
Dr Lia Istifhama, MEI
Dr Lia Istifhama, M.E.I.
Wakil Sekretaris MUI Jatim
Aisyah namanya, istri Rasulullah SAW yang merupakan putri dari Abu Bakar As-Shiddiq. Kesalehan karakternya menjadikan Sayyidah ‘Aisyah (r.ha) disebut ummul mukminin (ibunya orang-orang beriman) dan shiddiqa (perempuan yang jujur atau selaras antara yang dikatakan dan dikerjakan).
Ibnu Katsir, ahli Tafsir Al-Qur’an terkemuka, menggambarkan sosok Sayyidah Aisyah r.ha sebagai perempuan yang luar biasa. Ibnu Katsir mengatakan bahwa di negara mana pun (pada saat itu) tidak ada perempuan sehebat Aisyah dalam hal ingatan, pengetahuan, kefasihan berbicara, dan kecerdasan. “Beliau (Aisyah) melampaui semua perempuan dalam pengetahuan dan kebijaksanaan: beliau ahli dalam memahami fikih (hukum Islam), menghafal puisi, dan semua ilmu syariah (hukum Islam).”
Sementara Az-Dzahabi mengatakan, “Aisyah adalah perempuan yang paling jenius di antara perempuan pada masa itu. Tidak ada perempuan yang setara dengannya.” Kecerdasan sayyidah Aisyah dibuktikan dengan kemampuannya meriwayatkan 2210 hadis selama mendampingi Rasulullah SAW. Secara keseluruhan, Aisyah menempati posisi keempat sebagai perawi hadis terbanyak, setelah Abu Hurairah (5374 hadis), Ibnu Umar (2630 hadis), dan Anas bin Malik (2286 hadis).
Kecerdasannya yang luar biasa dan hafalannya yang kuat membuat ‘Aisyah menjadi rujukan-rujukan para sahabat. Salah satu sahabat terkenal bernama Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa “Setiap kali ia dan para sahabat lain mendapati kesulitan dalam memahami hadis, mereka akan menemui Aisyah, dan Aisyah selalu paham akan hadis yang dimaksud.”
Di antara hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah adalah tentang keistiqomahan dalam melakukan amalan baik. Dari ‘Aisyah r.ha. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tetaplah pada jalan kebenaran dan bersahajalah. Dan ketahuilah bahwa pekerjaan seseorang di antara kamu tidak dapat menjadikan ia masuk surga. Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan yang paling disukai Allah adalah pekerjaan yang tetap terus berlangsung meskipun hanya sedikit.
Sayyidah ‘Aisyah juga dijelaskan memiliki sifat zuhud, yaitu tidak menjadikan harta adalah alasan untuk bergembira maupun menderita. Imam Junaidi berkata, zuhud adalah menganggap kecil dunia dan menghapus pengaruhnya di hati. Kemudian, Imam Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkan seseorang dari Allah.
Dirawikan oleh Hisyam bin ‘Urwah, bahwa Mu’awiyah suatu ketika memberikan ‘Aisyah seratus ribu dirham. Uang sebanyak itu pada hari yang sama dibagikan oleh ‘Aisyah pada banyak orang. Kisah tersebut menjadi inspirasi bahwa harta adalah titipan yang sejatinya dapat didayagunakan untuk mencari keberkahan.
Kehidupan Sayyidah ‘Aisyah identik dengan kisah cintanya sebagai istri tercinta Rasulullah SAW setelah wafatnya Sayyidah Khadijah, yaitu sekitar 5 tahun (tiga tahun sebelum kepergian rasul ke Madinah dan dua tahun setelah Rasulullah tinggal di Madinah). ‘Aisyah yang mendapatkan panggilan kesayangan Khumaira (pipi yang kemerah-merahan), menyajikan teladan indah kisah cinta sesama manusia.
Dalam hadis nomor 3706 kitab shahih Bukhari, dijelaskan: “Dari ‘Aisyah r.a., sesungguhnya nabi Saw bersabda kepadanya: “Aku melihat dirimu dalam mimpi dua kali, yaitu aku melihat (rupa)mu di sehelai sutera, dan seseorang berkata: “Inilah istrimu, maka bukalah (wajah)nya”. Ternyata dia adalah dirimu, maka aku berkata: “Jika ini adalah (pemberian) dari sisi Allah, maka Dia akan melaksanakannya”.
Sedangkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Keutamaan ‘Aisyah atas beberapa wanita adalah seperti keutamaan kuah roti atas makanan yang lain”. Istri yang berada di samping Rasulullah SAW diakhir hayat Rasulullah, kemudian wafat tepat pada pada 16 Ramadlan 58 H setelah melaksanakan shalat witir di kota suci Madinah. Sama halnya dengan Sayyidah Aisyah, Sayyidah Khadijah juga wafat pada bulan suci, tepatnya 11 Ramadan tahun kesepuluh setelah kenabian. [*]