Tawaran Multikulturalisme dalam Ragam Keberagamaan

Studi Islam KontemporerJudul Buku  : Studi Islam Komtemporer
Penulis    : Prof. Dr. Syamsul Arifin
Penerbit    : Intrans Publisihing, Malang
Cetakan    : I, Maret 2015
Tebal    : 344 Halaman
Harga    : Rp 46, 500/-
Peresensi    : Ahmad Fatoni*

Ada banyak hal yang membuat praktik keberagamaan menyimpang kian jauh dari ideal normatif agama. Antara lain, adanya klaim kebenaran (truth claim) atas tafsir agama oleh kelompok keberagamaan tertentu yang berujung pada radikalisasi agama. Atas dasar klaim tersebut, kelompok agama lain diposisikan sebagai sesat dan ancaman bagi eksistensi agama bersangkutan.
Petakanya, klaim tersebut dibarengi oleh tindakan-tindakan anarkis mulai dari yang paling sepele hingga yang paling berat seperti perusakan fasilitas umum, pembakaran tempat-tempat ibadah hingga pembunuhan jamaah dari agama lain dengan cara-cara biadab (hlm.vii). Pembakaran masjid oleh kelompok Gereja Injil Di Indonesia (GIDI) saat kaum muslim melaksanakan shalat Idul Fitri di Tolikara, Papua, adalah contoh mutakhir tentang kekerasan agama yang kini beritanya menghebohkan jagad nusantara.
Kasus Tolikara membuktikan bahwa agama terkadang justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran umat manusia. Melalui buku ini Syamsul Arifin mengajak kita merefleksi keberagamaan kita. Benarkah ada yang salah dalam keberagamaan kita? Lalu apa saja yang mesti kita lakukan untuk merefleksikan keberagamaan kita?
Buku Studi Islam Kontemporer berusaha mengungkap secara konseptual, teori-teori sosiologis tentang agama, kiat melakukan kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, dan konsep kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Guru besar sosiologi agama ini juga mencoba menjelaskan bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain, tanpa ada benturan.
Secara jernih penulis juga mengulas banyak hal yang masih menjadi pertanyaan besar sekaligus pekerjaan rumah internal umat Islam, dari soal penafsiran atas teks-teks agama, keadaan sosial-ekonomi umat, kompleksitas toleransi antarumat beragama hingga harapan menuju pendidikan multikulturalisme.
Diakui atau tidak, umat Islam dengan institusi keagamaan dan pendidikannya seakan berjalan di tempat; tidak ada kemajuan yang berarti kecuali perubahan-perubahan pragmatik yang tidak berdampak signifikan (hlm.150) Agama kian kehilangan misinya sebagai jalan menuju rahmatan lil ‘alamin. Alih-alih mencerahkan, agama membuat umat semakin angkuh dan keras kepala.
Syamsul mengisyaratkan, kekerasan yang beraroma agama sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, tapi lebih disebabkan human error, yakni sikap sebagian pemeluknya yang acap memaknai ajaran teologis-normatif secara serampangan (hlm.10) Bisa juga karena kepentingan-politik atau ekonomi-yang terlalu berlebihan sehingga mengalahkan kepentingan agama (hlm.6). Atau juga akibat kesalahan sistem negara yang menganggap politik sebagai cara paling ampuh untuk meredam gejolak masyarakat, termasuk dalam urusan agama (hlm.14)
Dalam konteks keindonesiaan, jika variabel human error lebih dominan mewarnai konflik sosial keagamaan, maka merajut kehidupan harmoni di negeri ini sama sulitnya dengan menegakkan benang basah. Karena itu butuh kecermatan semua pihak demi menguak akar konflik, mengenali pola konflik yang terjadi, hingga mencari alternatif solusi.
Lewat kajian akademis, buku ini mendedah berbagai peristiwa konflik sosial-agama, sekaligus menawarkan gagasan produktif agar umat beragama mampu keluar dari himpitan gerakan radikalisme yang lahir dari rahim globalisme yang sarat dengan ketidakadilan, kejumudan berpikir hingga politisasi agama.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang ini menegaskan, konflik yang mengatasnamakan agama tidak terjadi dalam ruang kosong dan terpisah dari beberapa unsur sosio-politik yang mengitarinya. Guna mencermati berbagai konflik yang ada tidak cukup hanya melihat aktor, lokasi, dan massa yang terlibat, namun perlu dipertimbangkan pula faktor sosiologisnya (hlm.5).
Untuk itu, penelitian agama dalam bingkai sosiologi sangat dibutuhkan dalam realitas masyarakat heterogen seperti Indonesia. Sebab, pendekatan sosiologi agama mencoba mendekati agama dari aspek-aspek partikularitasnya seperti simbol agama, tradisi, dan keyakinan. Melalui perspektif sosiologi agama penulis ingin menyadarkan masyarakat tentang fakta multikultural yang meniscayakan pendekatan multikulturalisme (hlm.11-13).
Sebagai bagian dari sosiologi agama, multikulturalisme merupakan pandangan saling menghargai perbedaan dan bukan sebatas toleransi. Dalam konteks itulah karya ini ingin memfasilitasi ruang yang cukup memadai guna mendialogkan perbedaan melalui tawaran multikulturalisme sebagai bagian solusi bagi kehidupan keberagamaan yang damai dan menyejukkan.

                                                                                           ————————– *** ————————–

Tags: