Tawarkan Gerakan Literasi Informasi Publik

Edy Saputra

Edy Saputra
Seleksi calon anggota Komisi Informasi (KI) Jawa Timur periode 2018/2022 yang saat ini tengah berlangsung menghadirkan sejumlah nama dari kalangan aktifis dan jurnalis. Salah satunya ada nama mantan aktifis mahasiswa dan jurnalis senior Edy Saputra.
Lantas apa yang mendasari jurnalis yang kini produktif menulis buku bertema sosial, politik dan jurnalisme itu untuk berbelok arah? “Sebenarnya ini bukan berbelok arah , cuma berusaha bergeser kamar aja,” ujar jurnalis yang murah senyum ini seperti membuat perumpamaan saat ditemui Bhirawa di Surabaya baru-baru ini.
Apa maksudnya? Menurut penulis buku “Memotret Negeri, Mendaras Ulang Jurnalisme Makna (intrans Malang,2017) tersebut bahwa apa yang belasan tahun dilakukan baik sebagai jurnalis maupun redaktur nyaris sama dengan apa yang menjadi atensi pokok dari lembaga seperti Komisi Informasi yakni sama-sama menempatkan hak publik untuk tahu sebagai fatsun utamanya.
“Bedanya pers dengan jurnalisme nya saya ibaratkan ada di beranda depan rumah demokrasi yang cakupan perspektif informasinya lebih luas dan beragam, sedangkan Komisi Informasi seperti kamar depan atau tengah yang secara lebih spesifik bicara soal tatalaksana tentang informasi yang berhubungan dengan Badan Publik seoerti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” papar mantan jurnalis Harian Bhirawa tersebut.
Lantas apa yang menjadi visi dirinya saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Komisi Informasi Jawa Timur?
“Mungkin kalau dalam bahasanya teman teman aktifis kita ingin kembali membumikan peran KI terutama di kalangan warga Jatim. Meski peran KI di Jatim sudah cukup bagus, namun harus lebih dioptimalkan lagi. KI harus benar-benar dikenal publik dan fungsional,” ujar pria yang sempat menjadi panelis debat pilkada tersebut.
Lebih jauh lelaki yang tinggal di Kota Proklamtor Blitar dan dibesarkan di organisasi kemahasiswaan HMI ini menjelaskan pembumian identitas dan fungsi KI selain bagi publik dalam arti luas, KI harus menjadi lembaga yang kuat dan penting terutama bagi pemerintah.
Sebagai produk reformasi KI bersama institusi non struktural lain setara dan sama urgennya kata Edy seperti misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Bedanya KPK tampak seperti lebih banyak di lini hilir terutama dalam penindakan korupsi sedangkan KI lebih banyak di hulu mengedukasi dan mengadvokasi publik tentang perlunya transparansi dalam pengelolaan Badan Publik atau birokrasi di Eksekutif, Legislatif atau Yudikatif dan badan publik lain seperti diatur UU,” tegas dia lagi.
Penguatan peran KI lanjut dia bisa dilakukan dengan membangun sinergi strategis dengan lembaga sejenis dan mitra strategis lain. Mulai KPK, Ombudsman hingga media massa. KI juga lanjut dia perlu menjalin relasi dengan misalnya Bakohumas, Perhumas, kalangan kampus dan komunitas masyarakat.
Edy selain di Bhirawa pernah berjibaku di Harian Surya, Pelita dan Harian Media Indonesia itu menyebut pembumian peran KI itu dilakukan dengan program Literasi Informasi Publik yang dilakukan secara terukur, sistimatis dan masif.
“Intinya dengan KI kita ingin bersama-sama mengulik demokrasi dalam hal ini transparansi di lini hulu. Bukankah korupsi dan prilaku koruptif itu hanya tumbuh dan subur di ruang gelap yang jauh dari keterbukaan informasi publik?” pungkas Edy dengan nada retoris. [why]

Tags: