mengantisipasi atau mewanti-wanti itu, hal terpenting yang diperlukan adalah (1) persiapan sosialisasi UU ini harus dilakukan secara intens dan menyeluruh di seluruh desa dengan pendekatan dan metodologi yang tepat; (2) pendidikan politik rakyat sangat urgen agar UU Desa diimplementasikan dengan tetap menjadikan masyarakat yang berbasis ruang sebagai modal sosial yang berkarakter saling percaya dan tetap solid; (3) kepemimpinan dan pengelolaan anggaran desa diintervensi dengan “virus” akuntabilitas dan transparansi sehingga secara pasti mengarah pada good village governance; dan (4) pendampingan profesional dalam kaitan dengan kepemimpinan desa dalam paradigma baru sangat dibutuhkan.
Jika langkah-langkah itu dilakukan, niscaya desa akan berkembang pesat, bahkan tak  berlebihan dikatakan sebagai “ujung tombak pencapaian tujuan kita bernegara, yakni  menyejahterakan  rakyat”. Bagi kader-kader muda potensial pun terbuka peluang untuk secara profesional mengembangkan kreativitas sosial ekonomi di desa. Tugas kita bersama adalah menanamkan nilai-nilai kecintaan kepada desa di satu pihak, dan pada saat yang sama mengembangkan jiwa wirausaha bagi para generasi muda untuk berkarya di desa.

                                                            ———————- *** ———————

Rate this article!
Tags: