Telor Ceplok

Telor Ceplok

Cerpen: Eko Darmoko
Lulusan Sastra Indonesia Unair

Dahi legam itu matang digoreng matahari. Pasir emas Sanur mengasinkan dahi legamnya serupa telor ceplok. Sedangkan asam membuncah dari bulir keringatnya.
“Bapak pasti pulang, Nak! Temani ibumu yang sedang merakit harapan di rumah,” katanya sambil menyeka dahi legamnya menggunakan punggung tangan.

Ayu hanya meringis. Lambaian tangan Ayu, di mata bapaknya, kian lama kian kerdil dijilat gelombang. Sedangkan perahu mesin sewaan yang ditunggangi bapaknya, merayap menuju pulau seberang.

Harusnya, Ayu memiliki saudara kembar berusia tiga tahun sebagai teman bermain. Namun, satu tahun lalu, kembaran Ayu dijemput malaikat pencabut nyawa yang menyaru sebagai Aedes Aegypti.

Bapak Ayu, si pemilik dahi legam, sudah mati-matian menyelamatkan anaknya dari serangan Aedes Aegypti. Mesin perahu satu-satunya yang dimiliki, dijualnya kepada cukong Gianyar. Namun apa daya, mesin perahu yang sudah dirupiahkan itu tak mampu menyuap malaikat pencabut nyawa.

“Mengapa di Bali harus ada demam berdarah, Pak?” tanya Ayu usai melihat jasad kembarannya.

“Karena malaikat tak punya pekerjaan lain,” jawab si bapak. “Relakan saudaramu. Di pantai, kau akan menemukan saudara baru,” sambungnya.

Jelas, Ayu yang masih polos, tak akan mengerti maksud ucapan bapaknya. Namun, kepalanya manggut-manggut sambil lidahnya menjulur, menjilati es krim buatan pabrik.

Melihat perahu mesin bapaknya hilang ditelan jarak, Ayu masih menggelayut di bibir pantai. Ujung jari kakinya mengebor pasir—menciptakan lubang. Lubang jadi, Ayu menguburnya lagi. Begitu ia mengulanginya hingga belasan kali.

Tak jauh dari Ayu, gerombolan bocah pantai riang bermain tali. Ayu tak berminat untuk gabung. Yang ada di benak Ayu hanya menunggu bapaknya pulang dan menunaikan tugasnya; menemani ibunya merakit harapan.

“Maafkan bapak, Nak, yang selalu menyuruhmu menjaga ibu. Padahal, seharusnya kaulah yang dijaga ibumu,” ceracau pemilik dahi legam dalam hati—sambil terombang-ambing di tengah lautan, mengantarkan sekawanan turis Paris menuju pulau seberang.

Hingga cerita ini ditulis, Ayu tak tahu di mana letak pulau seberang yang dimaksud bapaknya.

Sorot pandang Ayu masih menembus luas lautan. Dari pinggiran Pantai Sanur, Ayu memelintir ujung rambutnya yang menguning karena ulah matahari.

Di sepanjang hidupnya, Ayu selalu dihantui dendam. Ia sangat membenci malaikat pencabut nyawa. Ingin sekali ia mengikat malaikat pencabut nyawa dan menggantungnya di balai desa.
“Mengapa sih malaikat membawa pergi Ida? Harusnya aku bisa bermain bersama Ida,” desisnya pelan kepada langit. Dan debur ombak terus menggelitik Pantai Sanur.
Ayu tak pernah tahu berapa lama bapaknya pergi ke pulau seberang. Kadang satu hari, kadang dua hari. Tak jarang, bapaknya baru pulang seminggu kemudian.
Seperti biasanya, sebelum bapak pemilik dahi legam pergi, ia selalu meninggalkan bahan makanan di rumah—Ayu sudah tahu apa yang dilakukannya. Ayu pasti memasak untuk dirinya sendiri, dan tentu saja untuk ibunya.
Di rumah, Ayu melihat ibunya sama persis ketika terakhir kali melihatnya. Sejak Ayu mengantarkan bapaknya ke pantai, ibunya hanya duduk-duduk di kasur lusuh di kamar utama.
“Ibu lapar?” tanya Ayu.
Seperti biasanya, Ayu-lah yang menjawab pertanyaan itu. Ibunya hanya membisu sambil pandangannya kosong.
“Ibu pasti lapar. Siang sudah hampir habis. Sebentar, Ayu akan buatkan lauk,” kata Ayu.
Pikir Ayu, ibunya pasti bangga; punya bocah perempuan yang sudah terampil memainkan peralatan dapur. Namun apa daya, Ibu Ayu bukan seperti ibu pada umumnya. Ibu Ayu pekerjaannya hanya duduk-duduk saja di kasur lusuh.
Telor ceplok hasil kerajinan tangan Ayu sudah matang. Seonggok nasi diambil Ayu dari dandang. Ayu tahu persis berapa banyak porsi nasi yang pas buat ibunya. Pun Ayu juga paham perihal telor ceplok kesukaan ibunya.
“Garamnya agak banyak, Bu. Seperti penjelasan bapak, katanya ibu suka rasa asin,” begitu kata Ayu tiap kali menyuguhkan seonggok nasi dan telor ceplok kepada ibunya.
Sejak Ayu bisa bicara, bapaknya selalu mengenalkan kata ‘telor’, bukan ‘telur’. Menurut si bapak, ‘telor’ lebih sempurna ketimbang ‘telur’. Sebab, pada ‘telor’ ada huruf ‘o’ yang melingkar sempurna. Sedangkan ‘telur’ menggunakan ‘u’ yang tidak menutup sempurna.
Di usianya yang masih kencur, Ayu sudah pandai memasak. Tentunya, semua ini berkat ajaran sang bapak. Si bapak sengaja mendidik Ayu menjadi juru masak. Hal ini sebagai antisipasi saat si bapak pergi melaut.
“Tenang, Bu, Ayu akan memasak selama bapak pergi. Jangan kuatir!” celoteh Ayu.
“Ingin sekali Ayu memasak oseng-oseng daging. Tapi, kata bapak, ibu hanya suka telor ceplok. Ayu jamin telor ceplok bikinan Ayu adalah telor ceplok yang sempurna,” imbuhnya.
Dan, seperti biasanya yang sudah terjadi lama, Ibu Ayu tak pernah berucap, meski cuma sehuruf. Sejak kematian Ida, kembaran Ayu, si ibu menjadi pemurung.
Beberapa hari setelah kematian Ida, para tetangga menyarankan bapak pemilik dahi legam itu untuk membawa istrinya ke dokter jiwa. Namun, anjuran itu selalu ditolaknya.
“Istri saya tidak gila. Dia hanya berduka atas kepergian Ida,” kata si dahi legam kepada pemangku adat di desanya.
Setiap gerak ibunya saat makan, tak luput dari pengamatan indera Ayu. Ketika sebutir nasi menempel di bawah bibir ibunya, cepat-cepat Ayu memungutnya. Kemudian, sebutir nasi itu diletakkan kembali di atas piring.
“Telor ceploknya enak, Bu?” tanya Ayu.
“Sangat enak! Asinnya pas,” kata Ayu menjawab pertanyaannya sendiri—tahu bahwa tak akan pernah ada sebiji huruf yang keluar dari kerongkongan ibunya.
Dalam kepolosan Ayu, ia menafsirkan; kebisuan ibunya adalah imbas dari harapan yang sedang dirakit. Ayu percaya, sebagaimana yang diucapkan bapaknya; ibunya sedang merakit harapan. Tapi harapan tentang apa, Ayu sendiri tak paham. Pokoknya harapan!
Usai ibunya melahap habis hidangan itu, giliran Ayu yang makan. Diambilnya nasi dan digundukkan di bekas piring ibunya. Bukan telor ceplok yang menjadi lauk Ayu, tapi burung dara goreng hasil kreasi bapaknya yang dimasak tadi pagi—sebelum pergi ke pulau seberang.
Lidah Ayu mengecap rasa pedas dari burung dara goreng itu. Tentu saja, asin dan asam turut serta menjalari lidahnya. Meskipun sibuk bersantap, indera Ayu tetap mengamati ibunya yang sedang duduk di kasur lusuh.
“Itu sudah Ayu siapkan air minumnya, Bu,” kata Ayu sambil mulutnya dipenuhi makanan.
Kontan saja, tangan Ibu Ayu langsung meraih gagang gelas dan menenggak air itu—tentu saja tanpa sebutir huruf yang diucapkan.
Pandangan Ayu terpecah antara hidangan di depannya dengan sosok ibu yang teramat dicintainya. Meskipun ibunya hanyalah ‘perempuan kosong’, namun Ayu masih melihat kecantikan yang terpendar di wajah ibunya.
Matanya bulat membara, dan diwariskannya ke mata Ayu. Kelembutan rambut ibunya juga menurun kepada Ayu. Hanya saja, rambut Ayu menguning karena matahari. Sedangkan bibir Ayu terlihat tebal, seperti bibir bapaknya.
Selesai menyantap hidangannya dan mencuci alat-alat makan, Ayu kembali melayani ibunya. Peristiwa ini sungguh susah diterima logika; harusnya seorang ibu yang memandikan anak berusia tiga tahun, tapi ini sebaliknya.
Ayu cekatan memandikan ibunya. Ayu terlihat tangkas melakukan pekerjaan ini. Sementara ibunya pasrah, bagaikan Harimau Bali yang patuh kepada sang pawang.
Sebelum menikah, Dewi, nama Ibu Ayu, mengalami peristiwa yang sama persis dialami Ayu. Dewi kehilangan saudara kembarnya di usia 21 tahun. Jauh lebih tua dibandingkan usia Ayu saat kehilangan Ida.
Di nisan kembarannya, Dewi meraung. Tak ada seorang pun yang sanggup menghentikannya. Hingga akhirnya tangisan Dewi mengusik ketenangan pemuda penggali kubur dari Pulau Jawa.
“Sudah, relakan kembaranmu. Toh, dengan begini malaikat pencabut nyawa memiliki pekerjaan,” penggali kubur mencoba menenangkan Dewi.
“Dari ulah malaikat pencabut nyawa, aku dapat sesuatu yang bisa dikerjakan; menggali kubur untuk kembaranmu,” ucapnya lagi.
“Tapi mengapa harus kembaranku yang tertabrak mobil? Mengapa bukan aku?” balas Dewi.
Penggali kubur terkejut dan membisu agak lama.
“Itu cara terbaik yang dilakukan malaikat pencabut nyawa untuk menunaikan pekerjaannya. Malaikat pencabut nyawa lebih menyayangi kembaranmu, ketimbang kau,” ucap penggali kubur dengan penuh santun dan kelembutan.
“Dan aku harus hidup sebatang kara!” pekik Dewi.
“Sama sepertiku!”
Semenjak percakapan ini, singkat cerita, beberapa minggu kemudian, Dewi yang lahir dan dibesarkan di Gianyar menikah dengan penggali kubur. Bambang yang asli Tuban, setelah menikahi Dewi, menanggalkan pekerjaannya sebagai penggali kubur.
Bambang beralih menjadi pemandu wisata yang sering mengantarkan turis-turis menyinggahi pulau seberang di sekitaran pulau utama; Bali. Rutinitas inilah yang membuat dahi bambang semakin legam.
Percintaan dua insan beda latar belakang ini—yang disatukan status sebatang kara—menjadi sempurna ketika Ayu dan Ida menengok bumi. Tentu saja, kesempurnaan ini terjadi sebelum malaikat pencabut nyawa merampas Ida.
Namun, apa pun suratan takdir, Bambang bisa legowo menjalaninya. Bagi Bambang, kebahagiaan Dewi dan Ayu adalah segala-galanya.
Bambang tegar menjaring rupiah demi memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Ia tak peduli dengan dahinya yang semakin legam digoreng matahari.
“Dewi dan Ayu, besok pagi aku pulang,” kata Bambang di dermaga pulau seberang.
Senja berwarna jingga yang menggerayangi dermaga membuat legam di dahinya terlihat samar.
Mata Bambang menikmati senja itu sambil sesekali memantau turis-turisnya. Keramahan Bambang membuatnya lumayan kondang di kalangan turis, baik lokal maupun asing. Bambang sangat lihai dalam melayani turis-turis yang menggunakan jasanya.
Meskipun senja ada di hadapannya, namun penerawangan Bambang membelai lembut Dewi dan Ayu yang ada di seberang sana.
Senja benar-benar menjadi malam ketika Bambang menyeka dahi legamnya dengan punggung tangan. Dan ia tetap sabar menunggu pagi. Sabar mendampingi istrinya merakit harapan.
“Ayu, tunggu bapak! Bapak pasti pulang,” desisnya.
“Dewi, rakitlah harapanmu di kasur lusuh itu. Percayalah, aku selalu bersandar di sampingmu,” imbuhnya sambil air mata longsor menuju bibirnya.
Seketika, lidah Bambang mengecap rasa asin, persis seperti rasa telor asin kesukaan istrinya.

BIODATA PENULIS
Eko Darmoko, penulis prosa kelahiran Surabaya. Lulusan Sastra Indonesia Unair. Cerpen-cerpennya dimuat Harian Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan surat kabar lainnya. Buku kumpulan cerpennya “Ladang Pembantaian” diterbitkan Pagan Press tahun 2015. Aktif di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Akun Instagram dan Twitter @ekodarmoko

Rate this article!
Telor Ceplok,5 / 5 ( 1votes )
Tags: