Tata Kelola Kota Surabaya Bertolak Belakang Semangat PrepCom III UN

Rere Walhi

Rere Walhi

(Penilaian Walhi Jatim )
Surabaya, Bhirawa
Meski menjadi tuan rumah ajang internasional tentang penyelesaian masalah perkotaan, Prepcom III UN , ternyata Surabaya masih dinilai belum mampu mengelola tata kotanya dengan lebih manusiawi dan bermartabat.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim menyebut beberapa fakta pengelolaan tata kota di Surabaya justru bertentangan dengan isu penting Prepcom III UN yang menyangkut tentang pembangunan kota yang berkelanjutan, kemiskinan, urbanisasi.
Direktur ED Walhi Jatim Rere Christanto, Selasa(26/7)  mengatakan, beberapa fakta kota Surabaya justru bertolak belakang dengan isu Prepcom UN yang sebelumnya  telah diselenggarakan di New York pada tahun 2014, dan di Nairobi pada tahun 2015.
“Jika dilihat secara sekilas, acara PrepCom3, sepertinya memberikan nafas baru dalam menuju tata kelola kota yang manusiawi dan lebih bermartabat. Namun jika melihat beberapa fakta yang terjadi belakangan ini di kota Surabaya, niat baik tata kelola kota yang lebih menusiawi tersebut sangatlah bertolak belakang,” papar Rere siaran pers yang diterima Bhirawa, kemarin.
Menurutnya, hal itu dapat terlihat jelas dengan semakin menyempitnya ruang kota, meningkatnya krisis sosial-ekologis, serta tiadanya akses dan hak warga untuk terlibat sebagai subjek aktif dalam perencanaan dan tata kelola kota.
“Dalam persoalan penyempitan ruang, salah satunya, dapat terlihat pada pola penguasaan lahan kota yang terus berpindah tangan kepada pengusaha properti. Pola yang demikian bahkan terus mendominasi dan merampas beberapa aset milik publik yang selanjutnya memicu konflik sosial dan perlawanan dari warga,” urainya.
Salah satu di antaranya adalah perampasan dan alih fungsi beberapa waduk milik desa menjadi kawasan-kawasan elit dalam berbagai bentuk jenis bidang akumulasi  seperti perumahan, mall, pusat bisnis.
Rere menyebut dua pengembang besar yang terus menguasai lahan wilayah kota. Yang satu menguasai 5.325 hektare lahan di wilayah perkotaan. Pengembang besar satunya dengan grupnya menguasai sekitar 330 hektare untuk pengembangan perumahan di Surabaya Barat.
“Penguasaan ruang di Surabaya ini, dalam praktiknya, bukan hanya dilakukan dengan cara-cara manipulatif, namun juga kerap menggunakan kekerasan,” ungkapnya.
Dia menjadikan kasus Waduk Sepat versus Pemerintah Kota dengan salah satu pengembang “raksasa” sebagai contoh. Belum lagi contoh kasus lain yang dipaparkan.
Kasus Waduk Sakti Sepat berawal dari Surat Keputusan Wali Kota Surabaya No. 188.45/366/436.1.2/2008 yang melepaskan tanah tersebut kepada PT Ciputra Surya, Tbk sebagai bagian dari obyek tukar guling antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Ciputra Surya, Tbk berdasarkan Perjanjian Bersama Nomor 593/2423/436.3.2/2009 dan Nomor 031/SY/sm/LAND-CPS/VI-09, tertanggal 4 Juni 2009.
Tukar guling ini sendiri merupakan bagian dari pembangunan Surabaya Sport Centre (SSC) di Pakal. Dalam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikeluarkan pasca tukar guling tersebut, wilayah Waduk Sepat dinyatakan sebagai “tanah pekarangan”, padahal hingga kini, kawasan tersebut masih berfungsi sebagai waduk.
Protes warga terhadap alih fungsi Waduk Sepat, beberapa kali harus berakhir dengan bentrokan yang mengakibatkan korban luka pada pihak warga. Pada 4 Juli 2011, warga yang melakukan penolakan terhadap pemagaran wilayah Waduk Sepat harus menghadapi ancaman kriminalisasi, meskipun kemudian dihentikan setelah ada mediasi dari Komnas HAM.
Pada tanggal 14 Agustus 2015, pengosongan paksa dan pemagaran yang dilakukan oleh pihak pengembang dibantu kepolisian terhadap lahan tersebut mengakibatkan beberapa warga mengalami luka dan terdapat barang-barang warga yang dirusak selama proses tersebut. Akibat pemagaran yang dilakukan, aset warga seperti musholla yang terletak didalam kawasan tersebut juga menjadi tidak bisa lagi diakses.
Kasus lain yang mengemuka di kota Surabaya adalah penambangan pasir di Selat Madura. Penolakan penambangan pasir oleh warga dimulai pada tahun 2006, pada saat itu PT Gora Gahana merupakan pelaksana kegiatan penambangan pasir di Nambangan Tambak Wedi Surabaya.
Penambangan pasir tersebut di gunakan untuk memenuhi kebutuhan material reklamasi di teluk Lamong yang dilakukan oleh PT Pelindo III untuk menopang rencana waterfront city sesuai dengan RPJMD Kota Surabaya.
“Dampak dari penambangan pasir di Nambangan tersebut mulai dirasa oleh warga Nambangan yang kebanyakan adalah seorang nelayan. Dampak pertama yang mereka rasakan adalah kerusakan wilayah tangkap ikan mereka yang dikenal dengan petorosan dan kegiatan perekonomian warga Nambangan juga terganggu,” sebutnya.
Dampak lain yang diakibatkan dari aktivitas penambangan nelayan adalah bahaya abrasi yang sangat mengancam kehidupan sosial warga setempat. Pada kenyataanya memang sudah rumah-rumah warga yang roboh setiap tahun akibat abrasi air laut yang disebabkan pengerukan pasir di Nambangan sendiri.
Selain dampak tersebut banyak sekali kejanggalan administrasi atau perizinan yang juga menjadikan pemicu bagi warga melakukan gerakan penolakan penambangan tersebut.
“Fakta di atas, bahwa penyempitan ruang kota sangat dipengaruhi oleh perampasan ruang yang dilakukan oleh beberapa perusahaan properti dan pertambangan serta rendahnya keinginan pemerintah kota dalam mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan ruang secara kritis,” tegasnya.
Walhi Jatim, kata Rere, menyebut ada lima persoalan utama dalam mewujudkan kota yang manusiawi dan berkelanjutan. Di antaranya, penyempitan ruang yang disebabkan oleh perampasan ruang, kemiskinan struktural, krisis sosial-ekologis perkotaan, krisis sosial-ekologis sabuk penyangga dan pedesaan, dan tiadanya hak dan akses warga perkotaan dalam menentukan arah pembangunan dan tata kelola sebagai subjek aktif.
“Jika PrepCom3 & Habitat III Conference yang diselenggarakan dengan semarak ini tidak menjawab lima  poin di atas, maka persoalan perkotaan, dan cita-cita pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan akan menjadi delusi,” pungkasnya. (geh)

Tags: