Tarian Bulan Purnama

Oleh :
Tina Harianti

Gadis itu sedang duduk di atas rerumputan halus dengan lutut terlipat. Usianya 17 tahun. Ia masih mendongakkan kepala. Menatap langit malam yang dihiasi bulan purnama berwarna keemasan yang menari-nari di pelupuk matanya. Rasi-rasi bintang yang mengitari bulan ikut menari membentuk pola seakan menghibur hatinya yang resah.

Setiap malam di halaman samping kedai nasi yang tak begitu luas. Gadis itu selalu menyempatkan waktu untuk menatap langit dan bulan. Berbicara lewat tatapan mata merasuk ke hati paling dalam membentuk harmonisasi tarian bulan.

“Masuk ke kamar lagi, Nak. Sudah saatnya untuk tidur. Tak baik anak gadis duduk sendiri di luar selarut ini.” kepala ibu menyembul dari balik jendela kedai nasi. Ia sudah menutup jendela kedai yang terbuat dari kawat itu dengan kain-kain spanduk usang yang tak jelas lagi arah tulisannya.

“Kemarilah, ibu. Temani anakmu ini untuk menari bersama bulan purnama. Bukankah ibu yang mengajarkan aku sejak kecil, sebelum tidur kita berdua selalu menatap langit dan bulan? Rasanya sudah lama sekali ibu bergelut dengan dunia luar. Hingga ibu tak lagi memikirkan suara hati.” bujuk Nabila lembut.

Ibu menghela napas sebentar. Tanpa pikir panjang ia menutup pintu kedai nasi lalu duduk melipat lutut di sisi Nabila. Mereka duduk bersisian menatap bulan purnama yang semakin syahdu memperlihatkan gerakan tariannya.

“Indah sekali bulan keemasan itu, Nabila. Sudah lama sekali ibu meninggalkan bulan purnama di atas langit itu, sibuk membantu Bu Sumi berjualan nasi. Lihat Nabila, bulan itu mengayunkan kakinya dan menganggukkan kepala mengikuti irama. He..he..” teriak Ibu menunjuk ke arah langit. Ia tertawa pelan.

“Lihat kakinya meliuk ke kanan dan ke kiri. Tangannya berayun seperti gelombang melentikkan jari-jarinya yang gemulai. Tubuhnya melenggok mengikuti arah tangan berayun. Sesekali berputar mengikuti irama tabuh yang semakin keras. Rasi-rasi bintang yang mengitarinya pun mengikuti irama. Mereka tak mau ketinggalan. Aku belum pernah melihat tarian seindah ini. Hahaha..” Nabila tertawa lepas menampakkan deretan giginya yang rapi diterpa sinar rembulan.

“Astaga, irama dan tarian itu sama persis dengan…”teriak ibu membelakkan mata seakan baru tersadar. Seketika wajahnya berubah memerah. “Cukup..cukup..irama tarian itu semakin memekakkan telinga” ibu menutup kedua telinganya. Matanya mulai panas. Ia buru-buru menyembuyikan wajahnya di balik lutut.

“Ada apa Ibu? Ada yang salah dengan tarian bulan itu?” tanya Nabila pelan.

“Tidak”

“Lalu, kenapa menyembunyikan wajah dariku, Ibu? Bukankah setiap menyaksikan tarian bulan purnama kita selalu berdua saja? Aku sudah dewasa dan tak ada hal yang perlu disembunyikan dariku.” Nabila memeluk erat pundak ibu. Berusaha memberikan kehangatan dari deru angin malam yang semakin menusuk.

Ibu mendongakkan kepala, menatap wajah Nabila anak gadis semata wayang itu. Guratan-guratan nasib terlihat jelas di ujung matanya yang basah. Benar ucapan anak gadisnya itu. Tidak ada yang perlu ditutupi dan dirahasiakan lagi. Bukankah kini Nabila sudah dewasa? Sudah bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk?

Ibu membalas pelukan anak gadisnya itu dengan erat. Dibelainya rambut Nabila yang panjang sepinggang. Dibenamkannya wajahnya di bahu anak belia itu. Ia bisa menangis sepuasnya sekarang. Tanpa harus menyembunyikan apapun dari Nabila lagi.

Tarian bulan purnama di atas langit semakin mengganas. Gerakan kaki meliuk semakin cepat. Tangan berayun semakin kencang. Jari melentik semakin cepat. Kepala mengangguk semakin cepat temponya. Rasi-rasi bintang yang mengitari bulan ikut berputar dengan cepat. Mereka berputar searah semakin lama semakin cepat membentuk lingkaran padat dengan irama memekakkan telinga dan menyayat hati.

Ibu setengah baya itu mengusap kedua matanya yang basah lalu mengangkat tangan dan menunjuk ke bulan purnama yang masih menari. “Lihat anakku, bulan itu sama persis seperti bulan purnama 10 tahun yang lalu. Saat kau masih berumur 7 tahun. Masih lekat dalam ingatan saat ibu dan kau tak lagi punya tempat di mata ayahmu. Ayahmu lebih memilih wanita penggoda itu. Hanya irama dan tarian bulan purnama di atas sana yang menemani kita berdua. Setia mendengarkan jeritan hati ibu atas perlakuan kasar ayahmu. Bukankah kau masih ingat Nabila, saat kau terakhir kali meninggalkan jejak di rumah besar itu?”

“Ya ibu. Kejadian itu masih tersimpan rapi di pikiranku. Setelah ayah mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, ibu menyeruak di jalanan menggapai-gapai di antara sinar rembulan. Aku memelukmu erat dan bersembunyi di balik tubuhmu yang rapuh. Berteriak dengan mulut terkatup berusaha memahami arti air matamu, Ibu.”

Ibu masih menunjuk ke arah langit. Matanya tajam menyaksikan tarian bulan purnama yang semakin cepat berputar kemudian membulat mengarah ke satu titik. “Waktu itu ia datang dengan irama yang terdengar sayup dari kejauhan. Semakin lama semakin nyaring di telinga. Diiringi dengan sinar bulan purnama yang semakin lama semakin terang memandikan tubuh kita berdua. Bulan purnama itu membawa kau yang tertidur dalam dekapan ibu. Kita melayang tinggi terbang ke langit.” Ibu menurunkan tangannya. Bibirnya terasanya kelu. Kesedihan masih bersemayam di wajahnya.

“Bulan itu tersenyum menyambut, lalu menggenggam tangan ibu dengan lembut. Cahaya keemasan mengalir merasuk ke pori-pori tubuh lalu membias memancarkan cahaya ke seluruh tubuh. Tubuh ibu bergetar hebat merasakan ada energi maha dasyat menggelora mengajak ibu menari. Menyatu dalam satu raga meliukkan kaki ke kanan dan ke kiri, mengayunkan tangan seperti gelombang dan melentikkan jari mengikuti irama yang syahdu.”

“Irama tarian itu semakin membuai ke singgasana. Seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Ibu menari dalam ruangan yang sangat luas.. Lentikan jari menari seperti gelombang membias di seluruh kaca. Sesaat kaki ibu terhenti saat mata beradu pandang dengan mata ayahmu. Ia sedang duduk bersama wanita lain di sebuah penjara yang berada di sudut ruangan. Kaki mereka dipasung kayu besar dan tangannya terikat ke belakang. Ayahmu berteriak panjang ketika seorang laki-laki berpenutup kepala emas melecut badannya dengan cemeti.”

“Ayahmu menghiba meminta pengampunan pada seorang perempuan cantik yang sedang duduk di singgasana besar. Sebuah singgasana megah berwarna keemasan yang berada di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu terlihat sangat anggun. Rambutnya mengeluarkan cahaya emas dan sangat panjang hingga menyeret lantai. Sebuah mahkota emas bertengger di atas kepalanya. Tubuhnya dibalut gaun panjang bermanik emas bersinar terang. Tangannya memegang sebuah irama. Ya, perempuan cantik itulah yang telah menabuh irama. Irama itu semakin kencang ditabuh hingga merasuk ke sanubari membentuk tarian yang tak mudah ibu pahami. Kaki ibu menari semakin meliuk mengikuti irama”

“Hingga suatu ketika, perempuan berambut emas berbisik agar ibu tak mendekati penjara itu. Ibu masih menari dengan sesekali mencari-cari mata ayahmu. Tanpa disengaja, kaki ibu tiba-tiba berhenti meliuk dan terpleset sehingga tubuh menyentuh pintu penjara. Dengan cepat, ibu membuka pintu itu dan mengambil cemeti lalu melecut penjaga berpenutup kepala emas itu. Tubuh ibu gemetar hebat tapi tangan, kaki dan kepala tetap menari bergerak mengikuti irama.”

“Perempuan cantik berambut emas itu murka dan menabuh irama semakin cepat. Lantai ruangan itu berubah merah seketika. Irama tarian syahdu berubah memekakkan telinga. Tarian itu semakin cepat temponya. Kepala, tangan dan kaki menari semakin kencang lalu menyatu pada satu titik. Persis sekali seperti tarian bulan di langit itu” kata ibu garang sambil menunjuk lagi ke langit. Mulutnya bergetar.

“Bulan purnama itu menghempas ibu ke bumi dengan garangnya. Senyuman itu seketika sirna. Ibu terjerembab jatuh dengan posisi tak jauh dari kedai nasi ini. Dengan kaki terseok-seok ibu minta pertolongan pada siapa saja yang lewat, tapi tak ada yang peduli. Untunglah ada Bu Sumi, pemilik kedai nasi ini berbaik hati mau membantu dan menyediakan sebuah kamar untuk kita berdua dengan syarat membantunya berjualan.”

“Ibu rela dibayar berapa saja asal kita bisa dapat berteduh dan bisa makan.”

“Lalu bagaimana dengan lelaki yang datang dua hari yang lalu?”

“Ouh, lelaki tua itu? Lelaki itu hanya irama yang ditabuh dan tetap dipasung dalam penjara bulan purnama.”

“Apakah ibu membenci bulan purnama itu”

“Tidak”

“Bukankah lelaki tua itu ingin menari tarian bulan purnama bersamamu, Ibu?”

Ibu tak menjawab sepatah pun. Matanya terlihat tajam memandang bulan purnama. Di atas sana, langit itu berubah merah dan mengeluarkan darah. Memancarkan kemarahan pada jiwa-jiwa yang rapuh.

Tentang Penulis :
Tina Harianti lahir di Padangsidempuan, tahun 1981. Setelah menamatkan pendidikannya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau. Ia mengabdi sebagai guru di Kota Pekanbaru hingga sekarang. Bukunya yang telah terbit adalah antologi puisi, Dersik Korona tahun 2020 dan antologi cerpen, Sang Pemimpi tahun 2021

————– *** —————-

Rate this article!
Tarian Bulan Purnama,5 / 5 ( 1votes )
Tags: