Terapi Galau Menurut Alquran

Judul : Manage Your Galau with al-Qur’an
Penulis : Miski Muhammad Mudin
Editor : Daniyal Fayyad
Tata Isi : Violetta
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Cetakan : Pertama Februari 2016
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-602-391-051-5
Harga : Rp 18.000,-
Peresensi : Ahmad Muhli Junaidi.
Penggagas Perpustakaan Keluarga dan penulis buku inspiratif
‘Belajar Bersama Upin dan Ipin, 2010’

KEHIDUPAN memang tidak selamanya indah. Manusia di alam dunia ini pasti akan mengalami berbagai macam cabaran, godaan, hinaan, kesengsaraan, kenistapaan, ketidakmujuran, kesialan, kebimbangan, keputus-asaan, keraguan-raguan, keciutan, kekerdilan, kemiskinan, kealpaan, atau apa pun yang menyangkut kefanaan hidup. Siapapun, sejak kapanpun, dimanapun, mereka akan selalu atau pernah mengalami beberapa hal yang penulis sebut di atas.
Nabi Adam as misalnya, pernah mengalami kegalauan hidup waktu akan diturunkan dari surga karena melanggar perintah Allah SWT agar tidak makan buah khuldi.Kemudian setelah itu, kesengsaraan menimpa mereka berdua tatkala berada di dunia. Sedangkan Nabi Nuh as mengalami siksaan batin luar biasa dahsyat tatkala sang istri dan anaknya tak mau naik perahu yang ia ciptakan, oleh karenanya, istri dan anak tersebut mati dalam kekufuran.
Demikian pula nabi Ibrahim as. Dia mengalami perasaan galau luar biasa sewaktu akan dibakar hidup-hidup oleh Nambrudz, dan pada waktu diperintah Allah SWT untuk menyembelih satu-satunya putra yang sangat disayangi. Adapun Nabi Musa as juga mengalami kegalauan yang hebat waktu ia dikejar akan dibunuh oleh Fir’aun. Nabi Isa as tak luput juga dari kegalauan diri waktu ia selalu dimusuhi oleh kaumnya, Yahudi karena lahir tanpa ayah dan difitnah sebagai anak zina.
Kemudian, junjungan kita, Rasulullah SAW. Juga mengalami sifat galau dalam diri beliau waktu ditinggalkan oleh Khadijah ra dan paman tercintanya, Abu Thallib. Sebagai hiburan dari kegalauan itu, Allah SWT kemudian membarangkatkan beliau menuju Sundratul Muntaha waktu Isra’ dan Mi’raj.Dengan demikian, secara pasti, ke dua puluh lima nabi dan rasul terdahulu pernah dihampiri sifat galau dalam kehidupan mereka.
Demikian juga para sahabat Rasullullah SAW, dari Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, sampai ke 10 sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, semua pernah ditimpa kegalauan dalam hidupnya. Kemudian para tabi’in, tabit tabi’in, ulama salaf, ulama khallaf, sampai kepada kehidupan kita saat ini, sifat galau dan sejenisnya pernah hinggap pada diri mereka.
Cuma kemudian, cara mengatasi krisis jiwa itu berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Contoh pertama yang terjadi pada para nabi di atas, mereka senantiasa mengedepankan sifat sabar untuk menangkal semua kegalauan yang terjadi. Lebih-lebih apa yang dialami lima nabi pilihan, sehingga mereka diberi gelar oleh Allah SWT dengan sebutan ‘ulul azmi’. Contoh kedua yang terjadi pada 10 sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga tanpa hisab, mereka pun mengedepankan sikap penuh kesabaran dalam mengenyahkan sifat galau yang menyerang mereka. Demikian pula para ulama terdahulu, semua dapat mengatasi kegalauan dengan bersandar pada sifat sabar, sambil kemudian menjadikan al-Qur’an sebagai satu-satunya penyembuh kegalauan dalam diri mereka.
Tapi, ada juga yang terjebak dalam keputus-asaan tatkala wabah kegalauan menyerang seseorang. Biasanya, keputus-asaan itu sering dialami oleh kita yang selalu menjauh dari al-Qur’an. Maka, agar kita tak berhenti berinteraksi dengan al-Qur’an dan menjadikannya solusi terbaik dalam setiap problematika kehidupan, disinilah arti penting buku yang berjudul ‘Manage Your Galau With al-Qur’an’ karya kedua Miski Muhammadi Mudin, sarjana Tafsir-Hadis, UIN Sunan Kalijaga yang berasal dari Sakobanah, Sampang ini. Buku ini bisa dijadikan jalan keluar sebagai terapi akan sifat kegalauan kita selama ini.
Sebagai buku yang mencoba menawarkan solusi cukup baik berkaitan sifat galau dari perspektif al-Qur’an, tentu para pembaca merasa perlu membacanya secara lebih utuh. Mudin sepertinya mencoba membedah secara komprehensif asal-muasal sifat galau yang terjadi pada diri seseorang, dan mencoba menganalisanya dari perspektif ilmu sosial dan ilmu psikologi yang acuannya tetap bersumber kepada ayat-ayat al-Qur’an, sehingga solusi yang ia tawarkan menjadi lebih kompleks dan cukup mendalam.
Oleh karena itu, solutif yang Mudin tawarkan pada kita tentang entitas sifat galau itu agar dengan cepat dapat kita atasi adalah menjalankan kebiasaan berdzikir yang dilakukan dengan baik (hlm. 76). Kemudian, kebiasaan mendirikan shalat lima waktu atau shalat sunnah yang selama ini ala kadarnya mungkin, diupayakan lebih memahami secara hakikat akan eksistensi mendirikan shalat itu. Selanjutnya, mentadaburi kandungan al-Qur’an serta selalu memperhatikan adab-adab berdoa. Dan terakhir sebagai senjata pamungkas, Mudin menulis untuk tidak lupa mengasah sifat sabar, sebagaimana andalan para nabi dan rasul dalam berdakwah untuk menyelamatkan umatnya dari kekufuran. Semua itu, diikuti para ulama terdahulu hingga saat ini (hlm. 90).
Saya sebagai peresensi, memberikan apresiasi cukup mendalam pada buku ini atas pembahasan cukup baik tentang keselamatan jiwa dalam al-Qur’an (hlm. 116). Bahasan yang Mudin lakukan, walau ia bukan sarjana ahli Ilmu Jiwa, tentang tema ini cukup apik sehingga penulis benar-benar terpikat untuk selalu membaca bukunya secara tuntas. Di halaman inilah ia mencoba menggali sedemikian jauh nilai-nilai al-Qur’an dalam konteks kejiwaan seseorang, dan bagaimana nilai-nilai tersebut berperan dalam menghilangkan kegalauan kita. Sungguh, suatu bahasan yang sangat menarik.
Secara keseluruhan konten buku ini cukup baik, ditambah dengan tata letak dan lay out yang sangat indah dengan halaman buku yang cukup tipis, membuat kita tak akan beranjak bila telah membuka lembar demi lembar hingga buku ini dibaca tuntas. Tak ada salahnya jika kita patut memilikinya sebagai tambahan koleksi Perpustakaan Keluarga di rumah. Selamat membacanya.@
———- *** ———–

Rate this article!
Tags: