Tekan Pernikahan Dini pada Anak

Foto Ilustrasi

Kasus pernikahan dini pada anak masih marak terjadi hingga sekarang. Bahkan, kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia, mencuat hingga ke media-media, sehingga seringkali menjadi pusat perhatian dan perbincangan banyak orang. Seperti halnya yang saat ini santer menjadi perhatian adalah kasus diberikannya dispensasi menikah dini atau kawin anak di Ponorogo, Jawa Timur. Adapun permintaan dispensasi ini dilakukan oleh anak-anak remaja. Kebanyakan terjadi akibat hamil di luar nikah.

Sontak saja, realitas tersebut kini mengundang perhatian, sorotan dan keprihatinan kolektif publik. Merujuk data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), angka pernikahan dini di Indonesia adalah 20 : 1.000. Artinya, dalam 1000 orang, terdapat 20 kasus pernikahan dini dan sepanjang tahun 2022, ada 198 pemohon pengajuan dispensasi kawin anak. Tingginya kasus tingginya angka pengajuan dispensasi dan pernikahan dini tersebut, tentu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak, termasuk orangtua, sekolah, tenaga pendidik, dan lainnya.

Banyak kalangan, bahkan negara, tidak menganjurkan pernikahan dini karena sejumlah dampak yang berisiko bisa terjadi. Di satu sisi, perkawinan anak berpotensi mampu merusak masa depan anak itu sendiri dan akan menggerus cita-cita bangsa untuk menciptakan sumber daya manusia unggul dan memiliki daya saing. Singkat kata atau apapun dalihnya yang jelas secara logika perkawinan anak memiliki dampak negatif yang sangat banyak. Salah satunya, perkawinan memicu tingginya angka putus sekolah dan dari sisi kesehatan rentan terjadinya kematian ibu melahirkan, anemia, ketidaksiapan mental dan juga terjadinya malnutrisi.

Selain itu, pernikahan dini berpotensi membuat tingkat kemiskinan ekstrim akan berlanjut. Belum lagi, ketidaksiapan fisik dan mental merentankan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Karena itu, perkawinan anak perlu terus ditekan. Selain melanggar hak anak, pernikahan dini juga melanggar hak asasi manusia. Berangkat dari kenyataan itulah, maka kini saatnya semua pihak, kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, orangtua, pendidik dan tenaga pendidikan, tenaga kesehatan, media, dan semua masyarakat bahu-membahu terus melakukan upaya pencegahan pada pernikahan dini pada anak.

Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Malang.

Rate this article!
Tags: