Teknologi, Demokrasi, dan Inovasi Pemerintah

Oleh :
Arie Hendrawan
Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Undip), Aktivis Open Government

Di era abad ke-21 seperti sekarang, pola komunikasi masyarakat telah mengalami perubahan drastis berkat perkembangan teknologi. Masyarakat sedang berada pada titik konvergensi antara industri 4.0 dan society 5.0. Beberapa terminologi seperti IoT (Internet of Things), Big Data, dan Artificial Intellegence sudah tidak terlalu asing lagi terdengar di telinga kita. Semua itu mendorong proses revolusi yang berpengaruh kepada banyak sendi kehidupan. Tidak terkecuali bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, secara khusus demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Dalam pengertian yang paling ideal, demokrasi adalah “Pemerintahan oleh Rakyat”, tetapi dewasa ini masyarakat telah berkembang menjadi sangat kompleks. Menurut F. Budi Hardiman (2009), Polis Yunani Kuno tempat hidup Aristoteles atau Kanton Swiss yang menjadi inspirasi Rousseau dalam paham demokrasinya, bukanlah masyarakat dengan populasi “gigantis” seperti negara-negara dengan berbagai metropolis pada zaman globalisasi sekarang. Pertanyaan kritis yang kemudian muncul, bagaimana pemikiran demokrasi dalam arti ideal dapat diaktualisasikan di masa kini?
Dalam upaya mewujudkan himbauan dari teori demokrasi klasik, Jurgen Habermas mempopulerkan konsep demokrasi deliberatif yang diperkenalkan oleh J.M. Bessette (1980). Habermas mangajukan gagasan demokrasi deliberatif dengan proses dialogis (diskursus) pada ruang publik untuk menghasilkan keputusan yang “legitimate”. Jadi, setiap pengambilan keputusan pemerintah harus melibatkan partisipasi dari warga sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, agar keputusan semakin absah dan dapat mendekati cita-cita serta harapan yang diinginkan oleh masyarakat.
Namun, konsep demokrasi deliberatif Habermas mengundang beberapa komentar karena dianggap masih terlalu utopis. Salah satunya datang dari Jurg Steiner (2012), yang mempertanyakan, berapa banyak warga yang perlu terlibat secara ideal? Di sini Habermas berpandangan radikal dengan mengungkapkan, bahwa tiap warga harus berpartisipasi. Tentu hal tersebut tampak tidak realistis. Maka, Profesor Stanford University, James S. Fishkin, aktif mempromosikan proposal poling deliberatif (deliberative polling) melalui pemanfaatan teknologi internet.
Inovasi Pemerintah
Tidak hanya berdampak bagi demokrasi, akselerasi teknologi juga berdampak pada inovasi tata kelola pemerintahan. Saat ini, pemerintahan terbuka (open governement) tengah mendapatkan atensi luas sebagai bidang riset baru. Pemerintahan terbuka di sini tidak hanya sekadar membuka data publik melalui platform digital, tetapi juga mendorong partisipasi dan kolaborasi masyarakat. Wirtz dan Birkmeyer (2015) menempatkan teknologi sebagai komponen penting yang mempengaruhi open government, sebab mendukung transparansi, partisipasi, dan kolaborasi.
Di Indonesia, gerakan open government semakin bertumbuh sejak Indonesia menjadi perintis sekaligus anggota dari inisiatif global Open Government Partnership (OGP) pada tahun 2011 dengan beberapa negara lain. Satu tahun kemudian, pemerintah Indonesia meluncurkan Open Government Indonesia (OGI). Selanjutnya -setiap dua tahun sekali- pemerintah bersama masyarakat sipil menyusun komitmen Rencana Aksi (Renaksi) pemerintahan terbuka dengan prinsip “co-creation” (penciptaan bersama). Dalam perjalanannya, kini Renaksi juga dibuat oleh sejumlah pemerintah daerah.
Ada dua program unggulan pemerintah terkait pelaksanaan open government yang memanfaatkan teknologi. Pertama, LAPOR! yang merupakan aplikasi berbasis media sosial untuk menerima aspirasi dan pengaduan rakyat secara daring. Saat ini, LAPOR! telah terkoneksi dengan 107 kementerian/lembaga, 565 Pemda, 119 BUMN, dan 1905 instansi lainnya. LAPOR! sendiri dikelola oleh tiga lembaga, yaitu Kemenpan-RB, KSP, dan Ombudsman RI. Demi meningkatkan fungsi sebagai sarana deliberasi kebijakan, pada 7 Feburari 2019, pemerintah juga telah me-launching LAPOR! versi 3.0.
Kedua, portal Satu Data Indonesia (data.go.id) yang merupakan portal resmi data terbuka Indonesia berisi data lintas kementerian/lembaga pemerintah, Pemda, dan semua instansi lain yang menghasilkan data terkait Indonesia. Data yang disediakan oleh Portal Satu Data Indonesia berformat terbuka, sehingga mudah diolah kembali untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam mengawal pembangunan. Sekarang, kebijakan tata kelola data sudah semakin kuat berkat ditandatanganinya Perpres 39/2019 pada 27 Juni 2019 yang lalu.
Proses Formulasi
Gagasan open government yang mendorong peran serta masyarakat koheren dengan demokrasi deliberatif. Dua ide tersebut, ditambah instrumen teknologi juga berpotensi mendekatkan kembali cita-cita demokrasi klasik yang mewadahi deliberasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pada sisi yang lain, demokrasi deliberatif ikut menyediakan “arah” bagi transformasi pemerintahan yang lebih partisipatif. Jadi, open government tidak terjebak pada peningkatan kualitas pelayanan publik semata, tetapi juga mendukung partisipasi masyarakat secara bermakna.
Di banyak negara lain, formulasi antara teknologi, demokrasi, dan open government telah menghasilkan berbagai terobosan cemerlang. Pertama, crowfunding (urun dana) digital sebagai alternatif pembiayaan infrastruktur. Di Indonesia, potensi tersebut juga sangat terbuka untuk dikelola oleh pemerintah, mengingat kini mulai ada pergeseran populasi dominan dari “Gen X” ke “Gen Y” sebagai pengambil keputusan utama yang lebih melek teknologi. Di samping itu, beberapa portal crowfunding sosial partikelir dalam negeri saat ini sudah cukup populer di kalangan masyarakat.
Kedua, poling deliberatif melalui random sampling untuk mendiskusikan setiap isu terkait kebijakan publik. Fitur semacam itu sebenarnya juga telah ada dalam aplikasi LAPOR!, tetapi kebijakan publik yang terakomodasi masih sangat terbatas, contohnya mengenai BPJS dan rencana penerapan Kurikulum 2013. Ke depan, pemerintah harus lebih mengoptimalkan lagi agar input kebijakan publik tidak hanya dimonopoli oleh pertimbangan dari epistemic community (tim ahli/jaringan pakar), melainkan juga memperhatikan aspirasi masyarakat yang heterogen.
Terakhir, sejatinya teknologi tetaplah sebuah alat, semua ide di atas tergantung ada- tidaknya political will pemerintah sebagai eksekutor kebijakan. Tanpa kemauan politik dari pemerintah, mustahil berbagai gagasan ideal tersebut bisa terwujud. Namun, juga penting untuk dicatat, bahwa sebaik apapun program yang disusun oleh pemerintah, jika masyarakat apatis, maka program juga tidak akan dapat berjalan. Jadi, kemauan politik pemerintah dan peran serta aktif masyarakat menjadi kunci bagi formulasi teknologi, demokrasi, dan open government. Kita nantikan bersama.

——– *** ———-

Tags: