Teleportasi

Teleportasi

Setiap lihat anak kecil, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu. Saat mereka bermain layang-layang di areal persawahan itu, aku ingat bagaimana cara membuat taligoci, tali/benang yang mengikat pada layang-layang. Kemudian menggunting banyak kertas dari buku tulis yang sudah tidak terpakai, untuk membuat ekor yang panjang dan merekatkannya dengan lem upo, butir-butir nasi. Tak lupa memberi “Anting-anting” di sisi kiri atau kanan, atau kedua-duanya pada layang-layang agar sekiranya seimbang. Angin yang tinggal entah di mana itu bisa dipanggil kapan saja dengan cara bersiul. Entah pula siapa yang mengajarkannya, tahu-tahu semasa kecil aku sudah diberitahu seperti itu. Mungkin nabi Sulaiman ketika gerah dan ingin memanggil angin, atau mungkin para pelaut yang akan berlayar mengarungi samudera, entahlah. namun hal itu sangat berarti bagiku, bahkan sampai sekarang aku masih mempraktikkannya. Tidak ada mantra atau kata-kata apa pun, hanya dengan bersiul tiba-tiba saja angin itu perlahan-lahan datang dengan sendirinya, aneh pikirku. Meski saat kecil aku tidak pernah memikirkannya.
Dan seketika juga layang-layangku akan meninggi dibawanya terbang ke atas. Waktu itu, tingginya layang-layang merupakan prestasi tersendiri bagi anak-anak. Semakin tinggi layang-layang, maka tinggi pula rasa bangga di tengah “Arena pertandingan” layang-layang di areal persawahan kering itu. Aku melihat ketinggiannya dari bawah, betapa gagahnya layang-layangku bertengger di atas cakrawala sana layaknya seorang raja. Angin itu tiba-tiba membawaku kembali menuju perjalanan masa lalu yang jauh di belakang. Rasanya masa lalu datang menyapa untuk diajak bercengkerama barang sebentar dua-bentar.
“Nanti sehabis sekolah ke rumahku ya, sorenya manjer layangan bareng-bareng.” Kata-kata itu terngiang kembali. Kata-kataku tujuh belas tahun lalu, saat masih duduk di kelas lima sekolah dasar.
“Siap bos, aku akan bawa layang-layangku yang baru.” Kata Heri waktu itu.
“Habis makan siang ya, biar tidak dimarahi ibuku.” Alif menimpali.
Ah, betapa besar rasa syukurku kepada Tuhan yang telah menciptakan perasaan ini abadi. Bolehlah aku tumbuh besar dan semakin tua, tapi sebesar dan setua apa pun perasaan itu akan selalu sama dan hidup dalam sanubariku. Aku tidak begitu tahu apakah kulitku sekarang ini adalah kulit ketika aku masih merasakan sakitnya terkena gesekan benang layang-layang dulu atau tidak, tapi kelihatannya tidak. Karena ilmuan mengatakan setiap 39 hari sel kulit akan terganti dengan sendirinya. Namun apa pentingnya hal itu, kalau sampai sekarang pun aku masih sangat merasakan segalanya. Bermain layang-layang dan segalanya. Tak perlu aku mengulang masa itu dengan tangan yang sama jika dengan perasaan saja bisa menyentuhnya kembali.
Tak pernah hari-hari kusia-siakan untuk hal yang tidak aku senangi. Aku juga ingat ketika dulu bermain kelereng. Permainan yang mengasyikkan sekali untuk ditunaikan anak-anak kecil, bukan bermain handphone atau nge-game sambil teriak-teriak lazimnya anak-anak sekarang. Dengan membuat lingkaran yang akan diisi kelereng masing-masing anak. Siapa pun yang ikut bermain akan dikenakan syarat udu, modal, kelereng untuk dimasukkan ke dalamnya. Jika dari jarak tertentu dapat mementalkan kelereng dari dalam lingkaran itu, maka kelereng yang keluar bakal jadi hak milik. Tetapi, begitu gacu, kelereng yang kita buat nembak masuk ke dalam lingkaran dan tidak bisa keluar, maka sudah, gameover. Bagi yang ahli dan cekatan selalu dapat hasil yang besar dan membuatnya kaya, ya kaya kelereng. Apalagi kalau ada kelereng putih susu, aku dan teman-teman dulu menyebutnya, setin getuk, kelereng getuk, jadi rebutan dan incaran, karena kami anggap istimewa.
Keahlianku bermain kelereng cukuplah baik. Jarang sekali aku kalah dalam permainan kelereng, seringnya aku hanya membawa beberapa kelereng, nanti pulang-pulang bisa panen kelereng, karena menang banyak. Aku tidak lupa bagaimana caraku mengentel, menembak kelereng dengan keras dan cepat, setelah melihat temanku melakukan kentelan yang dahsyat, aku menirunya dan bisa. Saat itu ada beberapa orang yang ahli bermain kelereng, dan aku salah satunya. Wahyu, salah seorang teman dekatku cukup ahli bermain kelereng. Meski rumahnya ada di bagian loran, utara desa, tapi dia sering bermain dengan anak-anak kidulan, selatan. Dialah musuh terberat dalam hal bermain kelereng ini, kami sama-sama dapat hasil yang seimbang ketika permainan berakhir.
“Itu lihat, kepyar semua kan. Siapa dulu yang mengentel.” Kata Wahyu sangat pede dengan tembakannya yang titis.
“Jangan senang dulu, aku belum bermain lho.” Responku waktu itu.
“Ah, diam kalian. Aku mau mengentel nih.” Sela Roji sebelum ancang-ancang menembak sasaran.
“Ribut saja kalian. Minggir, giliranku ini.” Alif tak mau kalah.

***

Sungai bertumbuh dan menjalar di urat-urat tubuh desaku sehingga membuatnya lebih hidup. Menghidupkan sawah-sawah yang bernaung disekitarnya, menghidupkan nyanyi tawa anak-anak yang sedang bersenang-senang di sana. Aku dan teman-teman biasa menikmati ciblon dan bermain air di sungai-sungai itu sehabis sekolah. Ngelimpe atau mengelabuhi ibu kami agar sekiranya tidak ketahuan ketika pergi dari rumah secara diam-diam. Kalau pun ketahuan, esoknya tetap kami lakukan lagi. Tak peduli gagang sapu atau kayu bersilaturahmi di punggung kami. Entah berapa kali dimarahi atau digebuk sapu tidaklah begitu berpengaruh padaku maupun teman-teman. Di mata kami anak-anak, semuanya dapat diubah jadi keceriaan dan canda tawa. Mana pernah memikirkan hal-hal ruwet, anak-anak adalah dunia ketika pelangi benar-benar menjadi pelangi.
Lagi-lagi aku bersyukur kepada Tuhan, yang memberiku masa di mana segalanya hadir dan tercurah di atas lembaran yang dapat aku simpan dalam suroso terdalamku ini. Gema-menggema perasaan masa lalu adalah sapaan baik yang mesti disambut. Lamat-lamat matahari mulai merendah di ufuk barat, dan cahayanya pun telah berubah warna, sudah waktunya untuk bermain bola.
“Siapa yang punya bola? Kemarin bolanya pecah.” Kata Imam waktu itu.
“Lho, bukannya kemarin masih baru bolanya?” Malek bertanya keheranan.
“Iya, karena kemarin Cipul menendangnya sangat keras lalu terkena paku, akhirnya bolong dan sudah tidak bisa dipakai lagi.” Ucap Imam.
“Berarti gak jadi bermain bola ini?” Tanyaku.
“Yowis, tak ambilkan dari tokoku wae.” Sahut Anas dengan santai.
“Nah, gitu lho. itu yang aku tunggu nas.” Kata Roji sambil menunjukkan senyum jeleknya dan kami semua tertawa renyah.
Obrolan itu menggema kembali di telingaku. Bukan hanya sekali Anas bilang begitu. Dia dianggap “Suku cadang” utama kalau sudah tidak ada yang punya bola. Maklumlah, orang tua Anas punya toko. Kadang-kadang ia mengambil barang atau sesuatu untuk dirinya sendiri atau demi berlangsungnya keceriaan bersama teman-temannya, seperti bola tadi dan tanpa izin orang tuanya. Anak-anak memang terkesan nakal dan semaunya, tapi hal itu hanya terjadi jika sudah tidak ada pilihan. Pada dasarnya anak-anak juga cukup jujur untuk mengakui kesalahannya. Apabila ketahuan, mereka akan mengaku dan menerima hukuman, walaupun besok-besoknya akan diulanginya lagi. Memang terkesan nakal, tapi mereka lebih murni dari orang dewasa.
“Gimana ini, orangnya kurang?” tanya Malek.
“Gol macan dulu saja, sambil menunggu yang lain.” Ucapku merespon.
“Oh iya e, siap kalau begitu.” Imam menyetujui.
“Wes ayo, gak usah kelamaan.” Ajak Roji yang sudah tidak sabar.
Permainan bola anak-anak adalah permainan paling bebas dan menyenangkan. Tidak ada batas maksimal gol sehingga hitungannya bisa sampai puluhan kali mencetak gol. Tidak ada pelanggaran selain heng (handball) dan memang itulah yang terbanyak. Bahkan juga saling beradu kaki menendang bola untuk memperebutkan bolanya. Sesekali ada yang kakinya berdarah karena menyaruk pelataran atau tanah yang kering, sudah biasa, setelah sembuh pun tidak kapok untuk diulangi lagi. Dan ketika senja mereduksi cahaya matahari, permainan pun disudahi, malah terkadang sampai terdengar azan magrib menggema baru selesai.
Aku tidak pernah bisa lepas dari masa lalu, segala yang pernah dilakukan anak kecil, hampir semuanya pernah aku lakukan. Kecuali anak zaman sekarang yang lebih terfokus pada handphone dan dunia digital. Di setiap melihat anak-anak kecil itulah, aku melihat diriku sendiri. Aku pikir kehidupan hanya mendaur ulang waktu agar memahami sesuatu yang dulu belum bisa kita pahami dengan baik. “Ah, betapa indahnya hidup ini,” gumamku dalam sunyi. Di sini aku terpasung kenangan, tidak bisa bergerak meski dunia modern telah sampai pada kemajuan termutakhirnya. Sambil menunggu temanku selesai memesan nasi pecel di areal persawahan, selintas waktu yang senggang itu dapat membuatku teleportasi ke masa lalu. Entah esok anakku akan menikmati semua itu atau tidak. Tiba-tiba Wahyu meyuruhku ke warung saja daripada terbengong-bengong di atas motor. Ya, Wahyu yang sama, Wahyu yang aku ceritakan tujuh belas tahun lalu itu.
Pati, 1-6 September 2022

———— *** ————

Tentang Penulis:
Aji Shofwan Ashari, lahir di Pati, pernah jadi kontributor di situs berita online Tagar.id. Masih aktif mencatat dan menulis sampai sekarang.

Rate this article!
Teleportasi,3.80 / 5 ( 5votes )
Tags: