Temuan Karya dari yang Alamiah sampai Riset Budaya

Dirjen Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad didampingi Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rahman meninjau hasil penelitian siswa asal SMAN1 Tarakan, Kalimantan Utara yang membuat bahan pengawet dari serbuk kayu manis.

Dirjen Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad didampingi Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rahman meninjau hasil penelitian siswa asal SMAN1 Tarakan, Kalimantan Utara yang membuat bahan pengawet dari serbuk kayu manis.

Dari Olimpiade Peneliti Siswa Indonesia
Kota Surabaya, Bhirawa
Indonesia memiliki kekayaan alam dan budaya yang besar. Sayang, indeks kompetitif Indonesia masih sangat rendah. Salah satu penyebabnya ialah minimnya jumlah peneliti yang mengakibatkan sedikit pula penemuan dan riset. Ini menjadi pekerjaan berat bagi pemerintah dan seluruh institusi pendidikan. Yakni mendorong tumbuhnya peneliti-peneliti baru yang produktif dan kaya ide.
Ada banyak hal yang tampak sederhana, tapi menyimpan sebuah manfaat penting. Namun tanpa penelitian yang serius, manfaat itu juga tidak akan bisa terurai. Seperti halnya kayu manis yang biasa dijumpai untuk penguat aroma masakan dan minuman. Padahal lebih dari itu, kulit kayu dari varietas pohon cemara itu juga bisa dimanfaatkan lebih, yaitu menjadi bahan pengawet alami.
Ini adalah penemuan menarik di antara puluhan hasil riset yang dipamerkan dalam Olimpiade Peneliti Siswa Indonesia (OPSI) 2015 di Surabaya mulai 11 – 16 Oktober mendatang. Ajang peneliti tingkat nasional itu diikuti oleh ratusan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia.
Norhalizah dan Anisah Fitria adalah dua pelajar dari Kalimantan Utara yang membeberkan manfaat kayu manis sebagai pengawet tersebut.
Norhalizah menuturkan, kayu manis efektif digunakan untuk mengawetkan ikan. Jika selama ini masyarakat resah dengan bahan pengawet kimia berbahaya, maka inilah jawabannya. “Sejauh ini sampel penelitian kita baru daging ikan. Baik untuk ikan utuh, filet maupun daging ikan yang sudah digiling,” ungkap Norhalizah.
Untuk memanfaatkan kayu manis sebagai pengawet, pelajar kelas 11 SMAN 1 Tarakan ini mengaku cukup mudah. Langkah pertama ialah membersihkan kayu manis lalu dikeringkan. Selanjutnya, kayu manis dipotong kecil-kecil kemudian dioven agar kadar air benar- benar hilang. Terakhir, potongan kayu manis diblender hingga menjadi bubuk. “Bubuk itu yang digunakan untuk mengawetkan. Caranya, cukup ditaburkan ke seluruh permukaan ikan,” kata dia.
Anisah Fitria memberi penjelasan tambahan. Kayu manis memiliki zat penting untuk menahan tumbuhnya mikroba yang menyebabkan daging menjadi busuk. Zat itu ialah tanin dan plafonoid. Fungsi tanin untuk mengawetkan daging dan plafonoid untuk menahan tumbuhnya mikroba. “Dengan menggunakan pengawet kayu manis, ikan mampu bertahan hingga 48 jam atau dua hari,” ungkap dia.
Riset ini, lanjut Anisah, masih membutuhkan pengembangan. Khususnya untuk bahan makanan lain, seperti daging dan buah-buahan. “Ke depan akan seperti itu. Ini baru penelitian awal,” katanya.
Riset tersebut bukan satu-satunya yang menarik perhatian pengunjung yang datang di Airlangga Convention Center (ACC), tempat ajang itu digelar. Riset siswa asal SMAN 1 Jogjakarta juga patut dicermati. Sebab, tim dari sekolah tersebut mengusung tentang ancaman perubahan interaksi sosial karena tingkatan bahasa Jawa.
Muhammad Fahriza dan Mahendra Aulia Rahman, keduanya adalah siswa kelas XII SMAN 1 DIY yang menelitinya selama tiga bulan di permukiman sekitar keraton Jogjakarta.
“Dari 12 tingkatan Bahasa Jawa hanya tersisa tiga tingkatan. Tingkatan bahasa itu, ngoko, madya, krama. Ngoko dan madya yang harusnya digunakan untuk anak muda sebagai lawan bicara justru diterapkan pada orangtua sebagai lawan bicara,” tutur Mahendra mencontohkan bagian penelitiannya.
Dalam OPSI, riset yang dipamerkan dibagi dalam dua kategori. Di antaranya Ilmu Pengetahuan Alam yang meliputi sains, teknologi rekayasa, dan matematika. Sedangkan kategori Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) meliputi ekonomi, sejarah, budaya, psikologi, sosiologi, antropologi, serta administrasi.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad menuturkan, jumlah peserta OPSI 2015 ini mengalami penurunan. Pada 2014 ada 1.200 peserta, sedangkan pada 2015 ini hanya diikuti 790 tim. Dari jumlah penelitian yang diajukan itu, 88 di antara lolos untuk mengikuti seleksi di Surabaya. Kendati kuantitas menurun, Hamid memastikan bahwa kualitas karya siswa tahun ini mengalami peningkatan.
“Kita harus mendorong partisipasi siswa lebih banyak lagi. Karena budaya penelitian yang dimulai sejak dini akan berdampak positif pada peningkatan jumlah peneliti di masa depan,” tutur dia.
Untuk mencapai target itu, Hamid berencana menggelar OPSI secara berjenjang mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga nasional. Selain itu, pihaknya juga ingin mengumpulkan guru-guru untuk ikut serta mendorong minat penelitian pelajar di sekolah. “Sebenarnya kalau mengacu Kurikulum 2013, siswa secara otomatis akan dibiasakan dengan riset,” tutur dia.
Sebagai tuan rumah, Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Dr Saiful Rahman mengaku bangga dengan berbagai riset yang dilahirkan dari para pelajar ini. Pihaknya juga akan menyambut baik niat pemerintah pusat yang ingin menggelar OPSI ini secara berjenjang mulai tingkat daerah hingga nasional. “Memang harus begitu. Animo sekolah dan pelajar akan lebih tinggi ketika mereka mewakili daerahnya. Sebab itu menjadi kebanggaan tersendiri,” tutur dia. [Adit Hananta Utama]

Tags: