Tekan Biaya Mahal Pemilu dengan e-Voting dan Kertas Suara 20 Persen

Dialog Kebangsaan “Katakan Tidak Pada Biaya Pemilu dan Pilkada, Mahal” Di Jakarta, Kamis (23/6/22).

Jakarta, Bhirawa.
Anggota DPD RI Drs Tamsil Linrung mengatakan, demokrasi Indonesia, dalam perjalanan kesini, semakin terasa jauh dari esensi. Oleh sebab itu, untuk apa biaya Pemilu yang semakin besar ini?. Sementara kita semua semakin jauh dari esensi.

Demikian ungkap Senator asal Sulselt Tamsil Linrung dalam dialog Kebangsaan dengan tema “Katakan Tidak Pada Biaya Pemilu dan Pilkada, Mahal”, Kamis (23/6/22). Nara sumber lainnya adalah Dr Ahmad Farhan Hamid dan Prof Dr Mas Roro Lilik Ekowati dan Titi Anggraeni dari Perludem.

Tamsil Linrung lebih jauh mengutarakan;  Anggaran untuk Pemilu 2024 mencapai Rp110,4 triliun. Jauh lebih mahal dan berlipat dibanding biaya Pemilu tahun tahun seblumnya Sementara masih diragukan bisa mewujudkan hasil yang maksimal. Sebab, bagaimana mungkin bisa menghasilkan yang maksimal, sementara sistem yang kita miliki sekarang terlihat jauh dari kemungkinan itu.

Dia melihat, dari 9 Parpol (Partai Politik)yang ada, sebanyak 7 Parpol menyatu berkoalisi mendukung Istana. Hanya 2 Parpol yakni PKS dan Demokrat yang menjadi penyeimbang atau oposisi. Kedua Parpol oposisi itu kalaupun ber koalisi tidak bisa mengusung Capres karena tidak memiliki minimal 20% Kursi untuk memenuhi Presidential Threshold 20% dan suara sah nasional 25%.

“Ini suatu persoalan yng secara transparent bisa dilihat, bahwa biaya Pemilu yang begitu besar. Tetapi disisi lain tidak akan mungkin bisa melahirkan figur yng berkualitas, seperti yang diharapkan,” ucap Tamsil Linrung.  

Dr Ahmad Farhan Hamid berpendapat; Biaya Pemilu mahal bisa ditekan menjadi lebih murah dengan jalan E-voting. Bahkan di Eropa, biaya Pemilu yang mahal bisa ditekan dengan cara balik ke manual.    

“E-voting itu otomatis akan mengurangi biaya pada pencetakan kertas suara. E-voting tinggal menempelkan jari ke Hp saja. Mungkin agak utopis, terlalu cepat, sementara sebagian besar masyarakat belum siap. Saya kira masih ada sekitar 20% masyarakat yng masih memerlukan kertas suara. Selebihnya tidak perlu lagi. Jadi tinggal negosiasi dengan para ahli ITE, dengan pembuat UU, agar dibuatkan 2 sistem pemberian suara. Yakni melalui E-voting dan lewat kertas suara,” jelas Ahmad Farhan. (ira.hel).

Tags: