Tentang Luka dan Hal-Hal Indah Lain

Judul Buku : Scars and The Other Beautiful Things
Penulis : Winna Efendi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan Pertama, 2020
Tebal : 296 halaman
ISBN : 978-602-06-4205-5
Peresensi : Iliana Loelianto
Tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Senang membaca buku dan menulis cerpen.
Sosok perempuan seringkali dianggap sebagai simbol dari kesucian dan kehormatan. Ia kemudian dipandang sebagai aib ketika mengalami kekerasan seksual, seperti perkosaan. Mirisnya lagi, perempuan yang menjadi korban malah disalahkan menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual tersebut. Sementara pelaku kejahatan, tak mendapat hukuman yang setimpal dengan apa yang sudah diperbuatnya.

Dalam buku Scars and The Other Beautiful Things, tokoh utama Harper Simmons, remaja perempuan berusia tujuh belas tahun, juga mengalami hal serupa. Murid tahun terakhir Tommales High School itu ditemukan dalam keadaan penuh luka, nyaris tanpa busana, dan tidak sadar setelah menghadiri sebuah pesta. Saksi yang menemukannya memberi pernyataan bahwa Harper telah diperkosa. Sementara, Harper sama sekali tidak mengingat apa yang sudah menimpanya. Ia baru tersadar sewaktu terbangun dengan kondisi nyeri di sekujur tubuhnya.

Scott Gideon, mahasiswa penerima program beasiswa penuh bidang olahraga di universitas prestisius Stanford, malam itu tertangkap sedang memperkosa Harper yang terlihat tidak bergerak dan tidak responsif. Tim pengacara Scott Gideon menegaskan bahwa apa yang terjadi dilandasi oleh persetujuan dari kedua belah pihak. Pernyataan tersebut diperkuat dengan keterangan saksi yang menyaksikan keduanya tampak sama-sama mabuk akibat mengonsumsi alkohol pada sebuah pesta di Santa Rosa. Mereka juga terlibat interaksi sepanjang malam sebelum menjauh dari lokasi pesta sambil berpegangan tangan. Kurangnya bukti menjadi pertimbangan atas hukuman yang semestinya diterima Scott. Terlebih lagi, penyerangan seksual tersebut masih diragukan sebagai tindak pemerkosaan atau hubungan konsensual yang berakhir buruk.

Sejak peristiwa nahas itu, kehidupan Harper berubah. Bisikan-bisikan mulai terdengar ketika ia kembali masuk sekolah. Berbagai anggapan dan pandangan orang-orang terus mengikutinya kemana-mana. Malam-malamnya juga penuh mimpi buruk yang berusaha dilewatinya dengan obat tidur. Ia pun harus rutin bertemu dengan seorang dokter terapis untuk membantu mengatasi traumanya. Penderita trauma tidak selamanya adalah korban. Mereka juga bisa menjadi orang-orang yang bangkit dan lebih kuat daripada sebelumnya. – hlm. 35.

Harper tak sepenuhnya siap ketika ia membuka halaman yang memuat foto pria itu meski dalam ukuran kecil pada mesin pencari Google. Detak jantungnya liar dan napasnya sesak. Ia pikir ia bisa bergerak maju dengan gagah berani tanpa banyak menoleh ke belakang. – hlm. 55

Ternyata, semuanya tak semudah itu berlalu, seperti yang dikatakan orang-orang. Saat Harper memperhatikan sekelilingnya, bukan hanya dirinya yang hancur dan terluka. Masih ada Avery, saudara kembarnya yang ikut membuang mimpinya karena merasa bertanggung jawab atas apa yang dialami Harper. Juga ayah yang sering bekerja hingga larut malam; Adam, kekasihnya yang tidak bisa menemaninya pada malam itu; dan Rachel, teman dekatnya yang merasa telah kehilangan sahabatnya.

Apa yang terjadi tidak akan berangsur-angsur hilang dengan menguburnya dalam-dalam. Satu-satunya cara untuk pulih adalah berdamai dengan trauma itu sendiri, juga berhenti mengasosiasikan aspek-aspek yang terlibat dengan perasaan negatif. – hlm. 78

Harper tahu ia membutuhkan upaya besar untuk melupakan dan menemukan dirinya setelah segala yang dimilikinya terenggut. Namun, ia harus benar-benar pulih agar semua orang yang menyayanginya juga bisa pulih. Beruntungnya, ia memiliki orang-orang yang selalu ada untuknya dan tak pernah lelah memberinya dukungan. Tidak apa-apa untuk sesekali bersandar pada orang-orang yang kau sayangi. Karena pada akhirnya, merekalah yang akan menjadikanmu kuat saat kau membutuhkannya. – hlm. 262

Mengambil latar kota kecil Bodega Bay di Sonoma County, cerita yang terinspirasi dari kisah nyata Chanel Miller ini menceritakan seperti apa dan bagaimana kehidupan serta perjuangan Harper Simmons yang mengalami penyerangan seksual. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari remaja berusia tujuh belas tahun, pembaca diajak ikut merasakan posisi dan perasaan Harper sebagai seorang remaja berprestasi sekaligus korban pemerkosaan oleh orang yang tak dikenal. Meski alur ceritanya maju mundur, pembaca tak akan kebingungan mengikuti jalan ceritanya.

Seperti karya-karya sebelumnya, Winna Efendi juga mengangkat tema persahabatan, keluarga, dan cinta pada novel ini. Tak sampai disitu, penulis juga menambahkan tema self love yang membuat kisah dari seorang Harper Simmons kian menarik. Kita dapat menjumpai kasus serupa dalam kehidupan sehari-hari. Sangat disayangkan, jika kasus seperti ini kebanyakan berakhir dengan ketidakadilan yang dirasakan korban. Tak jarang, kita pun jadi bertanya-tanya, dimana kedudukan hukum yang sesungguhnya.

Sangatlah penting bagi setiap orang untuk bisa menghargai dirinya sendiri, menentukan pilihan, dan bangkit dari kejadian buruk yang dialami dalam hidup. Percayalah, walau harus berjuang dalam luka dan trauma, tetap ada secercah terang juga harapan di masa-masa yang gelap itu.

“Karena pada akhirnya, satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk diri sendiri hanyalah berdamai dengan apa yang terjadi dan melanjutkan hidup.” – hlm. 217

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: