Teladan Moralitas Nabi SAW

teladan-moralitas-nabi-sawRiuh kerukunan kebangsaan, akan menjadi tema peringatan Mauludan, hari lahir Nabi Muhammad SAW. Negara (dan pemerintah RI) secara resmi juga memperingati hari besar keagamaan ini. Penyelenggaraan Maulid Nabi, pada intinya, meneladani kisah hidup (moralitas) dan misi ke-Nabi-an. Keagungan akhlaq (moral) Nabi Muhamma SAW dikisahkan sebagai biografi oleh berbagai ahli dari berbagai bangsa, Arab hingga Eropa, yang muslim maupun non-muslim.
Banyak penulis mencuplik kisah hidup (keseharian dalam rumahtangga) Kanjeng Nabi SAW, maupun sebagai pemimpin. Salahsatunya ditulis Michel G. Hart, yang menempatkan beliau SAW sebagai tokoh nomor satu paling berpengaruh di dunia, di atas Nabi Isa a.s., dan Isac Newton (penemu fisika grafitasi). Buku ini laris, menjadi best seller selama satu dekade. Di Indonesia, diterjemahkan oleh mantan Ketua Umum PWI Pusat, alm. H. Mahbub Djunaedi dengan judul “Seratus Tokoh,” akhir dekade 1970-an).
Yang berbahasa Arab, ditulis oleh ulama-ulama sejak zaman awal (abad ke-9 masehi), serta penghimpunan sejarah hidup beliau pasca perang salib. Diantaranya yang paling masyhur adalah kitab yang ditulis oleh imam besar Syekh Abdurrahman ad-Diba’i. Kitab (buku-bukunya) sangat masyhur karena sastranya indah, terutama yang memuat biografi berjudul “Maulid-Diba’iyah.” Pada pasal 14 diktum ke-9 disebutkan: “Rasulullah SAW lahir dalam posisi sujud dan berucap hamdalah.”
Dalam berbagai hadits ditulis keseharian beliau sebagai kepala rumahtangga. Dengan sanad berasal dari istrinya sayyidah Aisyah r.a., dikatakan, “Rasulullah biasa membantu cuci pakaian, perah susu kambing, membersihkan lantai, juga makan bersama pembantu dengan menu yang sama.” Pada saat paceklik, gulungan jubahnya diganjal lima biji batu, menandakan beliau tidak makan selama lima hari. Padahal beliau seorang pemimpin negara sekaligus Rasulullah!
Terhadap sesama manusia, Nabi SAW pernah balik pulang (sebelum tiba di masjid) demi membawa makanan untuk seorang pengemis tua yang buta dan lumpuh, yang biasa duduk di pinggiran jalan. Sejak itu, Muhammad SAW setiap hari menyuapi pengemis itu tanpa memperkenalkan diri, hingga Nabi SAW wafat. Begitu pula terhadap iring-iringan pengangkut jenazah penganut Yahudi, Nabi SAW memberi tabi’ (hormat) seraya membungkukkan badan.
Pada beberapa hadits shahih dikabarkan, bahwa tatkala Nabi SAW mangkat, beliau tidak meninggalkan harta warisan. Aset pribadinya berupa uang 80 dirham dan 2 kavling tanah yang sudah (wasiat) dihibahkan untuk negara. Tetapi tidak ada wasiat tentang suksesi, tidak menurunkan kekuasaannya kepada kerabat keluarganya.
Keteladanan Nabi SAW, dilanjutkan oleh para penggantinya. Khalifah (penguasa pengganti) yang pertama, sayyidina Abubakar r.a. Asalnya kaya-raya, namun wafat dalam keadaan miskin. Khalifah kedua, sayyidina Umar bin Khatthab r.a., wafat dalam keadaan berhutang yang dibayarkan oleh anak-anaknya. Begitu pula khalifah Ali bin Abi Thalib, wafat dengan meninggalkan dua potong jubah, tapi pedangnya masih digadaikan.
Agaknya, pada era demokrasi langsung di Indonesia masa kini, diperlukan pejabat publik yang siap miskin. Andai dalam setiap pilkada, ada yang berani berjanji siap miskin (diakhir kekuasaan), pasti akan dipilih oleh rakyat tanpa money politics. Namun, hampir seluruh kepala daerah, selalu jauh lebih kaya setelah purna tugas. Kekayaannya yang berlebihan sudah menjadi “neraka” dunia (mendekam di penjara). Serta menyengsarakan (menanggung aib) keluarga.
Dalam hadits sahih, Nabi Muhammad SAW menggaransi para pejabat publik seperti itu (bersedia miskin demi rakyat). Yakni di-setarakan dengan ibadah tiada henti selama 60 tahun. Pasti memperoleh kenikmatan hidup di dunia (tidak kebat-kebit dengan KPK maupun Kejaksaan), juga kebahagiaan di akhirat kelak. Garansi Nabi SAW, pasti benar.

                                                                                                        ————- 000 ————–

Rate this article!
Tags: