Tarif Skrening CoViD

foto ilustrasi

Tarif test mandiri bebas (negatif) CoViD-19 sudah turun, separuh harga, dengan hasil yang lebih cepat diketahui. Tetapi sesungguhnya tenaga tracer (penelusur) wabah telah lebih cakap mendeteksi ke-terpapar-an CoViD-19. Serta bahan testing mudah diperoleh. Sehingga seharusnya tarif bisa diturunkan, dan hasil swab PCR bisa lebih cepat. Ironisnya, bahan testing dalam negeri tidak diminati. Padahal terbukti lebih murah, mudah, dan ramah (tidak mengerikan).

Tidak ada metode skrening CoViD-19 yang benar-benar menjamin akurasi 100%. Seperti terjadi pada kontingen bulutangkis Indonesia yang terusir dari kejuaraan dunia All England Open 2021, di Birmingham, Inggris. Padahal seluruh atlet telah menjalani test swab PCR sesaat sebelum berangkat ke London. Penyebabnya, kontingen Indonesia bersama satu pesawat dengan penumpang yang positif CoViD-19. Berdasar peraturan Otoritas Kesehatan Inggris, harus dikarantina selama 14 hari. menyebabkan tidak bisa bertanding.

Banyak pula hasil test Rapid antigen, dan swab PCR menunjukkan hasil berbeda pada tempat (lembaga) yang berbeda, hanya berselang satu hari. Berbagai penyebab perbedaan selalu diajukan sebagai reasoning. Termasuk paradigma masa inkubasi virus yang belum terdeteksi. Namun ke-tidakpasti-an masih ditolerir sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona. Sehingga uji swab PCR masih dikukuhkan sebagai skrening CoViD-19 paling diunggulkan. Seluruh alat skrening wajib “ditimbang” kecocokan dengan metode swab PCR.

Bahan testing CoViD-19 dalam negeri, GeNose, pada proses produksinya juga “ditimbang” kecocokan dengan metode swab PCR. Hasilnya, terdapat ke-cocok-an dengan hasil swab PCR, sama 100%! Setelah melalui serangkaian ujicoba panjang, seluruh alat skrening CoViD-19 buatan dalam negeri telah memperoleh izin edar Kementerian Kesehatan. Diperkirakan GeNose akan menjadi yang paling populer, karena lebih cepat, tidak mengerikan, dan murah.

Hasil skrening CoViD-19 sangat strategis, karena menjadi persyaratan setiap perjalanan jarak jauh. Di setiap simpul moda transportasi angkutan umum disediakan lokasi khusus skrening. Tarif mahal skrening niscaya menyebabkan biaya tinggi yang harus ditanggung masyarakat. Seolah-olah bagai “aji mumpung” yang memanfaatkan (secara tidak bijak) situasi pandemi. Tak jarang lebih mahal dibanding ongkos transportasi. Mahal, konon disebabkan harus didatangkan dari luar negeri (impor).

Berdasar catatan BPS (Badan Pusat Statistik) nilai impor alat dan bahan PCR (Polymerase Chain Reaction) selama Januari-Juni 2021, mencapai US$ 362,02 juta. Setara Rp 5,150 trilyun (dengan kurs rata-rata sebesar R 14.200, per-US$). Nilai impor selama semester I tahun (2021) ini melonjak lebih dari 100% dibanding tahun lalu. Karena pemerintah menggencarkan testing, dan tracing. Alat dan bahan PCR dipasok terutama dari Korea Selatan. Juga RRT, Amerika Serikat, Jerman, Singapura, dan beberapa negara lain.

Selain PCR, Indonesia juga mengimpor Rapid test. Sepanjang Januari-Juni 2021, nilainya mencapai US$ 81,21 juta (setara Rp 1,153 trilyun). Menurun 25,76% dibanding periode yang sama tahun 2020 (senilai US$ 109,39 juta). Selain itu juga mengimpor virus transfer media, senilai US$ 13,31 juta sudah (turun dibanding tahun lalu). Serta impor swab antigen senilai US$ 93,33 juta (turun dibanding tahun lalu). Sangat banyak yang diimpor, sehingga cukup merongrong anggaran negara.

Bisa jadi, impor sebagai cara darurat penanggulangan pandemi. Sekaligus memenuhi amanat konstitusi, UUD pasal 28H ayat (1). Walau sebenarnya beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah meng-inisiasi produksi alat uji CoViD-19. Antara lain, ITS (Institut Tegnologi Sepuluh November Surabaya), Universitas Gadjah Mada (UGM Yogya), dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Ada hasilnya. Namun bagai kelelap metode skrening impor.

——— 000 ———

Rate this article!
Tarif Skrening CoViD,5 / 5 ( 2votes )
Tags: