Tengara Mafia Internasional Perdagangan Organ Tubuh

(Berantas Sindikat Human Trafficking)

Oleh : Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Ratusan orang beriringan, berjalan dengan muram menuju kantor Gubernur NTT (Nusa Tenggara Timur) di Kota Kupang. Diletakkan karangan bunga dan batu bertuliskan beberapa nama. Lalu dinyalakan lilin, dan berdoa. Nama-nama di batu itu, adalah anggota keluarga yang telah meninggal dunia dengan status sebagai Tenaga kerja Indonesia. Sebagian diduga sebagai korban pencurian organ tubuh.
Disebut sebagai pahlawan devisa, tetapi nasib tenaga kerja Indonesia masih selalu nelangsa. Terutama yang wanita (TKW), masih kerap menjadi sasaran empuk human trafficking (perdagangan manusia). Bahkan lebih miris, menjadi sasaran perdagangan organ tubuh manusia. Ironisnya, perlindungan oleh negara (pemerintah) tidak cukup memadai untuk mengamankan “duta” devisa. Diperlukan revisi undang-undang yang lebih melindungi.
Human trafficking, telah sangat kerap terjadi, terutama terhadap calon TKW. Sedangkan tengara perdagangan organ tubuh, baru memperoleh dugaan kuat pada kasus Yufrinda, (19 tahun, asal Flores). Dikabarkan hilang oleh kerluarganya pada 2 Sep 2015. Namun tiba-tiba datang peti mati berisi jenazahnya pada 14 Juli 2016. Diberi keterangan, bahwa Yufrinda, bunuh diri di rumah majikannya di Malaysia. Namun orangtua khawatir, mungkin saja peti mati itu bukan berisi jasad anaknya.
Keluarga mendesak dilakukan otopsi. Walau semula Polres maupun BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia) menolak. Ternyata benar, ditemukan kejanggalan. Terdapat luka sayat di bagian perut berbentuk huruf “Y.” Organ otak dan lidahnya ditempatkan bersama isi perut. Seolah-olah tiada hukum yang melindungi TKI di luar negeri. Sehingga bisa diperlakukan bagai bukan manusia.
Revisi UU ini sebenarnya sudah disepakati menjadi RUU inisiatif DPR pada 2012 lalu. Namun hingga kini RUU itu masih dalam pembahasan. Berdasar UU 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, mekanisme penempatan TKI dilakukan oleh swasta. Klausul ini menjadi “biang” kegaduhan penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Karena pengawasan terhadap PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) tidak memadai.
Ternyata, banyak PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), memperlakukan calon tenaga kerja seolah-olah tambang uang. Modusnya merekrut sebanyak-banyaknya calon TKI dan TKW, bagai penyedia “stok” tenaga kerja. melalui pembukaan cabang dan agen di seluruh daerah. Tujuannya hanya untuk mengeruk keuntungan, terutama jenis pekerjaan pembantu rumahtangga (PRT). Menyuburkan per-calo-an tenaga kerja.
TKI Selalu Diperas
Sejak proses pemberangkatan, PJTKI sudah memeras. Antaralain, biaya paspor dan transportasi dibukukan sebagai utang. Pembayarannya dilakukan dengan cara potong gaji selama setahun. Padahal seharusnya, kebutuhan tenaga kerja antar negara (g to g), menjadi tanggungjawab perusahaan tujuan kerja. Begitu pula pekerjaan PRT, calon majikan seharusnya memenuhi kriteria aset kekayaan, serta intelektualitas. Serta membayar biaya perjalanan.
Tetapi banyak PJTKI tidak mengirim calon PRT berdasar pesanan resmi g to g, melainkan “menjual bebas” melalui sindikat antar-calo. Akibatnya, banyak TKW terjebak perbudakan, dengan waktu kerja selama 20 jam per-hari. Tanpa hari libur pula. Tidak sedikit yang coba membela diri, tapi malah masuk penjara. Ironisnya, selama proses persidangan tidak didampingi pengacara. Sampai perjalanan pulang setelah kerja keras di negeri orang, TKW masih diperas oleh sindikat transportasi.
Itulah yang menjadi keprihatinan seluruh masyarakat. Sudah berkali-kali dilaporkan, namun tetap terjadi. Keprihatinan itu pula yang membuat geregetan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sampai harus menggerebek bandara Soekarno-Hatta. Ini korupsi dengan nominal remeh-temeh, namun telah terjadi secara masif terstruktur dan nyaris sistemik. Tak jarang, sindikat menghabisi seluruh harta TKW, dan meninggalkan korbannya dalam keadaan pingsan terbius.
Jika setiap TKI dan TKW diperas senilai Rp 500 ribu saja, maka dalam setahun “omzet” sindikat pemeras bisa mencapai ratusan milyar rupiah. Tak kalah dengan korupsi Hambalang, tak kalah pula dengan pungli di jembatan timbang. Ironisnya, pemerasan itu terjadi di lokasi strategis (bandara Soekarno-Hatta) yang menjadi simbol urat nadi perekonomian nasional. Kenyataannya, bandara internasional itu bagai terminal angkutan kota. Banyak calo, banyak preman.
Maka tak salah KPK menggerebek tempat-tempat strategis yang dijadikan sarang korupsi dengan modus pemerasan. Walau sebenarnya hal itu domain Kepolisian dan Kejaksaan, serta inspektorat internal. Ternyata hasilnya kongkret: sukses menangkap tangan belasan orang yang diduga pelaku pemerasan terhadap TKI dan TKW. Selain preman (berseragam) juga terdapat personel TNI dan Polisi.
Benarlah tekad Ketua KPK, bahwa penggerebekan itu mesti dilakukan lebih sistemik. Hasil penggerebekan juga harus berlanjut ke meja hijau, untuk memberi efek jera seluruh pemeras. Begitu pula pada proses penyidikan dan penyelidikan harus melibatkan BNP2TKI, agar bisa mengawasi PJTKI. Juga melibatkan aparat Ditjen Imigrasi, serta otoritas bandara Soekarno-Hatta.
Aksi Perlindungan
Terdapat tiga problem pokok masalah ke-TKI-an. Yakni, pemberkasan saat keberangkatan, pembinaan saat di tempat kerja, serta proses pemulangan. Pada ketiga problem itu, TKI dan TKW selalu dalam situasi under-burgainning. Tidak memiliki posisi tawar, harus selalu patuh, walau nyata-nyata dirugikan. Apa pekerjaan pemerintah (atasnama negara) dalam perlindungan TKI dan TKW?
Padahal UUD telah menjamin hak rakyat Indonesia dalam hal mencari nafkah. UUD pada pasal 28D ayat (2) menyatakan “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Kenyataannya nasib TKI dan TKW masih tetap di ambang kemiskinan, tetap tidak terlindungi. Sebagaimana nasib tragis yang dialami Isti Komariah, yang tewas di rumah majikannya di Malaysia.
Pada kasus ini, keluarga korban dari Indonesia berhak atas diyat, atau kasus qishah hukuman gantung (mati). Ini disebabkan Malaysia menganut hukum syariat Islam. Pengadilan Tinggi Malaysia memutuskan kedua terpidana sengaja membunuh Isti Komariah. Juga puluhan TKW di negara lain (Hongkong, Taiwan, dan Arab Saudi) .
Namun biasanya, pemerintah hanya memiliki satu cara: moratorium TKW PRT. Padahal, yang sepatutnya di-moratorium, adalah per-calo-an tenaga kerja. Serta memperbaiki (revisi) UU 39 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan. Revisi regulasi, terutama tentang aturan penempatan tenaga kerja ke luar negeri, wajib menjadi tanggungjawab pemerintah. Sebab, menyerahkannya kepada swasta, sama saja dengan memberlakukan tenaga kerja seperti komoditas ekspor. Tanpa asuransi pula!
Seolah-olah pemerintah hanya wajib memungut berbagai retribusi dan tak berkewajiban mengurus ketenteraman tenaga kerja di luar negeri. Padahal TKI, menghasilkan devisa. Berdasarkan catatan pada Komisi XI DPR-RI (yang membidangi Ketenagakerjaan), devisa yang dihasilkan oleh TKI mencapai Rp 4 trilyun per-bulan (sekitar Rp 50 trilyun setahun)! Itu tidak termasuk remiten, penghasilan yang dibawa pulang. Di Jawa Timur saja, remiten yang dinikmati keluarga di kampung halaman mencapai Rp 4 trilyun.
Tetapi layanan pemerintah terhadap devisa TKI tidak cukup seimbang. Pemerintah mengalokasikan dana cadangan dengan nomenklatur perlindungan WNI sebesar Rp 400 milyar per-tahun. Masih diperlukan perlindungan lebih sistemik melalui regulasi (UU), termasuk pola advokasi dan asuransi TKI dan TKW. BNP2TKI seyogianya memiliki aparatur pengawas (yang tegas) setara KPK!

                                                                                                       ——— 000 ———

Tags: